Search This Blog

Monday, October 29, 2012

Menunggu Pulang, Sebuah Kumpulan Cerita Pendek


Judul               : Menunggu Pulang, Sebuah Kumpulan Cerita Pendek
Penulis            : Suryawan WP/@yuyaone
Sampul           : Amalia Achmad
Cetakan         : 2012
Penerbit          : nulisbuku.com




            “Hidup sejatinya adalah menunggu pulang. Sementara pulang adalah sebuah perjalanan menuju tempat yang dirindukan, rumah. Namun, pulang tak akan terjadi tanpa pergi yang mendahului. Akan ada saatnya untuk kita pulang. Akan ada banyak kisah untuk diceritakan, sampai waktunya pulang tiba.”

            Kutipan yang begitu mengena di sampul belakang kumcer inilah yang seolah menjadi penyulut awal dari tumpahan aneka kisah keseharian manusia yang kemudian berhasil ditangkap dan dirajut kembali oleh @yuyaone dalam cerpen-cerpen yang sederhana namun bermakna. Menunggu Pulang adalah 18 cerita pendek, masing-masing dengan cerminnya sendiri, cermin yang mampu mengolok-olok kisah keseharian kita yang sebenarnya luar biasa, tapi kadang oleh tertutupi oleh coreng-moreng kita sebagai manusia pada umumnya. Tapi, sekali lagi, suatu saat nanti, kita semua pasti akan pulang. Pulang ke rumah, pulang ke hati yang tepat, pulang ke akhirat. Sebelum waktu pulang itu tiba, luangkan waktu untuk menikmati cerita-cerita berikut. Jangan khawatir, Menunggu Pulang adalah sederhana. Tidak perlu mengerutkan kening untuk mencernanya. Sekali baca, Anda bisa merampungkannya, tidak perlu menyita terlalu banyak waktu ada. Tapi, percayalah bahwa yang sebentar bersama Menunggu Pulang  itu tidaklah tidak bermakna. Anda akan semakin hangat dan kaya setelah membacanya.

            Atas Nama Kusta Aku Cemburu adalah kisah pertama. Mengisahkan sudut pandang dari dunia yang mungkin selama ini belum pernah kita selami. Bagaimana merasakan bersyukur dari berbagai pandangan, dan tentang jangan pantang menyerah, itulah cerpen perdana ini. Abimanyu, si anak dari Arjuna. Kisah tentang pencarian jati diri seorang anak yang mencari kebenaran tentang ayahnya. Tentang pengorbanan dari sang pangeran Pandawa. Bambu Runcing adalah kisah ketiga, saya sangat menyukainya karena entah bagaimana penulis telah berhasil membawa ingatan saya pada serial Keluarga Cemara, sederhana tapi berjiwa kaya-raya.

            Berdua di Suatu Senja, kisah ini mungkin ada hubungan atau terinspirasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma nan fenomenal itu, Sepotong Senja untuk Pacarku. Bisakah senja itu dipotong dan dikirimkan? Ternyata bisa, yakni lewat e-mail. Bagaimana caranya, biar kisah keempat yang akan menjawabnya. Sedingin Es sekali lagi, adalah tentang pengorbanan. Sebuah kisah pendek tentang penari seluncur es dengan ending yang bikin trenyuh tapi sekaligus menghangatkan. Kisah ketujuh, Aku Anak Bintang, sama dengan cerita kedua, adalah tentang pencarian jati diri seorang anak terhadap ayahnya. Ada dua petunjuk di sini, “Ares” dan “Satu Bintang Kemerahan yang hari ini terlihat sangat dekat”. Mungkinkah ini berkenaan dengan peristiwa konjungasi Planet Mars yang sempat terlihat paling jelas beberapa waktu yang lalu? Entahlah, yang jelas Ares dan Mars adalah dua nama untuk satu dewa yang sama.  

            Mari lanjutkan ke kisah ketujuh, Asmaradana, salah satu dari beberapa jenis lagu macapat di mana penulis seperti mengajak pembaca ke masa lalunya bersama sang kakek. Telusuri beragam petuah agung yang tertulis dalam syair-syair indah sarat mana: “Ngelmu iku kelakone kanthi laku” (“Ilmu itu tak akan ada artinya jika tidak dipraktikan”). Terminal Kedatangan akan membawa pembaca ke sudut bandara di mana, sekali lagi, penulis menyoroti tema pencarian terhadap ayah kandung seorang manusia muda, tapi dalam kisah kedelapan ini punya kejutan menyenangkan untuk si ayah.

