Judul: Nusantaria: Sejarah Asia Tenggara Maritim
Penulis: Philip Bowring
Penerjemah:Febri Ady Prasetyo
Tebal: 436 hlm
Cetakan: Maret 2022
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Nusantaria
merupakan istilah yang digunakan penulis untuk merujuk pada kawasan Asia
Tenggara Kepulauan. Wilayah ini mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia
saat ini, Semenanjung Malaya, seluruh pulau-pulau kecil di Laut China Selatan,
Pulau Borneo, dan kepulauan Filipina (bahkan mencakup Taiwan). Wilayah anak
benua kepulauan ini sudah sejak lama dipersatukan oleh tradisi pelayaran
samudra sejak zaman kuno, kebudayaan maritim serta rumpun bahasa Austronesia.
Buku ini secara singkat adalah paparan dari sejarah wilayah kepulauan dengan
tradisi pelayaran maritim terbesar dan terpenting di dunia, semenjak
berakhirnya zaman es terakhir hingga terpecah-pecahnya wilayah ini menjadi
beberapa negara modern yang seolah saling memiliki kebudayaan sendiri padahal
mereka dulunya satu.
Kira-kira
pada tahun 500 Sebelum Masehi, para pelaut dari kawasan Nusantaria telah
menjadi perintis dari pelayaran samudra yang menghubungkan Kepulauan Rempah
dengan India, Tiongkok, dan kemudian dengan pantai Arab dan Afika Timur. Wilayah
Laut China Selatan dan Samudra Hindia menjadi area jelajah dari para pelaut dan
pedagang pemberani lewat perahu-perahu khas bercadik yang beberapa gambarnya
bisa ditemukan di sejumlah situs kuno yang tersebar di kawasan ini. Laut adalah
penghubung, bukannya pemisah, bagi mereka yang mendiami wilayah ini sejak lama.
Kekurangan
bukti atau catatan tertulis tentang peradaban kuno di wilayah ini disebabkan
karena kerajaan-kerajaannya relatif berusia pendek dan kebanyakan catatan mungkin
ditulis dalam lontar serta istananya yang terbuat dari kayu. Selain
monumen-monumen megah dari batu yang banyak dijumpai di Jawa dan pesisir
Vietnam, sulit sekali menemukan bukti atau catatan dari kerajaan-kerajaan besar
yang pernah menguasai wilayah ini. Bukti yang paling kuat justru
didapatkan dari kesamaan aspek kebahasaan antara orang-orang di Nusantaria
dengan penduduk di Madagaskar. Catatan sejarah melimpah juga dapat dibaca dari catatan-catatan
tertulis dari kerajaan Tiongkok.
Penduduk Nusantaria kuno juga cenderung
tidak memiliki tulisan sementara teks-teks India pada masa itu lebih
dikhususkan untuk mencatat hal-hal tentang agama. Tetapi dalam kitab Epos Ramayana, disebutkan
tentang tempat bernama Swarnadwipa (Semenanjung atau Pulau Emas) dan
Swarnabhumi (Tanah Emas). Dua tempat ini mungkin menggambarkan wilayah yang mencakup wilayah
Nusantaria bagian barat. Penulis Romawi Plinius Tua juga mencatat tentang para
pedagang “dengan wajah yang terbakar sinar matahari” yang dikira berasal dari
Ethiopia. Tetapi gambaran Plinius lebih merujuk pada orang dari Asia dan bukan
Afrika. Para pedagang ini berlayar menyusuri lautan luas selama berbulan-bulan
hingga wajahnya terbakar sinar matahari. Mereka juga menggunakan perahu bercadik yang dikira
perahu berdayung.
Sampai saat ini, para ahli
sejarah belum menemukan catatan tertulis yang menjelaskan bagaimana rempah dan
wewangian Nusantaria ditemukan dalam penggalian arkeologis bekas kerajaan
Babilonia kuno. Teks Mesir dari tahun 1500 SM menyebut tentang ekspedisi ke
Negeri Punt yang kaya akan emas, gading, dan kayu wangi dari kawasan tropis
serta membawa kayu manis. Wilayah Punt ini awalnya dikira salah sau wilayah di
Afrika tropis, tetapi Sumatra, Semenajung Malaya, dan ujung selatan Tiongkok
tampaknya lebih cocok untuk menggambarkan asal-usul produk Nusantaria tersebut.
teks-teks Ibrani dari masa Raja Sulaiman (950 SM) juga menyebut cendana yang
kemungkinan besar berasal dari pulau Timor.
Selain rempah, ciri khas lain
yang sekaligus menjadi kebanggaan orang Nusantaria adalah kapalnya. Sebuah teks
kuno dari Tiongkok pada abad 3 M menggambarkan sebuah kapal raksasa yang
sanggup memuat enam ratus hingga tujuh ratus orang dengan layar yang terbuat
dari daun-daun pohon yang dianyam. Lambung kapal dibuat dari papan-papan yang
disatukan oleh sabut kelapa, dan sama sekali tidak menggunakan besi ataupun
paku. Sebuah bukti bahwa orang-orang Nusantaria sudah piawai membuat kapal yang
tangguh mengarungi samudra.
