Search This Blog

Sunday, August 11, 2024

Perca-Perca Bahasa

Judul:: Perca-Perca Bahasa
Penulis: Holy Adib
Tebal: 180 hlm
Cetakan: Maret 2021
Penerbit: DIVA Press


Keingintahuan dan kemauan untuk selalu belajar tetap menjadi kunci utama seseorang dapat menguasai suatu bidang keilmuwan. Pun demikian, mau belajar juga sebuah upaya yag layak dibanggakan. Seperti saya dan kita yang tertarik membaca buku atau esai tentang bahasa yang sekarang gampang sekali mengaksesnya secara gratis. Salah satunya, buku Perca-Perca Bahasa karya Hoky Adib yang dapat kita baca secara gratis di Ipusnas (walau kalau buat saya sih wajib punya versi cetaknya). Dan, saya butuh banget membaca buku ini. Bergulat *waduh* eh bergelut selama hampir sepuluh tahun di dunia penerbitan tidak menjamin saya benar-benar menguasai benar Bahasa Indonesia dengan segala pernak-perniknya. Ternyata, masih banyak yang belum saya kuasai. 

Harus banyak peluh yang tercucur, tenaga yang terkucur, dan waktu yang tercukur untuk menjadi penulis hebat (hlm. 170)

Buku ini merupakan kumpulan esai bahasa yang dikumpulkan dari sejumlah laman online. Meski sumbernya media daring, kita tidak perlu meragukan ketekunan penulis dalam menulis esai-esai tersebut. Sekian buku bahasa hingga deretan kamus legendaris menjadi bahan rujukan untuk penulisan esai-esai ini. Dan, dengan demikian, materi di dalamnya dapat diandalkan juga dijadikan sumb er referensi bagi para pemerhati dan pengguna Bahasa Indonesia. 

Beberapa, eh banyak materi yang seharusnya dasar tetapi nyatanya banyak yang saya sering lupa atau bahkan baru tahu. Misalnya saja, kata "bahwa: pada kalimat ini tidak bisa diganti dengan koma (demi efisiensi) karena akan merancukan posisi subyek/predikat (dan tidak bisa dianalisis secara sintaksis): 

"Ia menjelaskan, orang itu adalah temannya."

Jadi, bahwa tetap harus digunakan meskipun ada alasan efisiensi kata dengan tidak menggunakannya. Juga ada perbedaan besar antara kedua ungkapan khas ini:

aktor pembunuhan: pelaku atau eksekutor pembunuhan

auktor pembunuhan: otak/orang yang merencanakan pembunuhan (atau auktor intelektualis)"

Ungkapan 'dukungan moril' tidak bisa diganti dgn 'dukungan moral'. Moril sendiri bentuk tak baku dari "morel". Bantuan morel ; sokongan batin, bukan berupa uang atau barang."

Perkara imbuhan yang khas bahasa Indonesia bangat, ada sejumlah aturan yang harus ditaati agar  sebuah imbuhan bisa diterima ."Imbuhan "isasi" belum jadi imbuhan resmi dalam bahasa Indonesia, meski kita sudah sering melihat penggunaannya. Juga bahwa kata baku dan kata tidak baku tidak ada hubungannya dengan benar atau tidaknya sebuah kata. Tidak baku bukan berarti salah. Keduanya boleh digunakan, tergantung konteksnya. Jadi lain kali, jangan bilang "Manakah yang benar: himbau atau imbau?" tapi bilangnya begini: "Manakah yang baku: himbau atau imbau?" Baku dan tiak baku hanya perkara mana yang resmi dan tidak resmi, kedua-duanya sama-sama digunakan. 

Tentang akronim, atau singkatan, saya juga baru tahu kalau akronim bisa digunakan untuk menyembunyikan sesuatu. Ini terkait dengan fungsi bahasa yang salah satunya digunakan untuk menyembunyikan sesuatu (termasuk yg negatif). Dalam konsep kekuasaan, bahasa sering digunakan para penguasa  untuk menyembunyikan "sesuatu" dari warga negaranya. Salah satu yang dicontohkan penulis adalah tentang akronim DPR. Betapa sering dan akrab kita dengan singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat ini sehingga mungkin kita lupa kalau DPR ya tugasnya mewakili rakyat. Hal yang lebih berbahaya, ketika anggota DPR itu lupa kalau DPR adaalah Dewan Perwakilan Rakyat! Mereka lupa kalau tugasnya ya mewakili kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi dan golongan.

Bahasa ternyata luar biasa. Tidak hanya beraneka ragam (jumlahnya bahasa daerah di Indonesia sendiri tercatat ada 710 - 720 bahasa daerah), bahasa juga turut membentuk perilaku dan pemikiran penggunanya. 


No comments:

Post a Comment