Search This Blog

Wednesday, January 24, 2024

Amba

Judul: Amba

Pengarang: Laksmi Pamuntjak

Tebal: 496 hlm

Cetakan:  January 2012

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


Beberapa tahun pascareformasi, novel-novel bertema Geger 1965 mulai marak. Mungkin tuntutan untuk ingin mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi pada penggal sejarah bangsa ini pada masa itu begitu tinggi. Selubung misterinya begitu rapat, penuh dengan dugaan dan tanya meski segudang fakta baru ditemukan, ditambah dengan kesaksian para penyitas yang tak terhitung jumlahnya. Mungkin, adalah sebuah kewajiban untuk menguak dan mencoba mereka ulang peristiwa gelap itu agar generasi muda pun tahu bahwa bangsa ini punya kelamnya juga.

"Apabila kita bertanya pada seorang ksatria tua, apa keberanian yang paling purba, dia akan menjawab: kewajiban." (58)

Amba berkisah tentang pencarian terhadap cinta masa lalu di Pulau Buru. Tahun 1965, Amba dan Bhisma adalah dua muda-mudi yang aktif dengan berbagai kegiatan terafiliasi suatu partai yang kemudian dinyatakan terlarang. Pemerintah ORBa menangkapi hampir semua yang terlibat, termasuk Bhisma yang kemudian diperlakukan sebagai tapol atau tahanan politik. Kedua sejoli itu pun terpisah. Amba yang terlunta karena kekasih hilang tak ada kabar, dan Bhisma yang terseret dalam arus permainan politik hingga diasingkan ke Pulau Buru di Maluku.

"...tapi fitnah itu telah menjadi fakta karena tidak ada yang pernah membantahnya." (64)

Pulau Buru menjadi terkenal berkat Pram dengan Tetralogi Burunya. Tetapi pulau ini sudah sejak lama dikenal sebagai pembuangan tahanan khusus. Tempat yang awalnya hendak dijadikan model Gulag ala Siberia, tetapi berujung menjadi perkampungan dan desa-desa dengan kenangannya yang khas. Bhisma turut tumbuh di sana, menjadi sosok yang disegani tapi juga misterius. Sampai kabar tentang kematiannya tiba ke Amba tahun 2006 lewat sebuah email misterius. Kenangan ttg cinta lama yang hilang mendorong Amba untuk menyusuri Pulau Buru yang masih penuh sisa militer orba dan bekas pertikaian rasial berdarah Maluku awal 2000an demi mencari kebenaran ttg sang kekasih hatinya. Mantan.

"...kesabaran punya banyak nilai. Tetapi kesabaran tak sama dengan penantian." (207)

Novel tebal, bahasa dengan diksi tinggi, dan banyaknya peristiwa sejarah yang dimasukkan menjadikan Amba novel yang lumayan lama untuk dibaca. Belum lagi alurnya yang lambat, dengan banyak flashback, serta orang-orang dengan suara yang hampir sama. Hampir semua orang 'berpuisi' di buku ini, dalam penceritaan, dialog, narasi, perenungan, hingga penyesalan. Terasa terlalu mirip sehingga mungkin membuat saya cepat lelah dan mengambil jeda membaca. Hampir setiap paragraf adalah kata - kata yang dipilih rapi, cantik, berdiksi tinggi.

"Sejarah memang tak hanya memihak. Mereka juga hendak memastikan yang menang tetap pemenang." (307)

Mungkin memang keberhasilan pengarang dalam menggambarkan mereka yang terbuang di Pulau Buru. Sehingga suasana sendu, berat, dan penuh itu mengisi hampir setiap ruang di seantero buku. Ini novel yang sebaiknya dinikmati pelan-pelan, karena akan banyak tanya dan penasaran yang muncul selama proses membacanya. Siapkan google atau mesin pencarian lainnya sebagai teman. Bakal ditemui juga frasa-frasa puitis penuh teka-teki yang konon menjadi bukti kepiawaian pengarang dalam mengeksplorasi kekuatan dari Bahasa Indonesia, seperti kutipan berikut ini:

”Samuel meletakkan tangannya pada lengan perempuan itu. Lengan yang seperti bukan lengan, melainkan sesuatu yang kering, sesuatu yang datang dari sebuah paceklik”.

Dan begitu sampai di penghujung buku, terbukti jelas kenapa novel ini memang berat. Riset dan penggarapannya tidak main-main. Bukan kerja yang mudah menyusun cerita baru lewat hasil wawancara berulang dengan mereka yang pernah merasakan kerasnya Pulau Buru. Ini masih ditambah dengan berbagai referensi bacaan sejarah yang harus turut disatukan dan dimasukkan dalam cerita agar Amba tidak sekadar cerita cinta tetapi juga pembuka sumbat dari gelapnya salah satu lorong masa lalu bangsa ini.

"Politik memang bukan tentang apa yang benar. Politik adalah bagaimana kita bisa salah dengan benar." (112)

#Amba #NovelAmba #laksmipamuntjak #PulauBuru


No comments:

Post a Comment