Search This Blog

Thursday, February 3, 2022

Melihat Amerika dalam American Gods

Judul: American Gods - Dewa-Dewa Amerika (American Gods)

Pengarang: Neil Gaiman 

Penerjemah: Lulu Wijaya (Translator), Ariyantri E. Tarman (Translator & Editor)

Cetakan: Pertama 2012

Tebal: 784 halaman

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Dibandingkan benua-benua lainnya, Amerika ibarat tanah kosong tanpa penduduk asli. Bahkan suku Indian asli penghuni daratan luas itu konon berasal dari Siberia yang menyeberang ke Alaska kuno lewat Selat Berring yang kala itu menjadi jembatan darat di Zaman Es. Ketiadaan warga asli ini turut membentuk lanskapnya yang kosong, termasuk dalam hal pemujaan pada dewa-dewinya. Dapat dikatakan, Amerika tidak memiliki dewa dan dewi aslinya sendiri karena penduduknya memang tidak murni berasal dari daratan itu. Dewa-dewi yang ada di sana adalah dewa-dewi bawaan yang turut di bawa ketika manusia pertama mulai menempati benua itu. Dalam hal ini, dewa-dewi pertama di Amerika adalah dari suku Indian. Kemudian di Abad Penjelajahan, bangsa-bangsa Eropa mulai mendarat di benua luas itu dengan membawa kepercayaan mereka, mulai dari bangsa Viking, bangsa Timur Tengah, bangsa China, hingga akhirnya warga Eropa dan berbagai orang dari penjuru dunia.

Amerika (terutama Amerika Serikat sebagai yang disorot di buku ini) ibarat sebuah melting pot atau periuk yang isinya campur aduk. Hampir semua warga dan bangsa di dunia bisa ditemukan di tempat ini. Masing-masing bangsa dan suku membawa serta budaya dan kebiasaan mereka, dan tentu saja keyakinan mereka. Dengan demikian, melting pot itu tidak hanya berlaku untuk warganya, tetapi juga dewa-dewi dan sesembahan yang dipuja masyarakatnya. Tema ini yang mungkin menjadi sentral dari novel  American Gods ini. Gaiman dengan kreatifitasnya yang tanpa batas dan mengejutkan mengolah ide keragaman warga ini menjadi keragaman dewa. Tidak hanya sampai di situ. Dewa-dewi dalam dunia rekaan Gaiman ini digambarkan semakin memudar seiring dengan semakin majunya peradaban manusia. Dewa-dewi kuno terancam menghilang bersamaan dengan makin terkikisnya kepercayaan kepada mereka.

“Gods die. And when they truly die they are unmourned and unremembered. Ideas are more difficult to kill than people, but they can be killed, in the end.”

Dalam dunia Amerika Serikat yang materialistis, modern, objektif, bahkan ateis; peran dewa-dewi dan juga agama serta kepercayaan tidak sekuat dulu. Orang modern berganti menyembah produk-produk budaya modern, seperti komputer, televise, radio, mobil, uang, dan mungkin internet. Sementara dewa-dewi kuno hanya tertinggal dalam kisah-kisah lama, buku-buku mitologi, kepercayaan kuno. Orang tidak lagi memberikan persembahan kepada Odin, Loki, Kali, Ananzi, atau Easter. Mereka kini “menyembah” modernitas. Keyakinan yang begitu kuat ini akhirnya menyebabkan produk-produk budaya itu menjelma soso menyerupai dewa: dewa komputer, dewi media, Bapa Televisi, dan banyak lainnya. Mereka inilah dewa dewi Modern. Karena dewa dan dewi cenderung egois, tentu saja masing-masing merasa paling berkuasa dan tidak mau disaingi. Maka pecahlah perang antara Dewa-dewi Kuno dengan para Sesembahan Modern.

“The TV's the altar. I'm what people are sacrificing to.'

'What do they sacrifice?' asked Shadow.

'Their time, mostly,' said Lucy. 'Sometimes each other.”

