Search This Blog

Wednesday, May 22, 2024

Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab

Judul: Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab

Penyusun: H.B. Jassin

Tebal: 103 hlm

Cetakan: Pertama, 1970

Penerbit: Gunung Agung


Pada bulan Agustus 1968 majalah Sastra yang dipimpin H.B. Jassin menerbitkan cerpen berjudul "Langit Makin Mendung" karya Kipandjikusmin yang langsung menghebohkan khalayak. Silakan bisa di-googling sendiri cerpennya, tersedia di internet di tautan berikut. Sejarah mentjatat, itulah pertama kalinya dalam sejarah sastra Indonesia sebuah karya sastra dipidanakan dalam pengadilan dan itu turut melibatkan salah satu tokoh sastrawan paling berpengaruh di Indonesia, yakni H.B. Jassin--sang Paus Sastra Indonesia.

Cerpen "langit Makin Mendung" karya Kipandjikusmin menyulut protes dari warga beragama Islam khususnya di Sumatera Utara. Cerpen itu dianggap menghina karena mempersonifikasi Tuhan dan Nabi Muhammad serta merusak akidah umat Islam. Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara bahkan mengambil kebijakan dengan melarang beredarnya majalah Horison edisi Agustus 1967. Pada tanggal 22 Oktober 1968, penulis anonim Kipandjikusmin menyatakan mencabut cerpen tersebut dan menganggapnya tidak ada. Dia juga meminta maaf jika karyanya dianggap menghina umat Islam.

Namun, kasus ini berbuntut panjang. H.B. Jassin, sebagai pemred majalah sastra masih harus berurusan dengan pengadilan. Dia bersikukuh untuk tetap merahasiakan identitas dari penulis cerpen "Langit Makin Mendung" dan tetap bersikukuh untuk mempertahankan etika jurnalistik. Dia berpendapat bahwa karya yang ditulis oleh Kipandjikusmin itu hanya sebagai kritik sosial yang dituliskan ke dalam sebuah cerpen, wujud dari keresahan san penulis terhadap umat Islam di Indonesia.

Buku ini ditulis oleh H.B. Jassin sebagai pembelaan beliau atas cerpen Langit Makin Mendung tersebut. Penulis menggunakan kaidah ilmu susastra dan seni untuk membedah cerpen kontroversial tersebut. Penulis bahkan menggunakan sumber-sumber Islam termasuk kitab suci Al Qur'an untuk mendukung opininya tentang netralitas dari cerpen ini. Buku ini sebagai pertanggungjawaban sekaligus permintaan maafnya selaku pemred dan juga untuk melindungi anonimitas pengarang aslinya.

Saya sudah sempat membaca "Langit Makin Mendung" , dan menurut pengetahuan saya yang cekak ini, saya sepakat dengan Jassin. Ketika dibaca secara keseluruhan, cerpen ini sama sekali tidak ada kecenderungan untuk menghina ajaran agama Islam. Pengarang yang mempersonifikasikan Tuhan adalah sebagai saran ekpresi dan kreativitasnya sebagai seniman kata-kata. Demikian pula Nabi Muhammad SAW dan Jibril yang digambarkan turun ke hiruk pikuk Jakarta. Saya bisa menangkap maksud si pengarang yang sejatinya hendak menyorot kemerosotan moral umat Islam di negara ini, dengan caranya sendiri yang khas dan unik (hanya saja tidak dapat diterima oleh segolongan orang)

Sastra adalah produk budaya, dia bisa jadi ditanggapi berbeda ketika ditulis di dua masa yang berbeda.  Mungkin, Kipanjikusmin terlalu cepat menuliskan cerpen ini. Mungkin, dia hanya berkreativitas di masa yang keliru, sebatas itu. Inilah sebabnya Jassin harus turut menanggung dampak dari kesalahpahaman ini. Karena besarnya tuntutan massa, Jassin terpaksa harus menghadapi tuntutan jaksa. Proses pengadilan ini berlangsung di Jakarta tahun 1969-1970. H.B. Jassin harus mendekam di jeruji besi selama satu tahun dengan 2 tahun masa percobaan demi melindungi pengarang serta kreativitas sastra dan seni. Sungguh luar biasa prinsip dan keteguhan hati beliau.

No comments:

Post a Comment