Search This Blog

Wednesday, December 3, 2025

Perempuan Bernama Arjuna #3: Javanologi dalam Fiksi

Judul: Perempuan Bernama Arjuna #3: Javanologi dalam Fiksi
Pengarang: Remy Sylado
Tebal: 308 hlm
Cetakan: Maret 2015 
Penerbit:  Nuansa Cendekia
ISBN 9786023500062 (ISBN10: 6023500064)


Sebagaimana klaim di sampulnya, buku ini memang bukan bacaan ringan. Tetapi di sisi lain buku ini juga masih terlalu ringan untuk membahas peradaban Jawa secara keseluruhan. Baik jawa sebagai sebuah entitas budaya, maupun Jawa sebagai salah satu peradaban tua di bumi Nusantara. Seperti buku Batakologi yang saya baca sebelumnya, buku ini dialurkan dengan kisah perjalanan Arjuna bersama sang suami Jean-Claude van Damme di latar yang menjadi sumber tema kisah utamanya. Kota Solo dan Jogja dipilih karena keduanya dipandang sebagai pusat peradaban Jawa saat ini, tentu sesuai judul buku seri ketiga ini: Javalogi dalam Fiksi.

Saya jadi teringat dengan Serat Centhini yang menggunakan metode berkisah tentang etnografis dan pengetahuan suatu tempat dengan dilakukan sambil berjalan oleh para tokoh utamanya. Metode serupa sepertinya digunakan dalam serial ini. Di masing-masing tempat, tokoh utama akan bertemu dengan tokoh lokal yang ahli dan akan menerangkan perihal budaya-agama-sejarah-tradisi manusia di wilayah tersebut. Jika di tanah Batak mereka ditemani seorang supir taksi S2 bernama Nadeak, di Solo ada Tuan Supardi Joko Darmono, seorang seniman tari (yang lahir, hidup, dan berharap wafat di Solo) sekaligus ahli tentang budaya Jawa.

Remy Sylado sepertinya menggunakan nama plesetan tokoh besar dalam seri Arjuna ini--selain mengakhiri atau memulai suatu bab dengan frasa khusus (di buku Batakologi, digunakan kata "tumben" untuk memulai setiap bab, sementara di buku ini digunakan frasa "jawabannya ada di bab berikut" di setiap akhir bab. Unik ya. Lewat sosok Supardi Joko Darmono inilah Arjuna, suami, ibu, pakde, dan keponakannya mendapatkan banyak info baru terkait hal-hal Jawa yang selama ini bikin penasaran. Salah satunya tentu asal muasal mitos tidak akurnya orang Sunda dengan orang Jawa padahal keduanya berada di pulau yang satu. Perang Bubat yang legendaris itu dikisahkan dengan luwes, lengkap dengan sejarah dan politik yang melatarinya.

Sedikit dibahas pula alasan mengapa orang Jawa terlihat selalu pasrah, ini terkait dengan filosofi mereka yang cenderung memilih hidup tenang walau seadanya, tidak terlalu ngoyo mengejar dunia meski itulah syarat cepat maju (dan kaya). Ada juga obrolan tentang Ramalan Jayabaya. Seorang pandhita Hindu yang karya ramalannya ternyata sangat bercorak Islam. Tentang agama sendiri, dibahas sebesar apa pengaruh Islam dalam perkembangan budaya dan peradaban Jawa di masa puncak. Ini menjawab kenapa Islam dan Jawa kemudian bisa menjadi suatu kesatuan pada umumnya. Hal yang menarik adalah tampilnya ajaran Katholik dan Protestan di Jawa, bagaimana ajaran yang dibawa bangsa Barat ini akhirnya bisa diterima juga oleh orang Jawa yang dominan Islam.

Bagian paling uhuk ada di pengujung buku ini, apalagi kalau bukan bagaimana orang Jawa memandang tentang senggama sebagai sebuah olah spiritual yang suci. Sedikit disunggung tentang Kitab Kamasutra dan pengaruhnya terhadap kehidupan rumah tangga Jawa. Sayang sekali, seks Jawa di buku ini tidak menyertakan kunjungan ke Candi Ceto dan Candi Sukuh, padahal lokasinya dekat sekali dengan Solo. Sepertinya, waktu mereka habis di Solo, bernama sang narasumber nyentrik bernama Joko Darmono.

Hal lain yang cukup disayangkan, latar Jawa di buku ini ternyata hanya Solo. Padahal, saya mengharapkan acara jalan-jalan mereka akan dibagi sama rata untuk Solo dan Jogja. Sayangnya, Jogja baru muncul di halaman 283 (padahal tebal buku hanya 305 halaman), dan dikesankan hanya sekadar lewat. Jadilah Jawa di buku ini akhirnya serba tanggung dan terkesan kurang tebal jika dibandingkan dengan peradaban yang bisa jadi berjilid-jilid ensiklopedia untuk menuliskannya. 

Tetapi, mungkin Jogja memang sudah terlalu sering dituliskan dan dijadikan latar. Saatnya Solo yang tampil sebagai sebuah kesegaran dari Jawa. Tetapi juga, bisa jadi memang seri ini ditulis untuk pembaca awam yang bukan hanya Jawa, sehingga sebuah karya yang terlalu Jawa hanya akan berujung pada sebuah buku antropologi--dan bukannya novel. Tetapi juga (lagi), rasanya masih jomplang ketika sebuah buku yang diklaim "membawa Jawa" ternyata hanya mampir di satu kota saja, ya sudahlah.

No comments:

Post a Comment