Judul: Bahasa Prevoir Budaya
Penyusun: Kunjana Rahardi
Tebal: 212 halaman
Cetakan: Pertama January 1, 2009
Penerbit: Pinus Book Publishing
ISBN: 9786028533111
Penguasaan dan pengunaan bahasa seseorang tidak bisa dilepaskan dari sikap dan perilakunya. Semakin orang menguasai bahasa, sikap dan perilakunya akan semakin dapat dipertanggungjawabkan. Inilah salah satu wujud kedekatan antara bahasa dengan budaya, bahasa adalah prevoir budaya.
Buku ini untuk melengkapi koleksi buku kumpulan artikel kebahasaan. Saya memang sengaja mengumpulkan buku - buku 'kolom bahasa' dari sejumlah media massa, untuk mengingatkan saya pada beberapa aturan kebahasaan yang sering terlewat. Awalan di- yang dipisah dan tidak mungkin sudah sering, tetapi saya terbukti lupa bahwa yang benar legalisasi dan bukan legalisir.
Jika buku sejenis lain berkutat penuh pada masalah kebahasaan skala nasional, buku ini terasa berbeda karena melokal. Dikumpulkan dari artikel bahasa di koran lokal (Harian Jogja), tidak heran jika sebagian besar isinya banyak nyenggol dengan hal hal bernuansa Jogja atau Jawa. Tentang bunyi her untuk mengusah kerbau ke arah kiri, dan gya ke arah kanan, tentang bahasa Jawa yang mengenal asal usul penamaan dari bunyi (manuk guwek untuk burung hantu, burung kutut yang bunyinya Tut Tut), bahkan tentang bahasa Jawa yang juga mengenal tekanan kosa kata untuk membedakan makna sebagaimana bahasa Mandarin dan Inggris.
Saya jadi teringat, betapa orang Jawa memang senang menambahkan vokal untuk menyangatkan. Suwi (lama), dan kalo suwiiiiiii (lama banget), adoh (jauh) dan aduooohhhhhh (jauh banget). Mambaca buku ini malah mengingatkan saya untuk membuka buku kawruh basa Jawa yang sudah lama buangettt nggak saya buka. Lebih menarik lagi, ada karikatur humor di setiap awal bab buku ini yang mengingatkan saya pada masa keemasan koran lokal (Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Djoko Lodhang, Merapi, Harian Jogja, Jawa Pos edisi Jogja) pada awal tahun 2000 hingga 2010.
Sepemahaman penyusun buku ini, bahasa memiliki peran penting bahkan sangat menentukan status ekonomi seseorang. Dengan kata singkat, dia yang bisa menggunakan bahasa dengan baik akan memiliki tingkat kehidupan ekonomi yang lebih baik. Salah satunya, orang yang cakap berbahasa asing akan memiliki akses yang lebih luas terhadap sumber-sumber yang berpotensi dapat menghasilkan keuntungan ekonomis.
Hal lain yang saya suka dari buku ini, penulis tidak memaksakan kita untuk selalu menggunakan bahasa baku pada setiap kesempatan. Sebagai mana orang Jawa yang "tahu tempat", penulis menyebut bahasa sebaiknya digunakan sesuai waktu dan tempatnya. Boleh kita berbahasa baku saat berbicara dalam situasi formal, atau dalam ragam tulis. Tetapi tidak ada salahnya juga menggunakan kata "nggak" atau "lebay" dalam percakapan santai.
Memang seperti itulah bahasa, ia hidup dan dihidupkan oleh masyarakat penggunanya. Pengekangan dalam bentuk penggunaannya yang harus selalu benar dan baku hanya akan menjadikan suatu bahasa semakin menjauh dari penggunanya.
No comments:
Post a Comment