Judul: The Wind That Lays Waste
Pengarang: Selva Almada
Tebal: 124 pages
Cetakan: First published January 1, 2012
Penerbit: Graywolf Press
Di dunia ini, apakah menjadi orang baik dan berbuat baik saja sudah cukup untuk bisa selamat?
Pertanyaan berat ini yang diusung oleh novel tipis karya penulis Argentina ini. Berkisah tentang seorang pendeta Kristen yang tengah melakukan perjalanan dengan anak gadisnya di kawasan pedalaman, panas dan jauh dari mana mana. Mobil mereka mogok karena kepanasan, dan syukurlah di dekat situ ada bengkel "kuburan mobil" yang dihuni seorang montir dan bocah lelaki bernama Tapioca. Mobil bisa diperbaiki, tapi mereka harus menunggu agak lama.
"Sekarang anda mengerti maksud saya, bukan: Tuhan selalu punya alasan di balik segala sesuatu."
"Kita tidak sedang membicarakan Tuhan, Pearson," kata si Bule, menggeleng pelan. "Ada banyak hal yang tidak bisa kau jelaskan di balik segala kehendak Tuhanmu itu. Jari-jariku tidak akan cukup untuk menghitungnya."
Selama masa menunggu yang hanya sehari semalam inilah terjadi pergulatan batin. Pendeta dan pemilik bengkel berbeda pandangan. Atas kehendak dan kebaikan Tuhan sehingga mereka mogok di dekat bengkel. Begitu ucap si Pendeta. Adalah sebuah kebetulan mereka mogok dekat dengan bengkelnya, dan kebetulan juga dia bisa memperbaikinya. Begitu kata si montir tua. Jadi, apakah mogoknya mobil sang pendeta itu takdir atau kebetulan semata?
Kedua orang ini pada awalnya tampak berlawanan, namun pada akhirnya terbukti bahwa keduanya dapat menciptakan kehancuran dan menyakiti dengan keyakinan masin-masing. Pendeta adalah seorang alim yang sangat fanatik terhadap gerejanya, pantang menyerah dalam misinya untuk menyelamatkan jiwa-jiwa manusia dari neraka. Dia sangat kaku, menganggap bahwa jalan gereja adalah satu-satunya jalan yang benar.
Di sisi lain, Gringo yang sudah tua bersikap sinis, tidak punya waktu untuk agama dan percaya bahwa tindakan membuat seseorang menjadi baik atau buruk. Leni menyalahkan ayahnya karena telah meninggalkan ibunya dan menyia-nyiakan masa kecilnya. Tapioca ditinggalkan oleh ibunya dalam perawatan orang asing itu dan pendeta mendapat gagasan bahwa Tapioca adalah salah satu dari sedikit jiwa yang belum terjamah di dunia. Lalu tumbuh keinginan kuat dari pria itu untuk menyelamatkan si Bocah dengan mengajarinya jalan Tuhan. Konflik pun terjadi.
Pembaca diajak lagi merenung. Apakah baik dan buruk itu? Bagi orang saleh, keduanya adalah dua sisi yang saling bertarung. Bagi orang seperti Pak Montir, baik dan buruk hanyalah "every day things, sesuatu yang biasa dijumpai dalam keseharian." Agama, kata pak Montir, sering dijadikan tameng untuk mengabaikan tanggung jawab. Betapa banyak mereka yang lalu menyalahkan godaan setan untuk hal hal buruk yang mereka lakukan sendiri.
He had no time for lofty thoughts. Religion was for women and the weak. Good and evil were everyday things, things in the world you could reach out and touch. Religion, in his view, was just a way of ignoring responsibilities. Hiding behind God, waiting to be saved, or blaming the Devil for the bad things you do.
Tapi bagi Pak Pendeta, kebaikan dan kejahatan diciptakan karena ada tujuannya. Dan menjadi baik saja belum cukup. Agar selamat, orang harus berada dalam kasih dan ajaran Tuhan. Pelajaran kehidupan telah menyadarkannya betapa agama berperan sangat besar dalam membentuk, mengubah, bahkan memperbaiki begitu banyak manusia di dunia.
Once again, he felt that he was an arrow burning with the flame of Christ. And the bow that is drawn to shoot that arrow as far as possible, straight to the spot where the flame will ignite a raging fire. And the wind that spreads the fire that will lay waste to the world with the love of Jesus.
Jadi, kembali ke awal, apakah menjadi orang baik dan berbuat baik sudah cukup (untuk bisa selamat)? Manusia dibebaskan dengan pilihannya.
Novel tipis tapi butuh perenungan berat, dan ditulis dengan sangat mengalun seperti angin.
No comments:
Post a Comment