Search This Blog

Wednesday, November 19, 2025

Lelaki Lelaki Tanpa Perempuan

Judul: Lelaki Lelaki Tanpa Perempuan
Pengarang: Haruki Murakami
Penerjemah : Ribeka Ota (Sensei, terjemahannya bagus sekali. Indah banget asli kerasa liris dan bukan kayak baca buku terjemahan. Seolah memang karya ini ditulis aslinya dalam bahasa terjemahan. Memang sebagus itu terjemahannya *terharu)

Cetakan: Ketujuh, November 2024 

Tebal: 262 hlm

Penerbit: KPG 



"Sesuatu yang tampak luar biasa gemerlap dan absolut pada suatu saat, sesuatu yang membuat orang bahkan rela meninggalkan segala-galanya asal mendapatkannya, setelah beberapa waktu berlalu atau kalau dipandang dari sudut pandang yang sedikit berbeda, bisa jadi kelihatan begitu luar biasa kusam." (hlm. 164)

Cerpang (cerita cerita panjang) dalam buku kumcer ini untungnya tidak semuanya absurd. Kecuali dua cerpen terakhir, seluruh cerita di buku ini adalah tentang orang orang biasa yang Jepang banget. Tentu ketika itu kisah orang Jepang dan yg bercerita adalah Murakami, kisahnya jadi tidak biasa bagi pembaca.

Kisah kisah yang seolah biasa saja tetapi ditulis dengan mulus dan istimewa sehingga membuat pembaca larut dalam panjangnya cerita. Rasa lelah membaca panjang itu ada, tetapi seolah ada sesuatu yang menggedor pikiran untuk meneruskan membaca hingga menyimak akhir cerita yang kadang kok seperti begitu saja ya.

Membaca cerpen-cerpen Murakami memunculkan perasaan "nyaman" yang khas yang sering saya jumpai dalam novel-novel karya penulis Jepang yang diterjemahkan dengan baik. Ada nuansa teralienisasi, individualisme yang kuat, disiplin tinggi, kekepoan di tengah kecuekan khas orang Jepang, tapi di saat yang sama ada sensasi akrab dan lamban yang enak dinikmati.

Sensasi ini kembali saya temukan saat membaca cerpen pertama buku ini. Seorang pria 40 tahunan memutuskan mencari sopir pribadi sehabis dirinya mengalami kecelakaan akibat keterabatasan jarak pandangan. SIM-nya untuk sementara dicabut sehingga ia harus mengandalkan orang lain untuk menyupirinya ke tempat kerjanya sebagai pemain sandiwara. Proses pencarian sopir ini berujung pada seorang wanita nyentrik yang ternyata cocok. 

Bukan Murakami kalau ceritanya tidak sedikit melenceng kemana-mana tetapi masih enak diikuti. Proses pencarian sopir ini seakan hanya menjadi dalih untuk cerita lain yang lebih dalam. Si pria habis kehilangan istrinya yang wafat karena kanker rahim. Terlepas dari cinta dan kesetiaannya kepada sang istri, ia mendapati istrinya ternyata telah berselingkuh dengan setidaknya 4 pria. Ia tahu tapi ia tidak mau tahu. Ia pura-pura tidak tahu. Dan setelah istrinya meninggal, pertanyaan mengapa itu pun muncul. Apa yang kurang dalam dirinya, mengapa istrinya tega melakukan hal tidak senonoh dengan pria lain, dan semua pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab. Ini adalah kisah tentang kegamangan seorang pria, tanpa solusi yang jelas, tetapi hanya untuk dikisahkan begitu saja. 

"Di antara beragam perasaan yang dialami manusia barangkali tak ada yang lebih sulit diatasi ketimbang iri hati dan tinggi hati." (hlm. 184)

Hal lain selain absurditas dalam unik yang berceceran sepanjang buku ini, adalah elemen seksualitas yang begitu kental. Hampir semua cerita ada unsur seksnya dengan kebanyakan menyorot pada sisi perempuan kecuali pada kisah Gregor Samsa yang digambarkan berereksi melihat tamu wanitanya. Entah itu perselingkuhan, seks di luar ikatan, atau fetish seorang remaja yang mengidolakan kawan cowok sekelasnya, unsusr seks seolah menjadi pembangun cerita sekaligus penggerak yang lumayan kuat untuk kisah kisah orang di buku ini. 


Buku ini ikut memunculkan perasaan enak dibaca tapi tetap berjarak dari ceritanya, sepi dan ngun ngun, jauh tapi kita mengenalnya. Dengan kalimat lain, sensasi yg sering kita jumpai saat membaca novel karya pengarang Jepang. Tema kadang berat dan kelam, tp Murakami mengemasnya dengan populer, sehingga banyak kita jadi bisa menerima dan memakluminya, sampai  akhirnya tersadar bahwa kisahnya ternyata sekroak itu.

Bisakah kita memaklumi seorang Kino yang hanya diam saja melihat istrinya menduduki rekan sekerjanya dalam kondisi tanpa busana? Tak habis pikir bagaimana seorang pria mapan yang menjunjung logika malah menjadi 'logila' bahkan sampai menyerah menjadi manusia hidup karena sakit cinta? Atau, kisah tentang si kecoa yang menjadi Gregor Samsa kemudian jatuh cinta?

Kisah-kisah itu terlalu absurd dan tak terpikirkan oleh kita, tetapi tentu saja ada. Dunia kadang lebih fiksi dari fiksi, dan Murakami seolah hendak membuktikan serta mengilustrasikan hal hal itu lewat fiksi karyanya. Manusia sejatinya mahkluk yg kuat sekaligus rapuh, kurang sekaligus penuh, dan sebuah kelokan tajam dalam perjalanan hidup dapat mengubah total apa yang selama ini diupayakan.

"Kita mungkin bisa mempertahankan kewarasan jika kita terus mengerjakan hal-hal kecil dengan telaten dan jujur." (hlm. 241)

Sejatinya apa dan bagaimana menjadi manusia. Dengan menjadi individu, bisakah kita lepas dari keruwetan dan kerandoman dunia. 
Dan Murakami berhasil menangkap kenyataan ini lewat kepiawaiannya serta entah proses kreatif seperti apa yang dialami dan dilaluinya. Kisah kisah di buku ini membuktikan sebaliknya. Manusia dengan segala keunikan dan keindividuannya adalah ruang untuk terjadinya berbagai cerita, yang absurb maupun yang biasa. Seperti yang dikatakan Syahrazad di halaman 164: "Kehidupan ini memang aneh."


No comments:

Post a Comment