Search This Blog

Showing posts with label fantasi-epik. Show all posts
Showing posts with label fantasi-epik. Show all posts

Friday, January 30, 2015

#Temeraire 3 (Black Powder War)



Judul : #Temeraire 3 (Black Powder War)
Pengarang : Naomi Novik
Penerjemah: Ine Milasari Hidayat
Editor : Andriyani
Cetakan: 1, 2013
Tebal: 501 hlm
Penerbit: Elex Media Komputindo

18813328

“Kita tidak boleh jatuh dalam keputusasaan. Masih ada harapan, dan kalaupun tidak ada harapan sama sekali, duduk berdiam diri sambil meratapi nasib tidak akan ada gunanya.” (hlm 394)

                Seri ini benar-benar merupakan sebuah perayaan atas naga-naga. Bagi Anda yang mengaku menyukai naga dalam segala variannya, tidak akan lengkap jika belum membaca seri Temeraire karena dalam buku ini akan Anda dapatkan naga-naga dalam versinya yang paling memesona, sangat berbeda bila dibanding naga-naga dalam kisah fiksi lainnya. Dengan mengabungkan detail sejarah dan kedisiplinan dunia militer, Naomi Novik telah menciptakan sebuah dunia di mana keberadaan naga begitu dicintai dan dibutuhkan manusia, bahkan menjadikannya sebagai sosok yang sangat dihormati dan  dibutuhkan. Setting historis seri inipun mengambil waktu yang sangat klasik dalam rentang sejarah, yakni semasa berlangsungnya ekspansi kekuatan militer Napoleon sehingga menjadikannya begitu detail dengan rincian peristiwa sejarah yang seolah benar-benar nyata. Hanya saja, dalam kisah ini kita akan temukan naga-naga berterbangan di angkasa.

                Menyambung dari seri pertama dan kedua, Black Powder War masih mempertahankan detail peritistiwa dan intrik politik yang menjadi cirri khas seri ini. Jika buku pertama bersetting di Inggris dan buku kedua di China, maka buku tiga ini akan mengajak pembaca menjelajahi pelosok Asia Tengah, menyusuri eksotisme Istanbul, dan akhirnya mengarungi daratan Prusia yang luas di Eropa tengah. Meskipun begitu padat oleh deskripsi dan alur-alur politis, penulis menulis seri ini dengan begitu menyenangkannya sehingga seri ini sangat nyaman untuk diikuti. Hanya saja, teknik ini mungkin cukup berat bagi mereka yang terbiasa membaca seri fantasi yang berjenis high fantasy karena padatnya informasi sejarah yang berjejalan dalam seri ini.

                Naomi Novik memang menyandarkan alur cerita dalam seri ini dari kronologis sejarah yang asli, yakni di masa perang Napoleon. Beberapa kali dia menggunakan tokoh-tokoh yang memang benar-benar ada di masa itu, bahkan system peperangan, jalannya pertempuran, kondisi politik-ekonomi, hingga deskripsi geografis semuanya coba dibuat mirip dengan aslinya. Untuk buku ketiga ini, dia bahkan harus membaca dua buku tentang Perang Napoleon untuk dijadikan alur bagi jalannya pertempuran yang pecah di front Eropa. Karena itulah membaca buku ini akan membuat pembaca seperti bisa melihat langsung jalannya perang, pergerakan pasukan, trik yang dipakai Napoleon, hingga jalur-jalur distribusi makanan dan senjata. Luar biasa!

                Jika di buku kedua, Temeraire dan krunya seperti dimanja di China—yang begitu mengagungkan naga—maka di buku ini mereka kembali harus terjun ke kancah peperangan. Dimulai dari sebuah informasi bahwa Inggris telah membeli 3 telur naga dari Kesultanan Ottoman, Lawrence dan krunya harus segera mengambil telur tersebut. Karena suatu peristiwa yang membuat kapal mereka rusak, diambilah keputusan untuk menempuh perjalanan darat menuju Turki, yakni melalui jalur sutera yang mulai sepi dan ditinggalkan. Bentangan gurun luas dan pegunungan gernang harus mereka lewati begitu sampai ke Turki sebelum akhirnya mereka tiba di negeri eksotis itu, hanya untuk menjadi korban dari suatu intrik rahasia yang telah dipersiapkan oleh mereka. Segera setelah mereka mendapatkan telur-telur tersebut, sang naga dan krunya harus bergerak kembali ke dataran Eropa.