Lalu bagaimana perang antar dewa beda masa ini? Di tangan Gaiman, kisahnya menjadi jauh lebih rumit, lebih gelap, dan lebih tebal (edisi bahasa Indonesianya 700 halaman lebih bos!). Untuk pembaca fantasi yang menantikan perang epic ala dewa-dewi Yunani dalam karya Rick Riordan, sebaiknya jangan berekspektasi lebih. Novel ini jauh lebih rumit, lebih detail, juga lebih puanjaaangggg sampai ke mana-mana. Banyak yang bosan dan berhenti di pertengahan, termasuk saya yang mandeg di halaman 100an selama beberapa tahun sebelum kemudian melanjutkan lagi. Ini jenis novel besar yang butuh waktu dan komitmen serta kecintaan meluap-luap untuk bisa menyelesaikan membacanya sekaligus mengapresiasi kecemerlangan seorang Neil Gaiman dalam menyusun sebuah kisah fantasi.  American Gods tidak hanya berisi dewa-dewi, tetapi novel ini malah jauh lebih menggambaran psikologis, sejarah, budaya, dan pikiran manusia. Elemen-elemen mitologi Nordik dan Indian cukup kental, tetapi kisah perjalanan si manusia bernama Shadow jauh lebih kental. Perjalanan hidup manusia ternyata jauh lebih menarik ketimbang keperkasaan dewa-dewi yang adikodrati.

“Orang-orang yang benar-benar berbahaya percaya mereka melakukan apa yang mereka lakukan hanya dan semata-mata karena itu tanpa diperlu diragukan lagi adalah tindakan yang benar. Dan itulah yang membuat mereka berbahaya.”  (hlm. 312)

Shadow yang mantan narapidana disewa oleh seorang pria misterius bernama Wednesday. Selanjutnya ketahuan kalau si Wednesday ini adalah sesosok dewa kuno yang menyamar dan mencoba bertahan di dunia modern. Tentang identitas dewa ini, silakan googling siapa Dewa hari Rabu yang memimpin perang besar antara dewa kuno dan dewa baru. Alur kisah novel ini sebenarnya serupa, hanya saja dewa-dewa baru itu berwujud internet, komputer, mobil, penerbangan, media masa, televisi, an produk-produk peradaban modern lainnya yang menjelma sesembahan baru. Shadow diajak Wednesday untuk menemui dewa-dewi kuno yang tersebar di penjuru Amerika Serikat agar mereka saling bersatu padu demi melawan dewa dewi modern itu. Karena settingnya di Amerika Serikat yang campur baur begitu, maka dewa-dewi yang ditemui Shadow pun berasal dari beragam budaya, mulai dari Mesir hingga India. Hanya saja, porsi dewa-dewi kuno di buku ini menurut saya sedikit sekali, dan malah tertutupi oleh dominasi manusia. Mungkin memang Gaiman ingin menyatakan kalau manusia modern sudah sedemikian larut dalam modernitas sampai-sampai keyakinan mereka pun ikut condong dan larut di dalamnya.

Awalnya bosan juga menyimak perjalanan Shadow yang terasa lambat, terlampau detail, dan manusia banget. Tetapi lama-lama malah kisahnya membius, enak diikuti, dan entah bagaimana pembaca seperti diajak jalan-jalan menelusuri kota-kota kecil di Amerika Serikat yang jarang muncul dalam budaya populer. Akhir novelnya memang tidak seepik judul dan ketebalan buku ini, tetapi ini karya Gaiman loh, yang pasti punya pesona dark dan twist yang nggak disangka-sangka. Saya akui membaca novel ini memang agak menyita waktu dan perhatian, agak melelahkan dan berputar-putar serta rasa bosan itu hadir. Tetapi begitu sampai ke penghujung cerita, saya dibuat puas karena pernah membaca karya besar dalam ranah fantasi ini. Ini buku tentang dewa-dewi yang manusiawi.



No comments:

Post a Comment