Search This Blog

Saturday, January 28, 2023

Larasati, Kronik Masa Revolusi

 Judul : Larasati

Pengarang: Pramoedya Ananta Toer

Tebal : 180 halaman

Cetakan: Juli 2003 

Penerbit: Lentera Dipantara

ISBN :9789799731296 (ISBN10: 9799731291)

"kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita."

Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan dan KMB adalah wilayah kritis. Belanda yang membonceng Nica memiliki agenda tersembunyi untuk merebut kembali Hindia Belanda, sementara Republik yang baru berdiri hanya punya wilayah dan rakyat, pemerintahan belum terorganisir, angkatan bersenjata apa lagi, belum terbentuk sempurna. Novel ini memang ditulis dengan latar suasana awal kemerdekaan Republik Indonesia, sekitar awal tahun 1950. Itu adalah masa peralihan antara kemerdekaan RI yang seutuhnya dan agresi militer Belanda yang masih tidak rela kehilangan Indonesia sebagai jajahan terbesarnya.

Nusantara ibarat wilayah panas, berbagai pihak saling mengklaim kekuasaan dan penguasaan sementara rakyat kecil tetap yang menderita. Tapi hal yang selalu layak diingat dari masa Revolusi ini: semangat rakyat untuk membela Republik dan mempertahankan kemerdekaan negara yang baru berdiri ini. Ini yang digambarkan dengan deskriptif sekali oleh Pram lewat pandangan Larasati, atau Ara, seorang bintang film yang sepertinya hadir di zaman yang salah.

Lewat Larasati, Pram menggambarkan suasana era Revolusi ini lewat pandangan yang agak pesimis tetapi juga realistis. Pembaca bisa menyaksikan apa yang disaksikan rakyat bawah, bukan lewat pandangan mata para pembesar yang berjas rapi dan disegani Penjajah meski statusnya sebagai eksil. Ara  hanyalah seorang wanita biasa tetapi sebenarnya memiliki pekerjaan yang lumayan strategi:  aktris sekaligus perempuan penghibur. 

Menurut Pram, Revolusi yang sebenarnya ada pada anak-anak muda yang berjuang di front terdepan, yang langsung menghadapi pasukan NICA dengan senjata apa adanya. Hanya berbekal keberanian muda dan kecintaan mereka pada tanah air, Larasati menyaksikan sendiri betapa Revolusi benar-benar dihayati oleh rakyat bawah. Bagaimana dengan para pembesar dan angkatan tua? Mereka hanya sibuk korupsi, lupa pada gelegar revolusi.

"Kalau orang cintai tanah airnya dia mesti dendam pada musuh tanahairnya. Dia takkan takut. Kau benar-benar mau berjuang buat tanah airmu? (hlm.97)

Salah satu adegan menarik di buku ini, Larasari sempat bertemu dengan sastrawan kenamaan Chairil Anwar. Ia bahkan sempat jajan kue pancong bersama sang pengobar revolusi. Peristiwa-peristiwa besar hanya dikisahkan sepintas lalu, seperti jatuhnya Yogyakarta, berdirinya Republik Indonesia Serikat, dan Konferensi Meja Bundar. Larasati mempersembahkan kepada pembaca laporan pandangan mata dari garis terdepan pertempuran, bahkan dalam pertempuran itu sendiri. 

Dari Larasati, sepertinya Pram tidak menganggap terlalu penting perjuangan Angkatan Tua yang sibuk berlaga di meja perundingan. Bagi Pram, sesuai dengan paham sosialis yang dijunjungnya, revolusi sejati ada di garis terdepan pertempuran, bukan di balik meja dalam ruangan yang nyaman. Karena seperti berulang kali diungkap oleh Pram, hanya rakyat sesungguhnya yang berjuang sekaligus memperjuangkan revolusi fisik. 

"...hanya angkatan tua yang mengajak korup, angkatan muda membuat revolusi. Pemuda sedang melahirkan sejarah."

Pram memang beda, tetapi novel-novelnya memang dahsyat.

No comments:

Post a Comment