Search This Blog

Sunday, January 14, 2024

Akhir Perpustakaan Kelamin, Sebuah Pengorbanan untuk (i)Buku

 Judul: Akhir Perpustakaan Kelamin

Pengarang: Sanghyang Mughni Pancaniti

Tebal: 209 halaman

Cetakan: Pertama, November 1, 2020

Penerbit: Semesta


"Membacalah karena kita tidak lagi purba."

Sepenting apa arti buku bagimu? Bagi banyak orang, buku menjadi bagian tak terpisahkan dan luar biasa penting dalam hidupnya. Ada yang rela ga jajan sebulan demi bisa membeli buku kesayangan. Ada yang gajinya habis di buku demi sebagai bentuk healing. Ada yang mengoleksinya sampai ribuan seolah kekurangan bahan bacaan. Bahkan ada yg nekat mencuri buku dan tidak mengembalikan buku yang dipinjam saking sukanya sama buku itu. Ada juga yang seperti Hariang di buku ini: dia rela menjual kelaminnya sendiri demi membeli buku buku dan membangun kembali perpustakaan ibunya yang terbakar eh dibakar. Buku ini menjadi kelanjutan dari seri Perpustakaan dan Kelamin karya Mughni, dengan fokus cerita pembangunan kembali peradaban buku di rumah dan desa.

Setelah menjual kelamin yang hanya satu-satunya, Hariang mendapatkan banyak uang yang sebagian kemudian dia serahkan ke penjaga toko buku langganannya. Hariang ingin buku buku yang terbakar di koleksi ibunya diganti lagi, walau akhirnya tetap banyak buku yg musnah dan tak tergantikan. Dengan unag itu pula dia membangun perpustakaan Pabukon milik ibunya. Sang ibu yang awalnya gila karena buku-bukunya terbakar, berangsur pulih dan normal lagi. Buku-buku dan perpustakaan memang bisa menjadi obat mujarab untuk mereka yang begitu mencintai buku. Buku juga bisa melebihi banyak hal, sampai Hariang menjual kelaminnya sebagai wujud bakti pada ibunya dan sekaligus kecintaan pada buku - buku dan perpustakaan.

"Sebab di mata Rushdie, novel selalu menjadi cinta pertamanya." (39)

Menyenangkan sekali menyimak perjuangan Hariang dan para barudak PAKU dalam mengumpulkan dan membahas buku. Disebutkan catatan buku-buku apa saja yang terbakar dan harus dibelikan lagi pengantinya. Banyak buku-buku sastra dunia (saya langsung ikut ngecek di rak buku pribadi untuk mengecek apakah saya sudah punya buku itu atau belum), buku pemikiran, serta buku-buku Islam intelektual yang disebutkan. Pasti pecinta buku bakal merasakan kesenangan yang sama dengan Hariang, pengen bisa membeli dan setidaknya memiliki dulu buku-buku itu walau bacanya entah kapan. Padahal, ibunya Hariang malah sudah pernah baca buku-buku itu sejak lama, karena itu cintanya pada buku begitu kuatnya sampai kehilangan perpustakaan menyebabkannya gila. Begitulah buku ketika sudah dimiliki, dibaca, dan diamalkan: dia menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi pembacanya.

"... seburuk apa pun sebuah karya, sekejam apa pun isinya, ia harus tetap dihargai." (59)

Hal yang tak kalah seru adalah memiliki teman-teman dengan budaya baca yang idealis bahkan kritis. Barudak PAKU menjadi teman Hariang dan ibunya, baik dalam kehidupan dan terutama dalam perbukuan. Jika di buku pertama kita diajak mengenal macam macam pecinta buku, di buku kedua ini pengarang bertindak kreatif dengan memberi nama pada para pecinta buku khusus. Misalnya biblioparaf (pecinta buku bertanda tangan penulis), bibliocesatu (kolektor buku cetakan 1),  bibliotutup (kolektor buku yg penerbitnya udah tutup), sampe bibliocoli (waduh, ini penggemar buku buku panas tahun 80an). Dalam diskusi mereka, banyak juga dikisahkan aneka kisah unik di balik sebuah buku. Salah satunya buku Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhiddin M Dahlan yang dalam cetakan perdananya malah membuat dia dituduh menjelekkan agama, bahkan sampai dia diancam. Juga kisah Salman Rushdie dengan Satanic Versesnya yang begitu kontroversial, serta kisah Hamka yang rela dipenjara karena melindungi seorang penulis anonim yang menulis cerpen berbahaya tahun 1960an.

"Bahkan di rak buku Marx , dapat  ditemukan karya-karya Shakespeare, Dickens, Goethe, dan lain-lain .... Betapa idiotnya kaum akademis, yang selalu bilang bahwa membaca sastra hanya buang-buang waktu dan tak berguna." (39)

Hal lain yang menarik, waktu Hariang berusaha mencari cara untuk bisa menulis buku. Dia mencoba hampir semua metode yang digunakan penulis dunia. Jadi tahu kalo para pengarang itu punya kebiasaan unik dan khasnya saat menulis. Pram dan Remy Silado suka menulis dengan mesin tik dan mengurung diri di kamar seharian. Hemingway, Dickens, dan Virginia Woolf konon cari ide dengan menulis sambil berdiri. Mark Twain suka menulis sambil berbaring. Murakami menulis pagi hari setelah olahraga. Alexander Dumas menulis di lembar kertas warna warni. Agatha Christie yang gandrung menulis di bak mandi, dan masih banyak lagi. Memang rasanya selalu menyenangkan membaca tentang orang-orang dan buku buku yang pernah kita baca. Serasa ada akrab di dalamnya. Jadi tidak hanya menyemangati untuk membaca dan membeli buku. Novel ini juga menyemangati untuk menulis.

"Di balik fisik buku yang kita baca, di sana ada banyak yang terlibat. Dan kita harus hormat pada jerih payah mereka." (141)

Bagaimana penulis menulis dan apa cara terbaik untuk bisa menulis? Jawabannya bervariasi tergantung pada setiap pribadi. Sebagaimana setiap pembaca punya buku favoritnya sendiri, begitu juga penulis punya teknik masing-masing. Bagi Hariang, menulis terasa lancar ketika dia melepaskan semua kebencian dan dendam. Sebagaimana pepatah, dia berpikir bahwa kebencian adalah ketololan, karena dia yg minum racun tp dia juga berharap orang lain yang mati. Penjara tidak mampu menahan pemikiran para penulis besar, dan seharusnya kebencian pun tidak. Satu lagi buku untuk para pecinta buku.

"Demi buku-buku, aku dan ibu hidup dalam kemiskinan. Keluarga kami adalah keluarga buku. Peradaban kami adalah peradaban buku." (159)



No comments:

Post a Comment