Search This Blog

Tuesday, February 15, 2022

Keajaiban Enzim Pangkal, The Miracle of Enzyme

Judul: The Miracle of Enzyme
Judul Asli: The Enzyme Factor
Penulis: Hiromi Shinya, MD
Penerjemah : Winny Prasetyawati
Penyunting : Budhyastuti R.H.
Proofreader : M. Eka Mustamar
Halaman : 312 halaman
Penerbit: Qanita
Cetakan 13: Mei, 2014
ISBN: 978-602-9225-45-7



Tubuh yang tidak sakit tidak sama dengan tubuh sehat.

Mengikuti jejak buku "Keajaiban dan Mukjizat Air" yang sempat booming tahun 2000-an, buku ini menggunakan teknik pemaparan dan penarikan kesimpulan yang hampir serupa: mengungkap dahsyatnya hal kecil yang selama ini sering diabaikan. Tema yang diangkat oleh penulis yang juga seorang dokter ini adalah tentang enzim. Temuannya yang paling inti adalah tentang enzim pangkal yang dimiliki setiap manusia. Menurut penulis, enzim pangkal dalam tubuh setiap orang jumlahnya terbatas dan suatu saat akan habis jika dihambur-hamburkan secara tidak semestinya. Ketika enzim pangkal ini habis, maka habis juga masa kehidupan manusia tersebut. Enzim istimewa ini diproduksi tubuh dengan jumlah terbatas dan digunakan untuk fungsi-fungsi vital semisal memulihkan diri, memperbaiki organ yang rusak, melawan dan memusnahkan sel-sel kanker, dan menjaga keseimbangan fungsi tubuh.

Anda dilahirkan dengan faktor-faktor keturunan tertentu, tetapi kebiasaan dapat diubah dengan kekuatan usaha. (hlm. 176)

Perilaku keseharian, terutama pola makan, menjadi penentu dari awet atau tidaknya enzim pangkal ini. Jika kita berperilaku sembarangan, enzim pangkal ini akan cepat habis sehingga konon dapat memperpendek usia kehidupan tubuh. Salah satu perilaku yang menghabiskan enzim pangkal adalah gemar meminum alkohol dan merokok. Keduanya membuat tubuh bekerja keras dengan mengeluarkan enzim pangkal untuk memperbaiki kerusakan atau untuk meningkatkan toleransi tubuh terhadap alkohol dan nikotin. Jadi, jangan bangga kalau bisa meminum 5 gelas minuman keras tanpa mabuk atau sanggup menghabiskan satu bungkus rokok dalam sehari. Tubuh memang mampu menoleransinya, tetapi di saat yang sama tubuh sedang menghambur-hamburkan enzim pangkal yang semestinya dikeluarkan saat tubuh sedang terancam bahaya misalnya terserang kanker.

Kami seharusnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk memahami kesehatan daripada memerangi penyakit. (hlm. 27)

Beberapa penyakit modern, menurut penulis, sudah tidak lagi dinamai sebagai penyakit orang dewasa. Tetapi istilahnya sudah diubah menjadi penyakit gaya hidup. Hal ini karena penyakit-penyakit degeneratif seperti hipertensi, penyakit jantung, kanker, diabetes, dan hepatitis dewasa ini lebih banyak diakibatkan oleh perilaku dan gaya hidup yang tidak sehat. Perilaku buruk seperti gemar minum alkohol, merokok, bergadang, jarang berolahraga, stres, dan diet terlalu ketat inilah yang menurut penulis membuat enzim pangkal cepat habis sehingga tubuh rentan terserang. Untuk mengatasinya, penulis menyarankan agar para penderita berfokus untuk memperbaiki gaya hidup sebelum memutuskan bertumpu pada obat-obatan. Menurut penulis, semua jenis obat-obatan adalah racun dan semakin manjur obat itu maka semakin buruk dampaknya bagi tubuh dalm jangka panjang. Obat herbal dan alami juga tanpa perkecualian. Obat kimia maupun herbal pada dasarnya adalah racun bagi tubuh. Semakin sering digunakan, semakin banyak dosis yang dibutuhkan.

