Search This Blog

Wednesday, February 9, 2022

Akulturasi Budaya dan Makanan di Buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara

Judul: Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara

Penyusun: Aji ‘Chen’ Bromokusumo, Ennita ‘Peony’ Wibowo, Novie Chen

Tebal: 216 halaman

Cetakan: Pertama, September 2013 

Penerbit: Kompas Media Nusantara (Penerbit Buku Kompas)


Kepulauan Nusantara sudah dikenal oleh bangsa Tiongkok sejak zaman kuno dengan nama Nan Yang atau Lautan Selatan. Perdagangan antara kedua wilayah ini memicu akulturasi, tidak hanya dlm bidang agama dan budaya tapi juga masakan.Orang Tiongkok memperkenalkan sayur asin, acar, kailan, pakcoi, sawi,dan sayur yang diawetkan. Sementara penduduk pribumi menyumbangkan aneka rempah dan bumbu tropis. Perpaduan keduanya menghasilkan kuliner baru yg blm pernah ada sebelumnya. Konon, orang Tionghoa zaman kuno datang ke Nusantara tanpa membawa istri mereka, melainkan membawa guci-guci berisi sayur asin, telur asin. Hal serupa dilakukan penduduk Indonesia modern yang kalau ke luar negeri biasa membawa sambal, kecap, mi instan.

Di kapal utusan Kublai Khan, disediakan sebuah sudut kecil untuk menanam taoge. Ada juga perahu kecil khusus untuk pembuatan tahu. Konon, ditemukan sebuah perahu kecil berisi peralatan pembuatan tahu di Kediri setelah penyerangan armada Mongol tersebut. Penduduk setempat lalu mempelajari teknik pembuatan tahu dari para pendatang Tiongkok, dan sejak saat itu kota ini dikenal sebagai salah satu produsen tahu di Nusantara. Selain Kediri, jejak muhibah para pelancong dari Tionghoa juga masih dapat dilihat di kota-kota pesisir, di antaranya Semarang, Medan, Pekalongan, Cirebon, dan Jakarta. Di kota-kota ini kita masih bisa menemukan jejak-jejak kuliner yang masih kental dengan tradisi Tionghoa, tentu saja setelah mengalami penyesuaian dengan selera lokal.

Makanan memang sudah sejak lama dikenal sebagai sarana pemersatu yang jarang gagalnya. Berbeda budaya, ras, dan agama boleh-boleh saja, tetapi soal selera makanan, ternyata banyak yang serupa. Makanan-makanan peranakan Tionghoa di Indonesia menjadi contoh nyata tentang bagaimana makanan bisa menjadi pemersatu lidah yang menjadi salah satu wujud akulturasi budaya. Bahkan, akulturasi ini telah menyatu sedemikian lengket hingga menghasilkan sebuah produk yang unik dan tidak ditemukan di tempat lain--termasuk di negara asal tempat makanan itu berasal. Contohnya kue lapis legit dan es puter yang merupakan hasil olah kreatif orang Tionghoa dan Nusantara untuk membuat santapan Eropa bisa diterima oleh lidah Asia. 

Buku ini secara runtut menggambarkan asimilasi bangsa Tionghoa yang datang ke Nusantara sejak zaman kuno dari segi makanan. Begitu besarnya pengaruh yang mereka bawa sehingga banyak dari makanan yang kia kenal dan kita santap hari ini ternyata berasal dari Tiongkok. Sebut saja bakso dan soto, kedua makanan berkuah ini konon berasal dari Tiongkok daratan dan awalnya merupakan makanan berkuah yang biasa disantap saat musim dingin. Nusantara kuno sejatinya tidak mengenal makanan berkuah karena budaya asli masyarakat kepulauan ini adalah memakan dengan tangan, atau dengan peralatan makan dari daun seperti pincuk dan wiru. Jadi, bisa dipastikan kalau soto, bakso, mi ayam, dan aneka sup itu merupakan makanan yang dibawa oleh para imigran.

Makanan-makanan tersebut kemudian mengalami penyesuaian begitu para pendatang dari Tiongkok tiba di nusantara. Aneka rempah-rempah ditambahkan, begitu juga santan kelapa. Hasilnya adalah sebuah masakan baru dengan cita rasa yang tidak ditemukan kecuali di nusantara. Sejumlah makanan populer lain yang ternyata juga berasal dari Tiongkok di antaranya siomay, lumpia, bakso, kwetiau, siomay, tahu, bakwan, dimsum, bakpia, fuyunghai. Walah laper. Selain mengalami perubahan bahan, isi, dan rasa; sejumlah makanan peranakan juga mengalami sedikit perubahan nama menyesuaikan dengan lidah lokal. Misalnya saja lun pia (lumpia), sio mai (siomay), pian sit (pangsit), dan ca jai (capcai).

Tidak hanya soal makanan, buku ini secara ringkas namun mengena turut membahas sejumlah perintilan dari budaya Tionghoa populer. Di antaranya asal-usul perayaan Imlek dan Cap Go Meh (yang kedua istilah ini ternyata tidak dikenal di Tiongkok sana), riwayat kue bulan, kue keranjang dan beberapa penganan khas lainnya, juga apa saja yang biasa dijumpai atau dipersiapkan dalam sebuah rumah tangga keturunan Tionghoa di nusantara. Bagian paling menarik adalah bagaimana penulis mengisahkan isi bukunya ini dengan gaya mendongengkan apa yang dia pernah lihat dan alami sebelumnya. Membaca buku ini serasa diajak dalam petualangan sejarah-kuliner Tionghoa di lokasi-lokasi yang pernah dialaminya penulis. Sayang sekali tambahan aneka resep makanan di bab paling akhir terpaksa saya skip karena bagian ini murni hanya berisi aneka resep makanan peranakan Tionghoa. 

Memang benar kata orang kalau makanan adalah alat pemersatu yang paling ampuh. Semua yang ditulis di buku ini menunjukkan betapa bentuk komunikasi paling mudah dengan semua orang adalah komunikasi dengan menggunakan bahasa universal , yakni bahasa makanan alias urusan mulut dan perut. Makanan memang duta budaya yang paling menyenangkan dan mengenyangkan. 






No comments:

Post a Comment