Search This Blog

Monday, December 17, 2012

Tabir Nalar

Judul         : Tabir Nalar
Pengarang    : Rynaldo C. Hadi
Ilustrator      : Felix Adrianto
Penerbit        : Gramedia
cetakan          : 2012

Tabir Nalar by Rynaldo Cahyana Hadi

Luar biasa seru dan melebihi ekspektasi, begitulah pendapat saya setelah selesai membaca Tabir Nalar. Andai saja saya tahu ceritanya akan sedemikian bagusnya, saya tidak akan berlama-lama menunda membaca buku ini. Sebuah perpaduan unik antara genre fantasi dan thriller, yang sedikit mengingatkan saya pada novel Dan Brown Angel and Demon, namun suasana Vandarianya tetap terasa begitu kental. Ada begitu banyak sisipan-sisipan tentang dunia Vandaria di buku ini, tentang kaum frameless, tentang negeri Edenion, juga tentang Sang Raja Tunggal. Semua keterangan meluncur dengan perlahan seiring dengan halaman-halaman yang dibaca, membuat pembaca yang pertama kali membaca seri Vandaria pun tertarik untuk masuk ke dunia rekaan ini.

Dari segi cerita, Tabir Nalar agak berbeda dari seri-seri Vandaria lainnya yang lebih banyak didominasi oleh kisah perjalanan. Novel ini menitikberatkan pada tema konspirasi dan pertempuran fisik dengan senjata. Sihir agaknya kurang terlalu berfungsi dalam buku ini, adegan pertempuran lebih banyak didominasi oleh penggunaan senjata dan modifikasi mana. Juga, ada sedikit unsur thriller dan berteka-teki, dengan ciri khas berupa twist yang menegangkan di bagian akhir. Hanya saja, karena misterinya agak-agak mirip dengan Angel and Demon, saya sudah bisa menebak siapa dalang utama di balik konspirasi besar yang mengguncang Majelis Raja Tunggal, walau saya belum bisa menebak alasan atau alur konspirasi yang berlangsung. Tapi, tetap saja buku ini layak untuk 4,5 bintang karena kepiawaian si penulis dalam menyusun plot seruntut ini (karena pasti banyak melibatkan plot flashback) dan juga, terutama, adegan pertempurannya yang seru.

Setting cerita terjadi di kota Edenia, ibukota kerajaan Nirvana, sekitar 170 tahun setelah Ratu Seraph digulingkan oleh Sang Raja Tunggal. Pada masa ini, bangsa frameless dan manusia memiliki derajat yang setara dan tidak lagi terjadi diskriminasi atau penindasan oleh kaum frameless terhadap manusia. Majelis Raja Tunggal kemudian dibentuk demi menjaga dan memelihara kedamaian dan persamaan derajat ini. Anggotanya pun terdiri dari manusia, separuh frameless, dan frameless murni. Meski keadaan berjalan damai, namun rupanya masih ada pihak-pihak tertentu yang tidak setuju dengan titah Sang Raja Tunggal tentang persamaan derajat di Tanah Utama Vandaria. Beberapa pemberontakan muncul di sudut-sudut Vandaria, tetapi puncaknya adalah ketika datang surat ancaman dari sekelompok pasukan pembunuh yang hendak menghabisi anggota Dewan Majelis. 

Cervale Irvana, tokoh sental dalam buku ini, adalah seorang frameless dari marga Irvana yang memiliki kelebihan untuk membaca pikiran. Sebagai salah satu anggota Majelis Raja Tunggal, hatinya tergerak untuk menguak misteri di balik ancaman tersebut. Ketika satu demi satu anggota dewan ditemukan tewas, ia harus bergerak cepat untuk mengetahui siapa dalang dibalik upaya-upaya keji ini. Satu per satu misteri diruntut untuk dikuak. Dengan bantuan Barad Turvor sahabatnya serta Rilsia Alass, seorang peneliti berbakat, Cervale menemukan sebuah fakta yang mengejutkan. Konspirasi itu ternyata berakar pada sebuah peristiwa tragis di masa lampau. Ketika para pembunuh mulai menjalankan aksinya, cervale dan pasukan Edenia pun bersiap. Dan, pertempuran seru pun pecah.

