Judul : Hiking Girls
Pengarang : Kim Hye Jung
Penerjemah : Dwita Rizki
Penyunting : Dian P
Penerbit : Atria
Cetakan : Agustus 2012, 276 halaman
Belajar Dewasa dari Jalur Sutra
Pernahkah
membayangkan untuk memadukan antara perjalanan fisik (traveling) sekaligus sebagai perjalanan jiwa (journey)? Adalah sebuah lembaga di Prancis yang pertama kali
mencetuskan ide untuk “merehabilitasi” anak-anak salah jalan di Prancis. Bukan
dengan memasukkan mereka ke LP anak, tapi dengan mengharuskan para remaja itu
untuk ikut serta dalam sebuah perjalanan jauh yang harus ditempuh dengan
berjalan kaki. Gagasan inilah yang kemudian mendorong Kim Hye Jung menulis Hiking Girls. Novel ini mengisahkan
tentang perjalanan dua gadis remaja bermasalah bernama Eun Sung (yang hobi memukul)
dan Bora (yang gemar mencuri) bersama pembimbingnya, Kak Mi Joo. Ketiganya
diharuskan mengikuti perjalanan sejauh 1200 km melewati padang
tandus di pedalaman China
dengan berjalan kaki sebagai ganti dari penjara anak. Yang membuat cerita ini
begitu luar biasa adalah jalur yang mereka tempuh. Mereka akan melalui Jalur
Sutera yang sangat legendaris.
“Barat dan Timur bisa memiliki hubungan
persahabatan karena pedagang-pedagang yang rela berjalan kaki. Silk Road bukan hanya jalan yang dilalui untuk mendistribusikan
sutra dan rempah-rempah. Seni pengobatan, tarian, musik, dan hal-hal lain yang
tidak terlihat juga sudah pernah melewati jalanan ini.” (hlm 51)
Jalur Sutra
merentang sejauh ribuan kilometer dari Timur ke Barat, mulai dari Semenanjung
Korea, melewati China pedalaman, dan perbatasan dengan Siberia, berliku-liku menelusuri eksotisme
Asia Tengah sebelum tembus ke Timur Tengah, dan masih berlanjut lagi ke Syria
dan Asia Barat hingga Turki, sebelum akhirnya berujung tepat di pusat kekuasaan
Eropa, kota Roma kuno. Selama ribuan tahun sebelum pelayaran samudra marak,
Jalur Sutra memiliki peran yang sangat strategis sebagai penghubung antara dua
peradaban. Marco Polo, sang penjelajah dari Italia juga dikabarkan pernah
melawati jalur ini, begitu pentingnya jalur legendaris ini sehingga hingga masa
modern pun banyak wisatawan yang ingin melakukan napak tilas di jalurnya.
“Aku kira kota yang sangat tertinggal ini tidak mungkin
lebih hebat dari negara-negara Barat, ternyata sangat di luar dugaan, banyak peradaban
Barat yang dimulai dari tempat ini.”
(hlm 112).
Dalam Hiking Girls, penulis akan mengajak
pembaca menelusuri salah satu etape
dalam Jalur Sutra, yakni jalur antara kota Urumqi hingga Dunhuang (dua-duanya masuk wilayah
RRC). Bagian inilah yang menjadikan novel asal Korea ini semakin menarik. Dengan
lugas, penulis mampu menggambarkan eksostisme Asia Tengah yang bergurun pasir.
Pun, ceritanya dilengkapi dengan celotehan anak-anak remaja yang bawel dan agak
nakal. Eun Sung awalnya menganggap perjalanan ini sia-sia belaka. Ngapain juga
berjalan kaki di tengah padang
pasir kering dengan rumah-rumah bobrok yang berpasir. Begitu pula Bora, yang
sama-sama tidak tahu tujuan dari perjalanan aneh ini. Hanya Kak Mi Joo lah yang
dengan begitu sabar (yang diartikan sebagai “nenek sihir bawel” oleh Eun Sung) sehingga perjalanan ini bisa
berlangsung.
Perlahan demi perlahan, panas
gurun yang mendera serta kaki yang terkelupas semakin mewarnai hari-hari dua
gadis usil ini. Setiap hari, mereka harus berjalan kaki minimal 20 km agar
perjalanan mereka tepat 70 hari ketika sampai di Dunhuang. Tapi, sejak awal
memang perjalanan itu tidak mudah. Cuaca yang ekstra panas, kaki yang terluka,
kurangnya air minum, makanan yang aneh, hingga ditipu penduduk sekitar yang
culas; semua itu hampir-hampir membuat Eun Sung dan Bora menyerah. Namun, dari
perjalanan itu pula merka bisa belajar banyak tentang manusia, tentang
suku-suku bangsa lain di luar Korea,
menginap di tenda-tenda kaum nomaden, dan bermalam di padang rumput luas di kaki langit. Intinya,
mereka belajar tentang orang lain—salah satu keterampilan terbesar dalam
kehidupan.
“Di Korea, ada orang baik dan orang jahat, begitu pula dengan di China. Semua
orang di dunia berbeda tetapi sama.” (hlm 103)
Tetapi, bukan rintangan fisiklah
yang berhasil membuat mereka menyerah. Melainkan, rintangan psikologis dan
beban mental dari dalam diri masing-masing. Hampir genap perjalanan itu
terselesaikan, Bora tiba-tiba bersikap aneh dan memutuskan kabur. Eun Sung yang
tidak tega pun mengikutinya kabur, meninggalkan Kak Mi Joo yang sedang sakit
terkena demam. Sekilas, pembaca akan geregetan melihat sikap Bora yang tidak
tahu diuntung ini. Tapi, ingatlah bahwa ia dan Eun Sung sama-sama maish remaja
dan mereka juga “bermasalah”. Tapi, siapa sangka perjalanan mereka yang seperti
fatamorgana itu malah mengarahkan mereka pada oasis kehidupan yang baru. Dikuak
pula alasan mengapa Bora bisa bersikap begitu menyebalkan seperti itu, yang
sejatinya memang wajar mengingat latar belakang dirinya. Bahwa setiap orang itu berbeda, unik, dan
kepribadiannya terbangun oleh masa lalu mereka, itulah yang rupanya hendak
disampaikan buku ini. Tanpa sadar, perjalanan fisik itu telah membuat keduanya
sama-sama tumbuh dewasa.
“Kita tidak akan bisa berbuat masalah dengan sesuka hati karena kita
harus bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan saat kita sudah dewasa. “ (hlm
140)
Dengan begitu unik, Hiking Girls akan mengajak pembaca untuk
menikmati perjalanan menembus eksotisme Jalur Sutra, lengkap dengan jenis
pakaian, makanan, dan kebudayaan orang-orang muslim yang bermukim di sana. Di saat yang sama,
pembaca akan disuguhi dengan perubahan dan gejolak pertumbuhan jiwa yang dewasa
dalam diri Bora dan Eun Sung. Bahkan, si Eun Sung yang sepintas lalu terlihat
sangat bermasalah pun ternyata jauh lebih dewasa ketimbang Bora yang dari luar
tampak kalem. Memang, sebaiknya tidak memandang orang dari tampilan luarnya
saja. Hiking Girls benar-benar sebuah
buku unyu yang berjiwa dewasa.
Mas Dion aku mau pinjeeeeem ! Ga sadar diri uda banyak timbunan
ReplyDeleteOkeee jd bw ini sama KAM ya ..eh skalian kado buatmu yg Nine Lessons saja yah biar lengkap
Delete