Judul : The Lord of the Rings: Sembilan
Pembawa Cincin
Pengarang : J.R.R. Tolkien
Penerjemah : Gita Yuliani K
Cetakan : Keempat, Februari 2003
Tebal : 501 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tiga cincin untuk
raja-raja Peri di bawah langit,
Tujuh untuk raja-raja
kurcaci di balairung batu mereka,
Sembilan untuk Insan
Manusia yang ditakdirkan mati,
Satu untuk Penguasa
Kegelapan di tahtanya yang kelam.
Di Negeri Mordor di
mana Bayang-bayang merajalela.
Satu cincin ‘tuk
menguasai mereka semua, satu cincin ‘tuk menemukan mereka
Satu cincin ‘tuk
membawa mereka semua dan dalam kegelapan mengikat nereka
Di Negeri Mordor di
mana Bayang-bayang merajalela.
The Lord of the Rings: Sembilan
Pembawa Cincin, inilah epic pembuka dari trilogi novel The Lord of the Rings yang masuk dalam daftar buku terbaik
sepanjang masa. Dikisahkan dengan begitu mendetail dan lengkap, trilogi
petualangan fantasi karya J.R.R Tolkien ini seperti sudah ditakdirkan untuk
menjadi sebuah karya besar nan melegenda sejak kali pertama diterbitkan
menjelang pertengahan abad ke-20. Dalam seri ini, Tolkien dengan lihai mampu
meramu sebuah kisah fantasi yang benar-benar memenuhi ekspektasi dan harapan
pembaca akan sebuah kisah ajaib dan seru. Dengan cermat ia menyusun sebuah
kisah di dunia lama, zaman ketika Bumi belum terlalu tua dan Eropa masih
disebut dengan Middle Earth. Itulah masa-masa ketika sihir masih berkecamuk,
ketika pedang adalah lambang harga diri, ketika daratan masih diliputi hutan
dan aneka legenda, ketika sikap ksatria dan keberanian adalah harta tak terbeli, ketika janji masih dijunjung tinggi.
“… dan pada zaman dulu, hanya makhluk-makhluk
paling jahat yang berani ingkar janji.” (hlm 23).
Kisah besar
ini terjadi pada Zaman Keempat—yang rincian kalender di Dunia Tengah dapat dilihat
di buku The Return of the King. Kala
itu, Dunia Tengah masih diliputi kedamaian karena Sang Kegelapan masih lemah di
pusat kekuasaannya di timur. Hanya sesekali terjadi perang atau gangguan
keamanan, atau kemunculan beberapa orc dan troll di sudut-sudut terjauh
Bumi Tengah, di Mirkwood, dan di Pegunungan Berkabut. Kaum Hobbit (nama “hobbit” merupakan istilah ciptaan Tolkien yang
kemudian masuk di dalam kamus Bahasa Inggris) hidup tenang dalam rumah-rumah
lubang mereka di Shire. Kaum manusia masih bertahta dan menjalankan tugasnya
dengan penuh kebanggaan sebagai calon pewaris peradaban Bumi Tengah. Kaum
kurcaci sibuk dengan perkakas dan kehidupan mereka di gunung-gunung batu serta
terowongan. Sementara, kaum elf
memutuskan untuk mengasingkan diri dari dunia dan mencoba mengabaikan segala
apa yang terjadi di Dunia Tengah. Dunia seakan berputar dengan begitu biasa,
padahal di timur kegelapan tengah bangkit dan mengumpulkan kuasa jahatnya.
Adalah
Frodo Baggins, seorang hobbit yang juga keponakan dari Bilbo Baggins (kisah
lengkap Bilbo bisa dibaca pada buku The
Hobbit), yang mewarisi sebuah cincin keramat ari sang paman. Cincin inilah
rahasia dari kekayaan, kejayaan, dan kehebatan keluarga Baggins di Hobitton.