Cerita dalam Tabir Nalar berjalan dengan sangat intens, hampir-hampir tak memberi kesempatan pada pembaca untuk menutup buku. Dari adegan di meja sidang, adegan kemudian beralih ke pertempuran seru dengan desingan cakram dan pedang. Adegan pertempuran antara Cervales dan pasukan pembunuh bahkan digambarkan secara detail, penuh dengan jurus-jurus berkelit dan menyerang, benar-benar memuaskan. Sihir tidak begitu berarti dalam seri ini, karena para pembunuh itu ternyata memiliki kekebalan terhadap sihir. Tidak ada jalan lain, pertempuran fisik menjadi satu-satunya cara. Ini masih ditambah dengan mulai terkuaknya simpul-simpul misteri yang mengarah pada dalang utama di balik pembunuhan-pembunuhan anggota dewan.

Secara keseluruhan, ceritanya memang outstanding dan pantas mendapat aplaus. Sangat berbeda dan bisa dibilang “agak melanggar pakem cerita” dari seri-seri Vandaria sebelumnya. Entah karena saya terlalu larut dalam ceritanya, atau mungkin saya yang silap mata, saya tidak menemukan typho di Tabir Nalar. Kalimat-kalimatnya pun runtut dan enak diikuti. Apalagi saat menggambarkan adegan pertarungan. Kalimat-kalimatnya pendek dan naratif, juga deskriptif. Mampu memunculkan ketegangan dan alur yang cepat. Karakter-karakternya juga dibangun dengan sangat baik, berada dalam wilayah abu-abu dan tidak serbasempurna. Sesempurna dan sehebat apapun Cervale, ia memiliki kelemahan dalam sikap arogansi dan kurang peka sebagaimana yang biasa dimiliki para jagoan. Begitupun karakter-karakter lainnya, dibuat begitu halus dan normal sehingga pembaca dipaksa menebak-nebak siapa sesungguhnya dalang di balik konspirasi ini. Saya sendiri menebak dua kali, dan membutuhkan dua pertiga pembacaan Tabir Nalar untuk bisa menebak dengan tepat.

Sekarang kelemahannya, yang pertama harus saya soroti adalah ilustrasi di dalamnya. Entah mengapa, ilustrasi dalam Tabir Nalar lebih seperti menyorot deskripsi karakter ketimbang deskripsi cerita. Seolah-olah ilustrasi di sini lebih untuk menegaskan “begini lo tampak depan si A dan si B”, bukannya menggambarkan adegan atau jalannya cerita. Juga, yang agak mengganggu, model pakaian beberapa tokoh agak cenderung sangat terbuka dan sedikit mengarah ke bahenol, maaf. Lihat saja contohnya pada halaman 31. Saya menekankan hal ini karena Vandaria juga banyak dibaca oleh berbagai golongan usia sehingga sebaiknya ilustrasi agak diperhalus. Atau, cukup dengan menarasikan saja. Untuk penggambaran karakter Rilsia Alass sudah pas dan tidak mengesankan macam-macam. Pilihan gambar seperti di halaman 51 menurut saya sudah pas. Selain itu, ada sedikit masalah dengan pemilihan nama yang jika tidak hati-hati bisa agak menyinggung etnografis tertentu, walau tidak terlalu mencolok karena tertutupi oleh alur cerita yang berjalan cepat.

Untuk banyak hal, kisah dalam Tabir Nalar sangat tertolong oleh tidak terlalu tebalnya buku ini. Jika ceritanya ditambah atau halaman diperbanyak, justru akan lebih banyak bolong yang muncul dan selipan-selipan yang hilang. Akan lebih baik jika penulis membuat sekuelnya dan mengangkat atau menyorot kembali bagian-bagian yang belum terlalu terjelaskan dalam Tabir Nalar. Review ini diakhiri oleh satu kutipan yang sangat saya sukai dari Tabir Nalar:

“Pada akhirnya, yang menentukan nilai seseorang bukanlah sebuah ras, melainkan pemikiran dan tingkah laku mereka sendiri.” (hlm 9)

3 comments: