Judul: Chairil Anwar, Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta
Penyusun: Sergius Sutanto
Tebal: 432 halaman
Cetakan: Pertama, October 2017
Penerbit: Qanita
ISBN: 9786024020989 (ISBN10: 6024020988)
Selama ini hanya tahu penyair kenamaan ini dari karya-karyanya saja, yang bahkan sudah dikenalkan begitu dini. Sajak Karawang-Bekasi yang legendaris itu, yang pertama kali dibaca di sebuah buku pelajaran bahasa Indonesia saat masih bersekolah di tingkat pertama, adalah ingatan yang muncul tentang Chairil Anwar. Dari banyak info sepotong-potong yang beredar tentang sang penyair, juga dari Rangga yang kono bisa menjadi begitu romantis setelah membaca "Aku" karya Chairil Anwar, penyair ini terlihat begitu tinggi, dialah pelopor angkatan 45--salah satu penyair terbesar di Repulik ini.
Tetapi judul Aku ternyata menggambarkan dengan tepat bagaimana sosok Chairil Anwar seperti digambarkan di buku ini. Buku ini ditulis berdasarkan wawancara dengan putri kandungnya, dan juga berbasis riset pustaka pada begitu banyak sumber referensi yang sebagian memang kawan dekat atau setidaknya orang-orang yang pernah berinteraksi dengan sang penyair, seperti Rosihan Anwar, Des Alwi, dan H.B. Jassin. Saya sendiri baru tahu di buku ini kalau Chairil Anwar adalah keponakan dari Sutan Syahrir, seorang pejuang kemerdekaan dan Perdana Menteri Indonesia yang pertama.
Lingkungan "elite" inilah yang menyemai luasnya bibit kreativitas dari seorang Chairil. Dari muda hingga usia 19 tahun, digambarkan Chairil bisahidup enak, semua tercukupi, dengan asupan buku-buku dunia milik ayahnya. Memang ya, lingkungan dan mendukung serta priviledge itu punya andil sangat besar dalam mendorong lahirnya seorang sastrawan hebat (meskipun bukan satu-satunya faktor pendukung). Satu yang jelas, untuk bisa hebat tetap butuh modal--apa pun itu. Lewat koneksi keluarga dan juga kecukupan harta inilah, Chairil muda cenderung lebih mudah untuk bisa bertemu dengan sosok-sosok besar di neggeri ini.
Betapa bisa dibayangkan irinya banyak dari kita, ketika dalam usianya yang masih 20an awal, Chairil yang memang sudah menyemai bibit sastrawan dalam dirinya, bisa bertemu dengan sosok-sosok legendaris sastra negeri ini, seperti Sutan Takdir Alisyahbana dan Mohammad Hatta. Mengetahui bahwa Chairil adalah keponakan dari Sutan Syahrir (yang merupakan teman akrab dari Moh. Hatta dan Soekarno) sudah membuat iri. Betapa ia bisa dengan mudah dan dekatnya bertemu dengan orang-orang hebat. Ini mungkin membuktikan tesis bahwa banyak orang hebat yang dilahirkan dari lingkungan orang-orang hebat semua.
Tetapi di balik segala kebesaran namanya, buku ini mengelupas sosok Aku, si Binatang Jalang, hingga ngelotok. Kita sudah maklum dengan sejumlah seniman atau penyair atau sastrawan yang memiliki tingkah nyeleneh atau tak biasa. Chairil Anwar benar-benar menunjukkan ciri itu ada dalam dirinya. Kebebasan, anti kemapanan, agak bohemian, tidak mau terkunkung rutinitas--semua atas nama kreativitas. Chairil adalah tipe sastrawan yang memuja inspirasi. Ia melakukan kebebasan agar bisa bebas mendapatkan inspirasi untuk karya-karyanya. Dan memang benar ada tipe sastrawan (atau orang) yang seperti ini. Ia membutuhkan egosime diri untuk bisa menghasilkan hal-hal besar.
Sayangnya, tidak semua orang di dekatnya mampu memahami kecenderungan ini. Berulang kali Chairil mendapat nasihat dan ceramah tentang ggaya hidupnya yang awut-awutan dan kacau. Rutinitas kerja sangat dihindarinya--itu membuatnya tidak produktif, katanya. Bahkan soal keuangan pun dia kacau, entah sudah berapa banyak kawan yang menjadi "korban" untuk berutang uang. Diceritakan juga betapa di penghujung hidupnya Chairil harus berpindah-pindah menumpang tinggal di kos dan tempat tinggal para sahabatnya. Dan meski begitu, Chairil tetap dengan keakuannya, dengan semangat bebas tak terkekang.
Chairil Anwar adalah gambaran untuk sastrawan era bohemian yang menjunjung kebebasan, yang diakuinya sendiri saat mengutip kehidupan Van Gogh yang juga meninggal dalam kondisi miskin dengan hanya satu lukisan yang terjual selama ia hidup. Ia berutang banyak pada kawan-kawannya, yang begitu sering ia ejek dan ia sindir sebagai budak-budak kemapanan. Bisa dibilang, Chairil Anwar sangat beruntung memiliki lingkungan kehidupan dan kawan-kawan yang sangat mendukung kariernya sebagai penyair hebat negeri ini. Bahkan, ia sendiri berutang budi pada HB. Jassin sebagai orang yang pertama kali menerima dan mengusahakan agar puisi-puisinya bisa terbit.
Sayangnya, ia tidak beruntung dalam hal masa kehidupannya, juga percintaannya, selain juga keuangannya. Chairil berkarya dalam tiga zaman (penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan masa Revolusi fisik Kemerdekaan). Ketiga masa genting inilah yang menyuburkan kreativitasnya, sekaligus menggerogoti dirinya. Kebiasaannya yang sangat produktif menghabiskan rokok, kelayapan di tengah malam, jarang pulang, jarang makan teratur, abai pada kesehatan yang akhirnya turut menurunkan kondisi kesehatannya. Tahun 1948 ia didiagnosis terkena TBC dan tifus akut. Dan mirisnya lagi, Sang Penyair Binatang Jalang ini bahkan tidak kuat untuk membayar biaya pengobatan dirinya sendiri. Terpaksa ia berutang lagi kepada kawan-kawannya yang sedemikian memaklumi kelakuan Chairil.
Kreativitas memang tak terbatas tetapi pada akhirnya tetap
harus tunduk pada batas-batas duniawi. Chairil Anwar mungkin ingin hidup seribu
tahun lagi, mencipta lebih banyak puisi, dan membaca banyak buku-buku
bergizi--tetapi semua itu pada akhirnya harus menyerah pada tubuh yang lemah.
Dalam usia yang begitu muda, 27 tahun, Chairil Anwar pergi dengan meninggalkan
sajak-sajak perkasa yang terus diperbincangkan pembaca--seperti cita-citanya.
No comments:
Post a Comment