Search This Blog

Friday, January 10, 2025

Nusantaria, the Empire of Winds

 Judul: Nusantaria: Sejarah Asia Tenggara Maritim

Penulis: Philip Bowring 

Penerjemah:Febri Ady Prasetyo

Tebal: 436 hlm

Cetakan: Maret 2022 

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia 



                Nusantaria merupakan istilah yang digunakan penulis untuk merujuk pada kawasan Asia Tenggara Kepulauan. Wilayah ini mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia saat ini, Semenanjung Malaya, seluruh pulau-pulau kecil di Laut China Selatan, Pulau Borneo, dan kepulauan Filipina (bahkan mencakup Taiwan). Wilayah anak benua kepulauan ini sudah sejak lama dipersatukan oleh tradisi pelayaran samudra sejak zaman kuno, kebudayaan maritim serta rumpun bahasa Austronesia. Buku ini secara singkat adalah paparan dari sejarah wilayah kepulauan dengan tradisi pelayaran maritim terbesar dan terpenting di dunia, semenjak berakhirnya zaman es terakhir hingga terpecah-pecahnya wilayah ini menjadi beberapa negara modern yang seolah saling memiliki kebudayaan sendiri padahal mereka dulunya satu.

                Kira-kira pada tahun 500 Sebelum Masehi, para pelaut dari kawasan Nusantaria telah menjadi perintis dari pelayaran samudra yang menghubungkan Kepulauan Rempah dengan India, Tiongkok, dan kemudian dengan pantai Arab dan Afika Timur. Wilayah Laut China Selatan dan Samudra Hindia menjadi area jelajah dari para pelaut dan pedagang pemberani lewat perahu-perahu khas bercadik yang beberapa gambarnya bisa ditemukan di sejumlah situs kuno yang tersebar di kawasan ini. Laut adalah penghubung, bukannya pemisah, bagi mereka yang mendiami wilayah ini sejak lama.

Kekurangan bukti atau catatan tertulis tentang peradaban kuno di wilayah ini disebabkan karena kerajaan-kerajaannya relatif berusia pendek dan kebanyakan catatan mungkin ditulis dalam lontar serta istananya yang terbuat dari kayu. Selain monumen-monumen megah dari batu yang banyak dijumpai di Jawa dan pesisir Vietnam, sulit sekali menemukan bukti atau catatan dari kerajaan-kerajaan besar yang pernah menguasai wilayah ini. Bukti yang paling kuat justru didapatkan dari kesamaan aspek kebahasaan antara orang-orang di Nusantaria dengan penduduk di Madagaskar. Catatan sejarah melimpah juga dapat dibaca dari catatan-catatan tertulis dari kerajaan Tiongkok.

Penduduk Nusantaria kuno juga cenderung tidak memiliki tulisan sementara teks-teks India pada masa itu lebih dikhususkan untuk mencatat hal-hal tentang agama.  Tetapi dalam kitab Epos Ramayana, disebutkan tentang tempat bernama Swarnadwipa (Semenanjung atau Pulau Emas) dan Swarnabhumi (Tanah Emas). Dua tempat ini mungkin menggambarkan wilayah yang mencakup wilayah Nusantaria bagian barat. Penulis Romawi Plinius Tua juga mencatat tentang para pedagang “dengan wajah yang terbakar sinar matahari” yang dikira berasal dari Ethiopia. Tetapi gambaran Plinius lebih merujuk pada orang dari Asia dan bukan Afrika. Para pedagang ini berlayar menyusuri lautan luas selama berbulan-bulan hingga wajahnya terbakar sinar matahari. Mereka juga menggunakan perahu bercadik yang dikira perahu berdayung.

Sampai saat ini, para ahli sejarah belum menemukan catatan tertulis yang menjelaskan bagaimana rempah dan wewangian Nusantaria ditemukan dalam penggalian arkeologis bekas kerajaan Babilonia kuno. Teks Mesir dari tahun 1500 SM menyebut tentang ekspedisi ke Negeri Punt yang kaya akan emas, gading, dan kayu wangi dari kawasan tropis serta membawa kayu manis. Wilayah Punt ini awalnya dikira salah sau wilayah di Afrika tropis, tetapi Sumatra, Semenajung Malaya, dan ujung selatan Tiongkok tampaknya lebih cocok untuk menggambarkan asal-usul produk Nusantaria tersebut. teks-teks Ibrani dari masa Raja Sulaiman (950 SM) juga menyebut cendana yang kemungkinan besar berasal dari pulau Timor.

Selain rempah, ciri khas lain yang sekaligus menjadi kebanggaan orang Nusantaria adalah kapalnya. Sebuah teks kuno dari Tiongkok pada abad 3 M menggambarkan sebuah kapal raksasa yang sanggup memuat enam ratus hingga tujuh ratus orang dengan layar yang terbuat dari daun-daun pohon yang dianyam. Lambung kapal dibuat dari papan-papan yang disatukan oleh sabut kelapa, dan sama sekali tidak menggunakan besi ataupun paku. Sebuah bukti bahwa orang-orang Nusantaria sudah piawai membuat kapal yang tangguh mengarungi samudra.

