Search This Blog

Friday, January 20, 2023

Kereta Semar Lembu

Judul: Kereta Semar Lembu

Pengarang: Zaki Yamani

Tebal: 320 hlm

Cetakan: 1, September 2022

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



"Kisah-kisahmu merupakan ramuan imajinasi anak-anak yang sangat liar, bercampur dengan pengalaman orang dewasa yang juga sangat liar. Merambah ke segala hal, sampai ke dunia mistis orang-orang Jawa." (Hlm. 130)

Begitu yang digambarkan sendiri oleh Sneevliet yang mungkin juga dapat mewakili isi novel ini. Bab pertama mengingatkan saya pada Kisah Tanah Jawa tentang tumbal rel kereta, kemudian bab-bab selanjutnya mengantar memori kepada pembacaan Raden Mandasia, sebelum akhirnya bertemu aroma Cantik itu Luka. Tentu saja, Jawa masih mendapat porsi besar, kalo ini dengan sosok empat Punokawan (Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng) dalam novel yang menjadi Pemenang 1 Sayembara Novel DKJ 2021 ini.

Lembu dilahirkan bersamaan dengan dimulainya proses pembangunan rel kereta api pertama di di Jawa, yang menghubungkan desa Kemijen dan Tanggung tahun 1864. Keistimewaan lain, dia lahir bersama sebuah kerincingan misterius yang kelak tidak akan pernah lepas darinya. Dilahirkan oleh seorang ibu yang maaf pelacur, Lembu tumbuh besar dengan ditemani teman ibunya yang juga memiliki profesi yang sama. Kondisi memprihatinkan di era Tanam Paksa tidak memungkinan keduanya bekerja yang halal. Terpaksa tubuh dan jiwa harus digadaikan semata demi bertahan hidup akibat penindasan penjajah yang tak berperikemanusiaan.

Lembu menjalani kehidupannya digerbong kereta. Dia seperti ditakdirkan untuk tidak bisa jauh dari rel dan kereta api. Berkali-kali langkahnya hanya mentok di depan stasiun, dia tidak bisa melangkah jauh jauh dari rel dan kereta. Lembu juga bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat orang normal. Selain hantu hantu, dia juga bisa melihat dan bicara dengan Mbah Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng. Keempat Punokawan ini mendampinginya dalam empat masa kehidupan Lembu yang beda-beda.

Usia lembu merentang dalam 4 generasi penderitaan. Semar menemani masa kecilnya di zaman Tanam Paksa , Bagong membersamainya semasa pergantian abad tahun 1900, Petruk mengikutinya selama masa masa genting Perang Dunia 1 hingga Penjajahan Jepang, sementara Gareng ada bersama Lembu di masa masa kritis ketika republik baru berdiri hingga berakhirnya usia Lembu di Peristiwa 65.

Lembu ibarat menjadi saksi dari berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di Republik ini. Tidak hanya menyksikan letusan Krakatau tahun 1883, dia juga bertemu dan berinteraksi dengan tokoh tokoh pergerakan nasional. Dalam beberapa bab, Lembu dikisahkan bertemu dengan Kusno (Soekarno) dan juga Semaoen. Yang fiksi berjalinan dengan tokoh tokoh nyata dalam sejarah, belum lagi Dewata dari Mahabharta pun turut memberi warna dalam hidup Lembu.

Banyaknya tokoh sejarah yang ditemui Lembu membuat saya agak merasa kisahnya agak dipaksa. Semacam penulis menggunakan tokoh tokoh itu untuk menunjukkan kapan suatu peristiwa berlangsung. Ini sebenarnya cara yang menyenangkan untuk mengingat tanggal dan peristiwa penting dalam sejarah pergerakan nasional. Tapi kalau terlalu banyak tokoh yang disisipkan, kesannya jadi kayak numpang lewat saja.

Lewat novel ini, pengarang dengan tanpa Tedeng aling aling mengkritik hnaoir semua pihak yang terlibat dalam sejarah Indonesia. Bukan hanya penjajah Belanda, tapi juga para penguasa dan bupati pribumi, tentara Jepang, kaum Sosialis, pihak tentara, hingga saudara sebangsa yang ikut menumpahkan darah saudara sebangsanya sendiri. Ia bahkan mengkritik pihak pihak yang meradang dengan dibukanya penyelidikan terkait tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di negeri ini.

Sejarah memang milik sang pemenang, dan sebuah cerita kadang bisa menjadi sarana ideal untuk menunjukkan kalau sang pemenang tidak selamanya benar.


No comments:

Post a Comment