                Eropa tengah menjadi saksi dari keganasan ekspansi militer Napoleon yang tengah mencaplok wilayah imperium Prusia sedikit demi sedikit. Dengan matanya seniri, Lawrence menyaksikan kecerdikan sang jenderal besar Prancis dalam memobilisasi pasukan, melakukan serangan mendadak, merencanakan jalur serangan, menyergap musuh. Semuanya dilakukan dengan begitu cemerlang sampai Lawrence dan krunya dibuat pontang-panting meskipun mereka sudah dilindungi angkatan perang Prusia dalam jumlah besar. Dalam seri ini, peperangan antar-naga tidak seintens di buku pertama, pembaca lebih banyak disuguhi pada jalannya pertempuran antara pasukan Napoleon melawan pasukan Kerajaan Prusia, yang untungnya tidak membosankan karena naga-naga yang bertebaran di sepanjang cerita.  

Buku ini saya dapatkan sebagai sebuah anugerah yang sangat indah dari sang Santa Rahasia yang blognya sangat indah itu. Sembah menjura ke Kak Cindy.

Sunday, February 9, 2014

Inheritance



Judul: Inheritance
Pengarang: Christopher Paolini
Penerjemah: Poppy D Chusfani
Tebal: 918 halaman
Cetakan: kedua, 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Akhirnya selesai juga saya mengikuti perjalanan-petualangan Eragon dan naga birunya, Saphira. Membaca empat seri Warisan karya Christopher Paolini yang masing-masing setebal bantal serasa tidak ada bedanya dengan turut melakukan perjalanan panjang bersama karakter utamanya. Inheritance, atau Warisan yang merupakan penutup dari epic di dunia Algaesia ditulis dengan megah, akbar, penuh pertempuran, cipratan darah, daging yang terkoyak, benteng yang hancur, permainan pedang yang seru, kelebatan-kelebatan sihir nan mematikan, perjalanan panjang menempuh badai, petualangan menjelajahi pulau-pulau terpencil, dan juga ditulis dengan sangat panjang. Kecenderungan Paolini untuk menulis dengan narasi dan cerita yang berpanjang-panjang ini mulai tampak di buku kedua, Eldest, dan mencapai puncaknya pada Brisigr sebelum akhirnya berujung di Inheritance yang, untungnya, terbantu oleh ending seri yang pastinya megah dan kolosal, sehingga membaca berpanjang-panjang di buku keempat ini terasa tidak menjemukan. Memang melelahkan, tapi lelah yang nyaman, seperti ketika kita melakukan perjalanan panjang yang walau melelahkan namun sangat menyenangkan.
                Dalam seri terakhir ini, bisa ditebak, Eragon harus menghadapi sang Kaisar tiran Galbatorix. Saking tebalnya buku ini dan buku-buku sebelumnya, saya sampai agak lupa dengan sampai di mana kisahnya terpotong di buku tiga. Untunglah, Paolini ini baik benget dan “sadar diri” sehingga memberikan contekan synopsis dari keseluruhan cerita  buku satu sampai tiga di awal buku empat. Penempatan peta Algaesia di halaman paling awal juga terbukti sangat membantu. Dalam buku empat ini, Paolini seolah-olah tidak ingin menyia-nyiakan alam Algaesia yang telah ia ciptakan. Hampir seluruh tempat, pulau, kota yang tidak tersentuh di buku-buku sebelumnya, dimunculkan di sini. Semua dijelajahi, dan dengan rapinya penulis menuturkan beragam kejadian yang terjadi di tempat-tempat tersebut. Peta di buku ini benar-benar sangat membantu pembaca membayangkan seperti apa dan bagaimana jalannya cerita atau pertempuran.

http://sindragosa.comxa.com/web_images/alagaesia8xp.jpg
                                               Peta Alagaesia (sindragosa.comxa.com)


