Search This Blog

Monday, February 21, 2022

Petualangan Borneo, Menjelajahi Kalimantan Kepulauan Aru, Sulawesi

Judul: Petualangan Borneo

Penyusun: Alfred Russel Wallace

Penerjemah: Anna Karina

Cetakan: 1, Mei 2016

Tebal: 152 hlm

Penerbit: Gramatical 



Alfred Russel Wallace, sang penemu garis Wallacea yang memisahkan flora fauna endemik di Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur, mengisahkan dalam buku jurnalnya ini catatan perjalanan saat menjelajahi Kepulauan Melayu. Hanya saja, di buku ini hanya dikisahkan petualangannya ketika di pulau Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), dan Kepulauan Aru. Sepertinya buku ini adalah bagian dari buku The Malay Aechipelago yang telbih tebal, karena catatan perjalanannya seperti terpotong di akhir buku ini. Meskipun hanya di tiga wilayah, pengalaman dan petualangan yang dialaminya sangat luar biasa. Tidak hanya mengamati flora fauna endemik di setiap pula, dia menuliskan juga pengalaman etnogrfisnya saat bertemu serta berinteraksi dengan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah-wilayah tersebut. Apa yang dikerjakan Wallaceadalah impian bagi setiap naturalis, etnologis, botanis, sekaligus geolog.

Buku ini dibuka dengan paparan singkatnya mengenai proses terbentuknya benua, yang berlangsung dalam skala ratusan ribu tahun. Wallace dengan gamblang memaparkan opininya tentang proses pengangkatan dan penurunan dasar samudra yang menyebabkan terjadinya perbedaan mahkhuk hidup yang mendiami dua wilayah daratan yang dipisah oleh lautan. Kepulauan Nusantara menjadi salah satu tempat yang mendukung teorinya itu. Pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan dulu pernah menjadi bagian dari benua Asia, dihubungkan oleh daratan rendah yang kering saat zaman es terakhir. Begitu pula pulau Papua, Maluku, dan pulau-pulau lain di Indonesia Timur dulunya adalah bagian dari benua Australia. Inilah sebabnya fauna di pulau-pulau bagian barat sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan fauna yang ada di Indonesia bagian timur. Sebagai tambahan, ada juga fauna khas yang hanya bisa ditemukan di tengah-tengah kepulauan menakjubkan ini.

Bagian pertama mengisahkan perjalanan Alfred Wallace di Kalimantan. Karena dia warga Inggris, keberadaannya tentu sangat diterima di Serawak, bagian dari pulau Borneo yang dikuasai Inggris. Agak miris membaca bagian ini, ketika dia mengisahkan upayanya berburu orang hutan atau mias. Meskipun demi alasan ilmu pengetahuan sebagai sebuah specimen awetan untuk kemudian dipamerkan di museum di Inggris sana, rasa tidak tega itu berkali-kali muncul. Apalagi Wallace tidak hanya menembak satu orangutan, tapi beberapa belas ekor. Ada satu kisah menyedihkan yang mungkin juga sempat terulang di era modern, ketika timnya menembak seekor induk orangutan yang sedang mengendong anaknya. Wallace terpaksa merawat mahkluk kecil malang tersebut, yang pada akhirnya harus mati juga karena kekurangan nutrisi, penyakit, dan ditinggal induknya. Pokoknya nyesek banget baca bagian ini. 

Bagian kedua berkisah tentang suku Dayak di Kalimantan utara. Wallace dan tim sempat menginap di rumah besar untuk mengamati adat dan tradisi suku Dayak ini, termasuk tradisi pengayau kepala yang kemudian diawetkan sebagai tanda mata. Berkebalikan dengan anggapan orang luar, suku Dayak pedalaman yang ditemui Wallace ternyata ramah dan tidak se-primitif anggapan orang Barat. Mereka memiliki susunan organisasi sederhana, membangun rumah dengan teknik tingkat tinggi, bahkan telah menguasai kemampuan membuat barang-barang berguna dari batang bambu. Menarik melihat pohon ini ternyata mendapat banyak pujian dari Wallace karena kegunaannya dan terutama karena elasitasnya. Pohon lain yang dikagumi naturalis Inggris ini adalah …durian. Berbeda dengan orang Barat kebanyakan yang kurang menyukai rajanya para buah ini, Alfred Wallace jatuh cinta pada durian. Dia menjadikannya buah paling lezat di dunia selain jeruk.

Bagian ketiga mengisahkan perjalanannya ke Sulawesi. Bab ini tidak berkisah banyak tentang flora dan fauna khas Sulawesi, terutama karena ekspedisinya hanya dilakukan di wilayah sekitaran Makassar. Jurnalnya lebih banyak diisi dengan penggambaran tentang orang Bugis dan juga perahu-perahu mereka. Juga tentang kupu-kupu. Hal yang menarik adalah Wallace mengisahkan cukup detail mengetahu gempa bumi yang dirasakannya saat di Celebes. Guncangan gempa dirasakan cukup kuat dan lama, bahkan gempa susulan berlangsung sepanjang malam. Tetapi Wallace lebih dikuasai oleh rasa penasaran ketimbang rasa takut karena gempa bumi memang jaran terjadi di negeri asalnya. Di samping itu, Wallace mengamati kalau tidak banyak kerusakan yang timbul meskipun guncangannya terasa cukup kuat. Bentuk dan bahan pembuat rumah yang menggunakan kayu, bamboo, dan rotan mampu sedikit meredam kekuatan gempa sehingga orang-orang pun terhindar dari bahaya kejatuhan material-material berat. Tapi Wallace mengakui kalau kekuatan gempa jauh lebih dahsyat ketimbang bencana akibat badai.

Bagian terakhir adalah pelayarannya ke Kepulauan Aru. Bab ini adalah yang paling primitive cast away bagi Wallace karena dia benar-benar berlayar, tinggal, dan berinteraksi dengan suku pedalaman di Kepulauan Aru yang kaya akan fauna eksotis tersebut. Di sini dia mendapati aneka burung dengan warna-warni indah, termasuk the bird of paradise  atau yang lebih kita kenal dengan burung cendrawasih. Tentu saja mahkluk-makhluk ini tidak luput untuk dijadikan bagian dari koleksi spesimennya. Kerakusan Wallace ini akhirnya dibalas oleh alam lewat bisul dan bentol yang diakibatkan oleh nyamuk-nyamuk tropis. Dia bahkan sampai tidak bisa berjalan selama seminggu. Sedikit pengamatannya pada masyarakat Kepulauan Aru menunjukkan orang-orang di sana masih sangat percaya dengan mitos. Wallace sendiri dengan cerdas menyimpulkan betapa dirinya yang kulit putih itu bukan tidak mungkin kelak akan dimitoskan pula orang-orang tersebut.

Petualangan yang luar biasa, ditulis dengan baik, dan diterjemahkan dengan mulus.  Alfred Wallace melakukan ekspedisi ini tahun 1850-an tapi gemanya terasa sampai sekarang. Perjalanannya ini juga yang kelak turut mengilhami Charles Darwin saat menyusun karya legendarinya, The Origin of the Spesies. 



No comments:

Post a Comment