            Kisah kesembilan, Imlek, Aku Pulang, semakin meneguhkan penguasaan si penulis akan berbagai tema. Tema tentang etnis Tionghoa, yang jika digarap tanpa riset pasti akan menjadi cerita kosong tanpa makna. Tapi, kisah Koh Wen dan Sarah di sini nyatanya begitu kental dan padat, sarat emosi dan kenangan di dalamnya. Indah dan melegakan saat dibaca. Sementara, Curhat Saat Kau Lelap, adakah cerita ini semacam curcol indah sang penulis? Memenangkan Medali, cerita kesebelas ini bertema nasionalisme, tentang badminton, tentang Indonesia yang telah bertahun-tahun kehilangan Piala Uber. Kejelian penulis dalam meramu linimasa badminton dalam cerpen ini menginsyaratkan ketertarikannya yang mendalam pada olahraga yang (pernah) menjadi kebanggaan rakyat Indonesia ini.

            Kadang, ada alasan mengapa seseorang menghindari fitrahnya untuk pulang. Sekuat tenaga ia menghindari kehangatan rumah demi alasan yang sepele dan tidak luar biasa. Jika Anda tidak ingin menyesal di masa depan karena mengabaikan panggilan pulang, maka bacalah kisah kedua belas, Pesan Terakhir. Sementara, para perokok seharusnya mampu menangkap pelajaran kesehatan tentang betapa besar kesia-siaan kehidupan akibat merokok dari kisah Pada Sebuah Koridor Panjang. Cerita keempat belas, Fatima, agak miris dan berbau etnis. Tapi tidak jika kita menelusuri alasan dibalik penulisan kisah ini. Bagaimana menilai dari sudut pandang seorang TKW yang disiksa majikan di negeri sana. Gendhis, si manis gula, adalah kisah indah tentang cinta, tentang kenangan, tentang harapan di masa depan. Kisah ini begitu indah, sarat dengan luapan cinta khas anak muda yang tengah terbuai kasih sayang menjelang pernikahan. Tapi, hati-hati dengan endingnya.

Cerita keenam belas adalah yang paling saya sukai. “ Kalau akhirnya Tuhan saja bisa kamu khianati, apalagi aku. Aku tidak ingin di antara kita ada yang menipu Tuhannya masing-masing.” Cukuplah kutipan indah tersebut mewakili apa yang ada dalam Kita yang Tak Sama. Anda akan menyukainya sebagaimana saya pun seolah tercenung mendalam lewat kisah ini. Kisah selajutnya, Agustus, adalah tentang nasionalisme. Mungkin penulis membuatnya saat-saat menjelang euphoria hari kemerdekaan. Ada sedikit pelajaran sejarah nasional di cerita ini. Terakhir, sebagai penutup, adalah kisah Aku Takut Pulang. Mungkin, kisah ini adalah cerminan dari kita semua, kebanyakan manusia yang sering kali lupa akan asal-usul dan tujuannya hidup di dunia. Begitu terpikatnya kita dengan kemilau dunia, tanpa sadar akhirnya kita takut atau bahkan menolak pulang. Padahal, sebagaimana kutipan di atas, pulang adalah sebuah perjalanan menuju tempat yang dirindukan.

Suryawan WP, pertama kali menuliskan Menunggu Pulang dalam blognya yang segera mendapat kritik sekaligus apresiasi dari berbagai pengunjung dan komunitas dunia maya. Kepiawaiannya dalam mengamati tingkah polah manusia, berhasil ia tuangkan dalam bentuk cerita, di mana kita kemudian bisa mengambil makna dari isinya. Semangat untuk membagikan “cerita kehidupan” inilah yang lalu mendorongnya menerbitkan Menunggu Pulang lewat media penerbitan mandiri @nulisbuku. Sesungguhnya, sang penulis telah memiliki bakat dan sentuhan itu, menjadi novelis. Dengan ketekunan, pengamatan yang tajam akan keseharian, dan kepiawaiannya dalam meramu kata-kata, modal ini sudah lebih dari cukup untuk memulai menuliskan kisah yang lebih panjang dan lebih satu, lebih utuh. Semoga, penantian kita terhadap peluncuran novel perdananya tidak akan berlangsung terlalu lama. 

Ada kesederhanaan yang begitu mencolok dari Menuju Pulang. Tapi, jika direnungkan kembali, lewat kesederhanaan-kesederhanaan itulah kita sering kali menemukan berbagai pelajaran berharga dalam kehidupan.



4 comments:

  1. Kayaknya bagus. Udah lama nggak baca kumpulan cerpen.
    Covernya juga menarik gambarnya terbalik gitu.

    Aku belum pernah beli buku di nulisbuku. Editannya bagus ya? hehe..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ngak pake editor, tapi aku belum nemu typo. Keren dah. Hanya pada penggunaan koma saja yang kurang sesuai kaidah EYD, tp itu bs diabaikan atas nama sastra

      Delete
  2. keren kayaknya mas, tapi ini self publishing yah. Pengalaman buku2 self publishing biasanya mahal-mahal deh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Harga 35rb, coba kontak penulis @yuyaone mungkin bs lebih murah

      Delete