Dalam cerita sebelumnya, Eragon bersama pasukan Varden yang dipimpin oleh Nasuada bergerak mendekati pusat kekuasaan Galbatorix. Satu demi satu kota dan benteng berhasil mereka rebut, mulai dari Arough sampai akhirnya mereka mengepung ibukota Kekaisaran, Uru'baen. Gabungan pasukan Vanden, Sudra, pasukan kurcaci dan Urgal, ditambah Eragon dan Saphira, terbukti menjadi kekuatan yang terlalu besar bagi kota-kota kekaisaran. Pembaca yang menyukai aksi pertempuran dan strategi perang akan dimanjakan dengan berbagai scene tentang pertempuran memperebutkan kota. Sekali lagi, saya terkagum-kagum pada Roran, sepupu Eragon. Ia yang hanya manusia biasa sejatinya adalah sang pahlawan dalam buku ini. Tidak bisa sihir, Roran lebih mengandalkan akal dan kekuatan fisik. Kota-kota jatuh ke tangannya bukan karena sihir, tapi karena kecemerlangannya dalam menyusun strategi perang. Tapi, Roran sendiri mengakui bahwa ia tidak akan pernah bisa menaklukan Ibu kota kekaisaran dengan stratreginya sendiri. Kota-kota lain miliknya, tapi pusat kekuasaan Galbatorix adalah milik Eragon. Kota yang dibangun oleh kaum elf itu harus ditaklukan dengan kekuatan, strategi, dan sihir. Roran mengatakan bahwa sihir adalah sesuatu yang tidak adil di dunia ini. Antara manusia dan para pengguna sihir, terdapat jurang lebar yang disebut sihir.
                Maka, giliran Eragonlah yang harus menemukan jalan untuk mengalahkan Galbatorix. Tantangannya semakin berat karena kaisar lalim itu kini dilindungi oleh Murtagh (kakak tiri Eragon, ceritanya panjang) dan naganya. Galbatorix juga didukung oleh jantung dari jantung naga, eldunari, yang merupakan sumber kekuatan tak terbatas baginya. Gabungan kekuatan manusia, kurcaci, werecat, dan penunggang tidak akan mampu mengalahkannya. Sebuah ilham yang muncul dari salah sati werecat kemudian menuntun Eragon untuk pergi ke pulau terpencil bekas istana para penunggang. Sebuah rahasia kuno dan mistis ditanam di pulau yang dipenuhi racun serta mahkluk mengerikan itu. Mau tak mau, Eragon harus kesana untuk mencari “senjata” pamungkas kuno untuk mengalahkan Galbatorix.
                Sementara itu, gabungan pasukan Varden, kurcaci, werecat, dan urgal telah sampai di ibukota kekaisaran. Bala bantuan datang dari bangsa elf yang dipimpin oleh Ratu Islandil, ibunda Arya. Maka, untuk pertama kalinya, seluruh bangsa dan ras yang tinggal di Algaesia dipersatukan oleh satu tujuan yang sama: mengalahkan Galbatorix. Pertempuran besar pun pecah. Buku keempat ini begitu sarat dengan berbagai adegan perang di dalam kota, penuh kontak fisik dan juga permainan pedang. Kelihaian pertarungan antar naga di buku terakhir ini, sayangnya, tidak seepik di buku-buku sebelumnya. Ini kisah tentang naga, tapi seiring ke belakang, peran naga malah semakin berkurang. Paolini sepertinya membagi rata antara Eragon dan Roran mulai di buku ketiga. Jadi sihir-sihir memang menjadi berkurang, digantikan oleh pertempuran fisik dan upaya-upaya diplomasi. Sepertinya, Roran adalah karakter yang berkembang dalam buku ini karena kemauan pribadinya. Sementara Eragon, dia berkembang karena memang itu sudah menjadi takdirnya. Tapi, ketika akhirnya ERagon berhadapan langsung dengan Galbatorix, pertempuran sihirlah yang berlaku. Pembaca yang kangen dengan sihir dan naga akan sedang membaca bagian terakhir ini.
                Sebagaimana bisa ditebak, Galbatorix akhirnya bisa dikalahkan. Nggak perlu spoiler, secara logika pun para pembaca sudah bisa tahu kalau Eragon akhirnya berhasil mengalahkan sang kaisar lalim. Bagaimana caranya? Nah itu rahasia, silakan dibaca sendiri karena membaca kisah yang sangat panjang ini akan menimbulkan sensasi kelegaan tersendiri. Lega karena akhirnya bisa menyelesaikan perjalanan. Lega karena buku ini masih ditutup dengan bab-bab panjang paska tergulingnya Galbatorik. Dengan konsep seperti ini, Paolini berhasil menjerat imaji pembaca yang pasti tidak akan pernah melupakan petualangan Eragon dan Saphira, meskipun mereka hanya membacanya satu kali. Panjangnya serial ini juga menunjukkan bahwa kehebatan sebuah kisah kadang tidak terletak pada endingnya, tapi pada perjalanannya, pada prosesnya. Sudah jelas bahwa Galbatorix akan kalah, tapi bagaimana ia dikalahkan, itulah yang menarik dan layak diikuti dari seri ini.