Harap diingat bahwa obat yang sangat efektif, yang menghilangkan rasa sakit dengan cepat, jauh lebih berbahaya bagi tubuh daripada banyak obat-obatan lain. (hlm. 82)

Pola makan menjadi sorotan utama dalam memelihara enzim pangkal ini. Menurut penulis, sistem pencernaan adalah bagian yang sangat vital. Sistem ini terkait dengan seluruh tubuh sehingga jika ada penyakit yang muncul, usus dan lambung juga sebaiknya diperiksa. Sebagai contoh, kanker rahim ternyata juga terkait dengan adanya gangguan pada sistem pencernaan. Penulis dengan bahasa sederhana mampu menjelaskan keterkaitan tersebut di buku ini. Karena sedemikian pentingnya, penulis berulang kali memberikan tips tentang bagaimana cara makan yang baik di buku ini, yakni: (1) Mengunyah 40 - 70 kali, (2) Prosentase makanan 50% biji-bijian, 20% sayuran, 10 % buah-buahan, dan 15 - 20% daging, (3) Menghindari produk susu, margarin, dan juga gorengan, (4) Makan dalam porsi sedikit, (5) Minum air yang baik, dan (6) Makan di waktu yang tepat. Beberapa tips yang agak ekstrem di antaranya: jangan minum selagi atau setelah makan, tetapi minumla satu jam setelah makan. Duh, kalau seret gimana tuh Pak?

Kita harus ingat bahwa tubuh kita menderita penyakit karena mengizinkan tubuh kita menjadi sarang bagi bakteri dan virus tersebut. (hlm. 223)

Tips lain yang saya temukan agak ekstrem di buku ini adalah tentang susu. Menurut penulis, semua produk susu dan turunannya adalah jenis makanan yang tidak baik untuk tubuh. Susu sapi hanya untuk anak sapi, bukan untuk manusia. Lebih ekstrem lagi waktu penulis bilang kalau yogurt itu minuman yang berbahaya karena dapat memunculkan reaksi alergi serta merusak keseimbangan flora usus. padahal, selama ini banyak kajian dan peneltian (Barat) menyebut tentang manfaat yogurt yang luar biasa bagi saluran pencernaan. Saya juga sangat suka minum yogurt padahal wkwkwk. Tapi, penulis memang punya alasannya tersendiri yang bisa dibaca lebih rinci di buku ini. Tapi saya sih tetap minum yogurt karena selama ini manfaatnya terasa benar bagi tubuh saya. Penulis sendiri menyarankan agar kita mencoba-coba sendiri untuk menemukan apa yang baik untuk tubuh kita dan tidak asal manut sakklek dengan kata-kata dokter.

Hidup sehat memang mahal, tetapi masih jauh lebih murah daripada jatuh sakit. (hlm. 250)

Banyak hal memang yang memicu pro kontra di buku ini. Selain tentang susu dan yogurt, juga saran-saran penulis ini sepertinya tidak bisa semua diterapkan dalam berbagai populasi. Apalag dalam setiap klaimnya, penulis hanya menggunakan dasar "sesuai yang saya amati" atau "sebagaimana yang saya temukan". Penulis lebih banyak menggunakan pengamatannya sendiri tapi tidak diperiksa ulang atau didukung dengan penelitian-penelitian lain yang saya yakin ada banyak. Misalnya saja, banyak saran-saran penulis yang cenderung cocok dilakukan oleh kalangan menengah ke atas atau orang berada karena dibutuhkan uang yang tidak sedikit untuk mencapai kondisi hidup yang ideal seperti itu. Meskipun penulis beralasan kalau: pola hidup sehat memang mahal, tetapi jauh lebih murah ketimbang mengobati penyakitnya, tetap saja beberapa saran terlampau ekstrem jika diterapkan saklek di Indonesia. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau tidak ada seblak, bakwan kawi, mi ayam, mi instan pakai irisan rawit, atau tahu isi nan nikmat itu. 

Penyakit-penyakit sesungguhnya berakar dari kurangnya pengetahuan atau kurangnya pengendalian diri. (hlm. 263)

Memang untuk sehat ada banyak pantangan dan aturannya. Semua demi menjaga agar tubuh bisa bertahan sedikit lebih lama. Dibutuhkan pikiran yang terbuka dan bacaan dari sumber lain agar kita tidak tersesat saat membaca buku-buku seperti ini. Terlebih banyak klaim sepihak dari penulis dan juga kabarnya-kabarnya tapi tanpa disertakan sumber pelengkap yang pas. Mungkin memang karena ini buku populer dan ditujukan untuk pembaca umum. Mari ambil yang bagus untuk tubuh kita dan abaikan yang masih meragukan. Di saat yang sama, kita tetap taati saran-saran kesehatan yang sudah umum seperti mengunyah makanan, berolahraga secara teratur tapi tidak berlebihan, tidur 6 - 8 jam sehari di jam yang sama, tidak merokok dan minum minuman beralkohol, perbanyak sayur dan buah, hindari stres, dan hiduplah dengan penuh cinta. 

Konsumsilah makanan yang baik, kuasai gaya hidup yang baik, minumlah air yang baik, istirahatlah yang cukup, berolahragalah secukupnya, serta jalani minat yang memotivasi Anda, dan tanpa ragu lagi tubuh Anda akan memberi reaksi yang positif.

No comments:

Post a Comment