Judul: Entrok
Pengarang: Okky Madasari
Tebal: 282 hlm
Cetakan: April 5, 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9789792255898
Ada begitu banyak hal terjadi dalam novel ini, yang semua terjadi pada era Orde Baru. Peristiwa-peristiwa besar saat itu, mulai dari PEMILU yang selalu dimenangkan oleh bendera kuning, kasus Kedung Ombo, maraknya Petrus (penembak misterius), peledakan delapan stupa Borobudur oleh kaum ekstremis, pelarangan hal-hal terkait budaya dan kesenian Tionghoa, dan KTP bertanda PKI. Konon masa itu, mereka yang menentang pihak berkuasa akan diberi cap sebagai PKI—atau istilahnya di PKI-kan. Orang dengan stempel imajinatif ini akan sulit mendapatkan pekerjaan, sulit diterima masyarakat, dan bahkan susah untuk menikah—seperti yang dialami Rahayu, anak Yu Marni.
Entrok berkisah tentang kehidupan 3 generasi perempuan yang menjadi korban dari masa kehidupan mereka. Adalah Yu Marni, seorang penghayat kepercayaan kepada Ibu Bumi dan Bapak Langit yang tak pernah lelah memberi sesajen dan melakukan penghayatan pada tengah malam di bawah pohon asem di rumahnya. Yu Marni kecil hidup dengan didikan emaknya yang hanya bisa pasrah melihat bagaimana wanita diperlakukan pada saat itu. Hanya kaum lelaki saja yang boleh digaji dalam bentuk uang, sementara pekerja perempuan hanya dibayar dalam bentuk barang. Yu Marni dan emaknya yang bekerja mengupas ketela tentu saja hanya mendapat bayaran berupa ketela.
Untung Yu Marni punya pemikiran bisnis yang moncer. Ia tidak ingin seterusnya hidup seperti itu, ia ingin bisa hidup sejahtera, tidak diremehkan, dan berdikari. Mulailah ia menjadi kuli perempuan pertama di pasar Singger. Dari uang hasil jadi kuli angkut, ia menggunakannya untuk berjualan sayur, yang diiderkan di kampung-kampung. Murni menjemput bola dengan mendatangi pembeli. Usahanya lancar dan berkembang hingga akhirnya dia menjadi juragan dengan sawah berhektar. Usaha lainnya adalah sebagai bangplecit dengan bunga 10%.
Dari sinilah semua masalah ribet mulai bergulir. Tidak ada yang bisa tenang ketika melihat ada sumber uang di depan mata. Kekuasaan kemudian dijadikan senjata untuk mencari uang, dengan prinsip perlindungan padahal aslinya hanyalah penerapan politik jatah preman. Pembaca diuat terombang-ambing tentang siapa yang sebenarnya salah di sini. Apakah Yu Marni yang kaya raya sebagian dari hasil membungakan utang, ataukah pihak-pihak berkuasa yang turut menikmmati riba meskipun di luar mereka mengutuknya.
Entrok benar-benar membuka pandangan tentang apa-apa yang selama ini keliru di sekitar tetapi tidak disadari kalau itu keliru karena sudah terlalu banyak yang melakukannya. Ketika sebuah kekeliruan dianggap wajar dan biasa saja, tidak ada kata lain kecuali pasrah demi keamanan diri. Harta hasil jerih payah sendiri diambil paksa. Keyakinan luhur yang dianut sejak nenek moyang dicurigai. Sementara pihak berkuasa semakin mengurita dan rakyat kecil yang apesnya tidak bisa berbuat apa-apa—termasuk ketika diberi label “terlarang” hanya karena tindakan memprotes pihak berkuasa.
Hampir-hampir tidak ada orang benar di novel ini. Ceritanya begitu miris, membuat pembaca hanya bisa menerima karena memang sedemikian kuat pihak yang berkuasa waktu itu. Mungkin, hanya usaha Yu Marni dengan jiwa wirausahanya yang layak untuk kita tiru. Jika punya uang, jangan melulu dihabiskan untuk konsumsi. Belilah barang investasi yang bisa menghasilkan uang lagi. Yu Marni telah mencontohkannya. Carilah uang, yang banyak, karena kadang hanya diri sendiri yang bisa menolong kita.
No comments:
Post a Comment