Search This Blog

Monday, August 12, 2024

Perjalanan Mustahil Samiam dari Lisboa; Sepasang Elang dari Diyarbakir

Judul: Perjalanan Mustahil Samiam dari Lisboa; Sepasang Elang dari Diyarbakir
Pengarang: Zaky Yamani
tebal: 352 halaman, Paperback
Cetakan: Pertama, Juni 2024
Sampul:
Penerbit; Gramedia Pustaka Utama




Melanjutkan kisah dari buku pertama, Samiam, Bianca dan ayahnya, João, dipukul dan ditangkap saat tengah berada di Konstantinopel. Para penangkapnya ternyata antek-antek dari Ordo Fransiskan yang tujuannya memang hendak memberangus seluruh anggora Porto de Graal yang gagal membunuh Paus. Perjalanan Samiam yang awalnya hanya bertujuan mencari tanah leluhurnya di Sunda, Pulau Jawa, kini semakin rumit. Tanpa sadar, dia terlibat dalam sebuah pertikaian dan perang intrik skala internasional dari kekuatan-kekuasaan politik besar di abad ke-16, yakni Takhta Suci Vatikan, Imperium Turki Utsmani, dan Dinasti Safavid di Persia. Ketiganya menjadi sekadar boneka dari tangan-tangan berkuasa yang tidak ragu menggunakan cara apa pun untuk meraih kekuasaan.

Samiam kemudian dijual sebagai budak dari seorang Syekh yang juga seorang saudagar Arab kaya, sementara Bianca dan ayahnya diambil sebagai budak oleh Hakim Mehmed Ebussuud Effendi, seorang pembesar di lingkup pusat kerajaan Ottoman. Sedikit yang ketiganya ketahui, bahwa nasib mereka sebagai budak menjadi awal dari kisah hidup dan perjuangan sarat penderitaan. Samiam merasakan sendiri betapa menderitanya dirinya menjadi seorang budak belian, dari yang seumur hidup menjadi orang terbuka. Sebagai budak, dia harus memulai segala sesuatunya dari bawah, meninggalkan semua atribut diri. Ibarat dirinya dilucuti habis-habis sebagai seorang pribadi rendahan yang hampir-hampir tidak punya hak.

Mengikuti sang Syekh, perjalanan Samiam di buku ini jauh lebih berat dibanding di buku pertama. Selain posisinya yang sekarang sebagai seorang budak, dia harus menempuh perjalanan jauh dan berbahaya di kawasan Timur Tengah. Jika di buku pertama, latarnya adalah Eropa dan Mediterania di abad ke-16, maka di buku ini seting Arabia, Timur Tengah, dan Persia yang dominan. Sepertinya pengarang memang membagi perjalanan menjadi tiga bagian: Benua Eropa, Timur Tengah, dan selanjutnya India dan Kepulauan Nusantara di buku pamungkas.


Menyimak perjalanan penuh penderitaan Samiam sejatinya melelahkan. Tetapi pengarang cerdik dengan menyisipkan cerita ini dalam cerita (mirip seperti Kisah 1001 Malam) sehingga ada variasi cerita. Kita tidak melulu disugguhi perjalanan Samiam saat diperbudak dan kehausan di padang pasir, tetapi ada kisah Samiam dan sahabatnya Farhad dalam lini masa yang berjalan. Samiam mengisahkan catatan hariannya akan peristiwa yang sudah berlalu ketika dia masih sebagai budak (yang begitu menderita) sementara dia sendiri menuliskan kisahnya setelah dimerdekakan. Bab-babnya juga pendek dengan alur cepat, sehingga pembaca tidak bosan dan tidak bikin capek.

Keunggulan lain ada pada cara pengarang menuliskan perjalanan Samiam. Alih-alih semata penderitaan, pembaca dapat menganggap perjalanan Samiam di Timur Tengah ini sebagai tempaan. Samiam memang menderita, tetapi dari situ dia juga menjadi kuat dan bertemu banyak sahabat. Tidak sekadar perjalanan penuh bahaya, tetapi ada banyak ilmu, nasihat, dan pembelajaran hidup. Samiam bahkan sempat membicarakan tentang esensi hidup dan juga agama bersama tiga budak lain yang menjadi sahabat dekatnya.


Hal menakjubkan lain tentang buku ini adalah kota-kota yang dikunjungi Samiam. Kita sudah sering mendengar dan membaca tentang Yerusalem, kota dengan tiga agama. Selain Yerusalem, Samiam akan mengajak kita ke kota-kota di Timur Tengah yang mungkin hanya pernah kita dengar sekilas saja, seperti Mosul, Homs, Damascus, Teheran, dan Isfahan. Tidak hanya keindahannya tapi juga sekelumit sejarahnya. Juga, kota-kota yang mungkin baru dengar, seperti Tabriz, Halab, Idlib, Behestan, Yazd, dan Gamrun. Kota-kota ini punya sejarah yang panjang tetapi banyak yang belum diketahui karena memang kita jarang akrab dengan kota-kota di tanah Persia. Mungkin, karena ini adalah daratan kaum syiah.

Kota suci Mekkah dan Madinah juga tak luput dari kunjungan Samiam. Di kedua kota inilah Samiam mengalami pergulatan batin terkait manusia, tujuan keberadaan hidupnya, dan agama. Bagaimana Samiam bisa masuk Mekkah sementara dirinya adalah seorang Kristen? Ya, sudah tahu sendiri jawabannya. Kota kuno Petra juga sempat dikunjungi, hanya saja pengalaman di sana begitu mengerikan.

Tidak salah jika seri ini diberi judul Perjalanan Mustahil karena memang cobaan dan penderitaan yang harus dialami Samiam begitu beratnya. Tapi ini tidak menjadikan novel ini sendu dan lambat, justru ada semangat pantang menyerah seorang pria demi mencari istri dan juga tanah leluhurnya. Tidak hanya petualangan, ada banyak pelajaran tentang menjadi lebih baik dalam buku ini. Barangkali, semua agama itu baik tejuannya tetapi para manusianya yang menjadikan agama tampak sedemikian keras. Ketika agama dijadikan tunggangan untuk meraih kekuasaan dan kepentingan pribadi, maka itulah ketika seseorang disebut dengan menjual agamanya dengan harga murah.

Sebuah novel seru dengan latar tak biasa yang jarang ditulis di Indonesia, Timur Tengah di abad ke-16, lengkap dengan sejarah panjang konflik perebuatan kekuasaannya.

No comments:

Post a Comment