Pengarang: NH Dini
Jika ada kisah masa kecil yang
khas Indonesia dan cerita itu benar-benar membuat pembaca modern merasa iri,
maka novel memoar Sebuah Lorong di Kotaku
ini adalah salah satunya. Ditulis sebagai seri pertama dari Cerita Kenangan
oleh sastrawan Indonesia NH Dini, buku ini merupakan penggambaran tertulis dari
kisah masa kecil penulis yang digambarkan dengan begitu apiknya. Tidak heran
jika memoar ini masuk dalam ranah sastra Indonesia sebagai sebuah karya yang
dianggap membangkitkan romantisme masa kecil nan menakjubkan.
Sebuah Lorong di Kotaku mengambil
setting di sebuah dusun kecil di dekat Semarang, kemungkinan wilayah dekat
Ungaran. Setting waktunya adalah menjelang berakhirnya masa penjajahan Belanda,
yakni ketika Jepang mulai menduduki Indonesia bagian utara. Tahunnya
diperkirakan sekitar tahun 1940-an. Kisah ini dibuka dengan penggambaran yang
sangat mendetail mengenai kondisi rumah kebanggaan keluarga penulis. Rumah itu
bergaya Jawa dengan pendopo di tengah, kamar-kamar yang mengelilingi, serta
dapur yang terpisah di belakang. Kanan dan kiri ditanami oleh kebun, sementara
di bagian belakang yang berbatasan dengan sungai merupakan kebun buah-buahan.
Novel
ini sebenarnya tipis, tapi membacanya sangat padat. Ratusan atau bahkan ribuan
informasi tertumpah melalui paragraf-paragrafnya yang juga dicetak rapat dan
kecil-kecil. Walau deskripsinya sangat detail, ceritanya tidak membuat pembaca
bosan karena kekenyangan detail. NH Dini mampu menuliskannya sedemikian rupa
sehingga alih-alih bosan, pembaca malah mendapatkan berbagai kisah kenangan
yang mampu memantik kerinduan akan kesederhanaan zaman dulu. Menangkap ikan di
sungai, kemudian digoreng sebagai lauk pauk. Bepergian dengan membawa termos.
Membuar arem-arem sebagai bekal di perjalanan. Membeli tiwul di simbok-simbok
penjaja makanan. Naik becak dan delman. Mengarungi sungai dengan sandal yang
dibawa dengan tangan. Semua kegiatan ini mungkin sudah jarang kita lakukan di
zaman modern ini, dan karena itulah membaca buku ini kita serasa diajak
bernostalgia.
Selain
detail, informasi-informasi jadul yang diucapkan oleh Ibunda penulis juga acap
kali membuat kita senyum-senyum sendiri.
Ketika beliau meminta agar anak-anak segera menghabiskan bekal teh manis dalam
termos yang ia bawa karena teh itu akan basi sore harinya. Juga, ketika ia
menyuruh mendinginkan dulu air yang mau dibawa dengan botol. Teh atau nasi yang
dimasukkan panas-panas memang mudah basi, dan sampai saat ini saya masih ingat
untuk mendinginkan dulu nasi sebelum dimasukkan dalam kotak bekal. Juga, kisah
ayah si penulis saat menjaring ikan, jenis-jenis ikan, macam-macam tanaman yang
bisa dipetik sendiri di halaman rumah, ah bukankah yang seperti sudah jarang kita jumpai di zaman serba
googling dan Indom*r*t ini?
Unsur
konflik dan ketegangan belum terlalu banyak di seri ini. Penulis sepertinya
lebih menekankan pada unsur ”pengenalan” melalui deskripsi tempat/orang/benda
yang begitu rinci. Ceritanya sederhana, tapi ada bagian menegangkan ketika
sekeluarga harus mengungsi ketika tengah terjadi serangan udara oleh pasukan
Belanda. Namun, kisah ini lebih didominasi oleh kesederhanaan. Sebuah kisah
sederhana tentang masa kecil, namun begitu berlimpah dengan kenangan-kenangan
masa dulu. Begitu membuka halaman pertama, limpahan kenangan akan mengucur
deras, membuat pembaca terpaku dan membayangkan dalam angannya rumah masa kecil
NH Dini yang begitu “Jawa” dan tenteram. Bahkan ketika perang pun, rumah itu
tetap terasa tenteram. Memang benar ungkapan yang menyebut bahwa “tiada tempat
seperti di rumah.”
Satu lagi karya NH. Dini yang bikin tertarik untuk dibaca.
ReplyDeleteSetiap ada Gramedia Sale sdh mau beli, tapi karena kisahnya 'berseri' jadi maju-mundur, soalnya klo tdk lengkap rasanya giman begitu mau baca (>,<) --. pengalaman sama bukunya Pram
*blogwalking*
[ http://asian-literature.blogspot.com/2013/08/books-ronggeng-dukuh-paruk.html ]
Eh, kok mirip buku yang kuriview hari ini ya mas. sama - sama membangkitkan kenangan masa kecil.
ReplyDeleteMenurutku, kekurangan yang kita jumpai di masa lalu malah membuat kita sangat menghargai yang kita punya. Betul tidak?
Belum baca buku yang ini. Jadi pengen punya (dan baca :D). Baru baca 2 judul dari NH Dini, tapi suka sekali bahasanya. Seperti kata Mas Dion, sederhana, tapi kaya. Rasanya adeeeeem...
ReplyDeleteAaah.. NH Dini... ibunya Pierre Cofin.
ReplyDeleteGaya menulis Bu Dini itu sangat khas.. aku suka! :)
#Kilas Buku Blogwalking
pernah ketemu bapak bapak di kereta yang setelah hasil ngobrol, punya koleksi penuh bukunya NH Dini. Trus diundang ke rumahnya, sayangnya.. di Jakarta XD
ReplyDeleteahhh nostalgia bangeeet...pengen cari ah bukunya...hmmm seandainya ada yg ttg nostalgia dengan setting bandung *maksa* ;p
ReplyDeletedion, kapan2 aku pinjam ya buku ini..aku selalu denger NH Dini tpi blm pernah berkenalan dengan karyanya. Btw, klo bukunya NH Dini yg paling bagus menurutmu apa? sapa tau itu bisa jadi permulaanku nyicipi karyanya.
ReplyDeleteaku belum pernah baca.... padahal guru bahasa indonesia SMAKu selalu ngerekomen karya-karya beliau
ReplyDeletesayang sudah lama beliau tidak mengeluarkan buku baru :(
ReplyDelete