Search This Blog

Tuesday, April 26, 2022

Benantara, Lingkungan Alam dalam Sejarah Nusantara

Judul: Benantara

Editor: Bukhori Masruri

tebal: 193 hlm

cetakan: Oktober 2021

penerbit: KPG




Tema sejarah jarang sekali dikaitkan dengan lingkungan. Jika pun ada, materinya mungkin hanya sebatas penyampaian narasi mengenai kondisi geografis dan lingkungan hidup di sekitaran sebuah situ sejarah. Padahal, berbagai laporan, babad, dan peristiwa bersejarah menunjukkan eratnya keterkaitan antara sejarah dan lingkungan. Bagaimana sosok-sosok terkenal dalam sejarah mengajarkan pentingnya menjaga kelestarian alam. Atau, bagaimana candi atau situs arkeologis dibangun menyesuaikan dengan kontur atau topografi lingkungan sekitarnya--dan demikian tidak merusak atau mengubah banyak alam lingkungan yang mengelilingi tempat tersebut. Lebih dari itu, manusia zaman dulu sepertinya begitu menghargai bahkan menghormati alam sekitar.

            Kurangnya penelitian mengenai kaitan sejarah dengan lingkungan hidup inilah yang mungkin berusaha dijembatani oleh penggagas buku ini. Bukhori Masruri salah satu sejarahwan yang menyadari masih begitu kurang atau hampir tidak adanya catatan sejarah mengenai interaksi antara manusia dan alam. Lewat program Benantara atau Bentang Alam dalam Gelombang Sejarah Nusantara (yang kemudian menjadi judul buku ini), penulis mengajak banyak ahli sejarah, peminat sejarah, dan kalangan intelektual untuk bergerak menguak sisi-sisi ekologis dari teks-teks atau artefak sejarah. Dan, hasilnya adalah buku kumpulan esai menarik ini.

         Salah satu esai dalam buku ini ditulis oleh Peter Carey, yang tentu belum bisa lepas dari tema yang menjadi keahliannya: Diponegoro. Melalui berbagai babad dan kesaksian, Carey mengajak kita menyelami alam pikiran Pangeran Diponegoro terkait alam sekitar. Dari tulisan ini, kita jadi tahu betapa sang pahlawan nasional ini suka sekali berkelana dan menyepi di hutan. Rumah kediamannya di Selarong dirancang sebagai istana-benteng yang ramah dengan alam. Beliau juga dikenal penyayang binatang.

            Berbagai prasasti dan artefak sejarah yang tersebar di nusantara ternyata dibangun dengan mempertimbangkan lingkungan sekitarnya. Gunung Penanggungan di Jawa Timur yang melambangkan kosmologi Hindu India dipenuhi dengan berbagai petilasan, candi, dan juga reruntuhan yang kemudian disakralkan. Selain sebagai upaya meraih kesempurnaan spiritual, menjadikan gunung dan alam sekitarnya sebagai sebuah tempat yang sakral berfungsi juga sebagai penyelamat ekologis. Gunung dan hutan di sekitarnya dipandang wingit atau angker, sehingga tidak boleh dijarah atau dirusak.

            Fungsi spiritual dan ekologis ini nyatanya bisa berpadu dan saling melengkapi. Dalam sebuah esai karya Muhammad Iqbal Faza, dipaparkan bagaimana Sunan Muria telah memberikan wejagan yang “ramah lingkungan” kepada warga di sekitar Gunung Muria. Wejangan untuk mengambil buah parijoto di hutan lereng pegunungan Muria telah menghindarikan wilayah itu dari kerusakan ekologis. Warga taat untuk hanya mengambil sebanyak yang dibutuhkan saja dari hutan, dan bukannya mengubah hutan menjadi lahan pertanian. Sebuah nasihat yang sederhana tetapi memiliki dampak ekologis sangat besar.

Agak bikin insecure baca biodata para penulis esai di buku ini. Keren-keren semuanya, bahkan beberapa ada yang kelahiran 1995 ke atas. Masih muda tapi juga senang dan mencintai sejarah (dan juga lingkungan), kurang apa lagi coba. Buku ini memberikan sudut pandang baru dalam menilai sejarah nusantara. Walau beberapa esai masih terasa terlalu kaku, tetapi penulisan buku ini adalah langkah maju dalam penelitian sejarah sekaligus pelestarian lingkungan alam.


1 comment:

  1. Buku yang pembahasannya pasti rada berat untuk saya, soalnya saya juga bukan penyuka sejarah. Bisa dinikmati jika sejarah itu disajikan dalam buku fiksi, terbantu oleh plot fiksi itu sendiri.
    Meski begitu, saya tertarik membaca buku ini kelak, agar wawasan dan ragam bacaan saya bertambah.

    ReplyDelete