Hal yang unik, kebudayaan dan
agama India lebih mendominasi Nusantaria ketimbang agama atau budaya Tiongkok
pada awal-awal tahun Masehi. Wilsayah ini banyak mengimpor barang-barang dari
Tiongkok tetapi kebudayaan mereka bercorak India. Dan, meskipun budaya India
mendapatkan puncak kemegahannya di pulau Jawa (dengan banyaknya candi megah),
pengaruhnya lebih dulu tiba dan berkembang di Semenanjung Melayu dan Asia
Tenggara Benua. Peziarah Buddhis asal Tiongkok bernama Faxian mencatat pada
abad 5 M penduduk Ye Po Ti (Jawa) mulai menganut ajaran Buddha meskipun belum seutuhnya. Dan puncaknya
pada abad 7 M, biksu T-tsing melaporkan telah ada lebih dari 1000 biksu Budhha di Mo
Lo Yu (Melayu atau sekarang di Jambi).
Selama abad-abad berikutnya,
wilayah Nusantaria relatif stabil oleh perdagangan dan sejumlah kerajaan lokal
yang menganut ajaran Hindu dan Buddha. Monumen-monumen megah seperti Borobudur,
Prambanan, dan Angkorwat didirikan. Sejumlah peperangan terjadi, sesuatu
yang wajar di masa itu karena terjadi juga di penjuru Timur Tengah dan Eropa.
Kerajaan-kerajaan besar yang mewarnai masa ini diantaranya Sriwijaya dan
Majapahit, juga Khmer di Kamboja. Perubahan cukup signifikan terjadi dengan
datangnya Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat dan India. Islam
awalnya banyak dipeluk oleh penduduk di pesisir Nusantaria. Diawali dengan para
pedagang dari Timur Tengah yang menikahi penduduk lokal dan kemudian menyebarkan
dakwahnya.
Islam menyebar di Nusantaria awal
lewat jalur perdagangan. Buku ini memaparkan tesis para sejarahwan tentang
proses islamisasi yang cenderung damai—meski sesekali terjadi konflik dan
pertikaian. Tetapi perang tidak dapat dihindarkan ketika kerajaan-kerajaan
bercorak Islam mulai bermunculan di pesisir Sumatra dan Jawa serta di
semenajung Malaya. Diawali dengan Samudra Pasai, lalu Demak, dan Malaka. Demak
bahkan diduga menjadi salah satu penyebab runtuhnya Majapahit. Perang politik yang
mengatasnamakan agama pun beberapa kali terjadi. Tetapi kedatangan Islam tidak
sampai mengubah drastis kondisi Nusantaria. Warga masih berdagang dan
berlayar sebagaimana ratusan tahun sebelumnya dengan kerajaan-kerajaan kecil yang saling bersaing.
Perubahan sekaligus goncangan
terbesar terhadap Nusantaria datang bukan dari kerajaan tetangga (Tiongkok),
tetapi dari sebuah peradaban kecil jauh di Barat: Portugis. Kedatangan Portugis
yang awalnya hendak mencari rempah dan berdagang berubah menjadi niat untuk
menkolonialisasi. Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, satu
demi satu wilayah Nusantaria mulai terpecah dan diinfiltrasi oleh
kekuatan-kekuatan dari Eropa. Spanyol saling berebut pengaruh dengan Portugis
hingga mereka mendapatkan Filipina. Belanda dengan VOC-nya perlahan mulai
mengusai wilayah besar Nusantaria yang di kemudian hari menjadi sebuah jajahan luas
bernama Hindia Belanda. Sementara Inggris dan Prancis saling berebut pengaruh
di semenanjung dan Asia Tenggara benua.
Masa empat ratus tahun antara abad
ke-16 hingga abad ke-19 adalah masa kolonialisasi Barat di Nusantaria. Masa
panjang ini tidak hanya menghapuskan corak tradisi pelayaran dan peradaban
besar di Nusantaria kuno, tetapi juga memecah-mecah penduduk Nusantaria menjadi
entitas-entitas tersendiri yang tidak hanya merasa terpisah oleh wilayah,
tetapi juga agama dan negara yang mengkolonialisasinya. Filipina menjadi
satu-satunya wilayah bekas Melayu yang “enggan” melekatkan identitas
kemelayuannya dan ironisnya juga jarang dilibatkan dalam kajian Melayu modern.
Padahal wilayahnya termasuk kawasan Nusantaria dengan corak Melayu kental
tetapi sekarang negara ini memilih berorientasi ke Pasifik dan menjadi
satu-satunya negara Asia yang mayoritas penduduknya beragama Katolik.
Hingga datang abad ke-20 dengan semangat nasionalismenya. Penduduk jajahan di Nusantaria mulai tergerak untuk berjuang melawan penjajahan dan kolonialisme. Produknya adalah negara-negara modern yang kini kita kenal dengan Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, Birma, Vietnam, dan Kamboja. Thailand menjadi satu-satunya kerajaan di Asia Tenggara yang tidak dijajah meskipun pemerintahannya turut disetir oleh Inggris. Ancaman Nusantaria yang kini menjadi ASEAN bukan lagi berasal dari Barat atau Eropa, tetapi dari saudara tua yang sejak lama telah menjalin hubungan perdagangan dan pelayaran dengan wilayah ini.
No comments:
Post a Comment