Kunjungan sang penyihir kelabu Gandalf mengubah segalanya, termasuk mengubah
takdir hidup Frodo dan juga nasib Dunia Tengah. Cincin itu ternyata
adalah pusat kekuatan dari Sang Gelap yang tengah bangkit di timur. Jika cincin
itu jatuh ke tangannya, maka berakhirlah kehidupan di seluruh penjuru Dunia
Tengah. Keputusan telah dibuat. Dewan penyihir dan kaum elf sepakat bahwa
cincin itu harus dihancurkan. Frodo pun terpilih sebagai sang pembawa cincin
karena sebagai hobbit ia dinilai paling tidak mempan tergoda oleh bujukan si
cincin.
Maka dibentuklah
aliansi pertama untuk melawan kembali kebangkitan Sang Gelap. Dari
masing-masing ras di Dunia Tengah, ditunjuklah sejumlah perwakilan. Aragon dan
Boromir dari ras manusia, Gimli dari ras kurcaci, Legolas dari kaum elf,
Gandalf sang penyihir, serta ketiga sahabat Frodo yakni Merry, Peppin, dan Sam
sebagai wakil dari ras hobbit. Maka, dimulailah perjalanan akbar sembilan
pembawa cincin menuju Gunung Mordor demi menghancurkan cincin keramat tersebut.
Dari sini, cerita akan bergulir seiring dengan makin jauhnya perjalanan para
pembawa cincin. Melewati kota-kota manusia dan kampung hobbit, menembus hutan belantara
yang penuh jebakan, melewati terowongan-terowongan gelap yang menyesatkan,
hingga berjuang melawan terpaan badai salju di lereng pegunungan terjal. Sebuah
perjalanan yang berat, apalagi Sang Gelap juga merasakan ketiakberesan sehingga
ia mengirimkan pasukan hitamnya.
Ini adalah
perjalanan fisik sekaligus perjalanan jiwa. Segala serangan dan kesulitan yang
menghadang di perjalanan telah menjadikan sembilan pembawa cincin itu saling
terikat erat satu sama lain. Persahabatan mereka terbukti ampuh dalam
menghadapi dan menaklukkan apapun yang menghadang, termasuk monster dan kuasa
jahat sekalipun. Tapi, tidak ada hasil yang besar tanpa cobaan yang berat dan
tak tertangguhkan. Kuasa nafsu begitu sulit ditolak sehingga pada akhir buku
pertama ini, berakhirlah kebersamaan sembilan pembawa cincin. Frodo dan Sam
harus berpisah dari teman-temannya yang lain, karena masing-masing punya takdir
yang harus dipenuhi dan dijalani demi menyelamatkan Dunia Tengah.
The Lord of the Rings: Sembilan Pembawa
Cincin berhasil melanjutkan kesuksesan The
Hobbit . Novel ini ditulis dengan begitu terperinci,
begitu lengkap sehingga hampir-hampir menyerupai perjalanan sungguhan ke
daratan tak bertuan. Tolkien begitu piawai mendeskripsikan Dunia Tengah dengan
kondisi alam dan penduduknya, bahkan bahasa-bahasa, sejarah, hingga kronologis
waktunya. Karena saking lengkapnya, banyak pembaca yang
merasakan novel ini sangat lambat dan alurnya sangat pelan, padahal dari
situlah bukti keseriusan sang penulis dalam menggarap novel ini. Seolah-olah,
Tolkien hendak menuliskan sebuah dunia yang benar-benar nyata, yang lengkap
dengan segala atributnya sebagaimana dunia yang bisa dibayangkan pembaca. Dan
ia berhasil. Setelah pembaca menyelesaikan pembacaan The Lord of the Rings, mereka pasti akan merindukan kembali
saat-saat “berjalan” menembus Old Forrest atau mendaki Pegunungan Berkabut atau
mengunjungi Rivendell.
No comments:
Post a Comment