Hal yang unik, kebudayaan dan agama India lebih mendominasi Nusantaria ketimbang agama atau budaya Tiongkok pada awal-awal tahun Masehi. Wilsayah ini banyak mengimpor barang-barang dari Tiongkok tetapi kebudayaan mereka bercorak India. Dan, meskipun budaya India mendapatkan puncak kemegahannya di pulau Jawa (dengan banyaknya candi megah), pengaruhnya lebih dulu tiba dan berkembang di Semenanjung Melayu dan Asia Tenggara Benua. Peziarah Buddhis asal Tiongkok bernama Faxian mencatat pada abad 5 M penduduk Ye Po Ti (Jawa) mulai menganut ajaran Buddha meskipun belum seutuhnya. Dan puncaknya pada abad 7 M, biksu T-tsing melaporkan telah ada lebih dari 1000 biksu Budhha di Mo Lo Yu (Melayu atau sekarang di Jambi).

Selama abad-abad berikutnya, wilayah Nusantaria relatif stabil oleh perdagangan dan sejumlah kerajaan lokal yang menganut ajaran Hindu dan Buddha. Monumen-monumen megah seperti Borobudur, Prambanan, dan Angkorwat didirikan. Sejumlah peperangan terjadi, sesuatu yang wajar di masa itu karena terjadi juga di penjuru Timur Tengah dan Eropa. Kerajaan-kerajaan besar yang mewarnai masa ini diantaranya Sriwijaya dan Majapahit, juga Khmer di Kamboja. Perubahan cukup signifikan terjadi dengan datangnya Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat dan India. Islam awalnya banyak dipeluk oleh penduduk di pesisir Nusantaria. Diawali dengan para pedagang dari Timur Tengah yang menikahi penduduk lokal dan kemudian menyebarkan dakwahnya.

Islam menyebar di Nusantaria awal lewat jalur perdagangan. Buku ini memaparkan tesis para sejarahwan tentang proses islamisasi yang cenderung damai—meski sesekali terjadi konflik dan pertikaian. Tetapi perang tidak dapat dihindarkan ketika kerajaan-kerajaan bercorak Islam mulai bermunculan di pesisir Sumatra dan Jawa serta di semenajung Malaya. Diawali dengan Samudra Pasai, lalu Demak, dan Malaka. Demak bahkan diduga menjadi salah satu penyebab runtuhnya Majapahit. Perang politik yang mengatasnamakan agama pun beberapa kali terjadi. Tetapi kedatangan Islam tidak sampai mengubah drastis kondisi Nusantaria. Warga masih berdagang dan berlayar sebagaimana ratusan tahun sebelumnya dengan kerajaan-kerajaan kecil yang saling bersaing.

Perubahan sekaligus goncangan terbesar terhadap Nusantaria datang bukan dari kerajaan tetangga (Tiongkok), tetapi dari sebuah peradaban kecil jauh di Barat: Portugis. Kedatangan Portugis yang awalnya hendak mencari rempah dan berdagang berubah menjadi niat untuk menkolonialisasi. Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, satu demi satu wilayah Nusantaria mulai terpecah dan diinfiltrasi oleh kekuatan-kekuatan dari Eropa. Spanyol saling berebut pengaruh dengan Portugis hingga mereka mendapatkan Filipina. Belanda dengan VOC-nya perlahan mulai mengusai wilayah besar Nusantaria yang di kemudian hari menjadi sebuah jajahan luas bernama Hindia Belanda. Sementara Inggris dan Prancis saling berebut pengaruh di semenanjung dan Asia Tenggara benua.

Masa empat ratus tahun antara abad ke-16 hingga abad ke-19 adalah masa kolonialisasi Barat di Nusantaria. Masa panjang ini tidak hanya menghapuskan corak tradisi pelayaran dan peradaban besar di Nusantaria kuno, tetapi juga memecah-mecah penduduk Nusantaria menjadi entitas-entitas tersendiri yang tidak hanya merasa terpisah oleh wilayah, tetapi juga agama dan negara yang mengkolonialisasinya. Filipina menjadi satu-satunya wilayah bekas Melayu yang “enggan” melekatkan identitas kemelayuannya dan ironisnya juga jarang dilibatkan dalam kajian Melayu modern. Padahal wilayahnya termasuk kawasan Nusantaria dengan corak Melayu kental tetapi sekarang negara ini memilih berorientasi ke Pasifik dan menjadi satu-satunya negara Asia yang mayoritas penduduknya beragama Katolik.

Hingga datang abad ke-20 dengan semangat nasionalismenya. Penduduk jajahan di Nusantaria mulai tergerak untuk berjuang melawan penjajahan dan kolonialisme. Produknya adalah negara-negara modern yang kini kita kenal dengan Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, Birma, Vietnam, dan Kamboja. Thailand menjadi satu-satunya kerajaan di Asia Tenggara yang tidak dijajah meskipun pemerintahannya turut disetir oleh Inggris. Ancaman Nusantaria yang kini menjadi ASEAN bukan lagi berasal dari Barat atau Eropa, tetapi dari saudara tua yang sejak lama telah menjalin hubungan perdagangan dan pelayaran dengan wilayah ini.

No comments:

Post a Comment