Search This Blog

Monday, January 31, 2022

Terpesona Jepang lewat Andai Aku Ada Di Sana

 Judul: Andai Aku Ada Di Sana

Pengarang: Katayama Kyoichi

Cetakan: Pertama, 2015

Penerbit: Elex Media Komputindo



Selalu ada yang khas setiap kali saya membaca novel atau cerpen dari Jepang. Kesendirian, sepi, suasana muram nan dingin, tapi juga ada humor ringan, optimisme yang seolah bertarung dengan rasa pesimis, juga emosi lain yang mendadak menyeruak. Tiga novela di buku ini masing-masing membawa "aku"nya sendiri dan dengan kisah yang berbeda. Tetapi ketiganya entah bagaimana dihubungkan dengan kematian dan juga rumah sakit. Ketiga kisah ini juga khas seperti tipe Jlit yang mungkin seperti sepenggal dari sebuah potongan besar tanpa ending yang tegas tetapi entah bagaimana kisahnya malah terus terngiang-giang. Mungkin memang karena seperti itulah kisah dalam kehidupan. Kadang, kisah hanya harus berjalan saja tanpa harus dilengkapi ending yang diinginkan. Seperti hidup, kadang pelajarannya kita dapat cukup dengan menjalaninya.

Meskipun ceritanya ternyata lumayan bagus, anehnya kok buku ini kurang mendapat sorotan ya? Faktor sampul mungkin salah satu penyebabnya. Sampul berwarna cerah dengan tampak belakang punggung seorang gadis yang tengah berjemur di pantai saya rasa kurang mengambarkan isi buku ini yang cenderung “berat.” Sekilas pembaca mungkin akan tertipu oleh sampulnya, mengira ini hanya satu lagi novel roman atau kalau nggak buku remaja tentang cinta-cintaan dan liburan. Saya sendiri juga nggak ngeh waktu lihat buku ini diobral murah, hanya memandangnya sambil lalu karena mengira ini novel cinta-cintaan anak muda galau. Sudah begitu, nama penulisnya dicetak kecil pula. Untungnya saya iseng mencari nama penulisnya dan ternyata ini adalah novel Jepang yang cenderung dark. Baca-baca ulasan saya menemukan tiga kisah di buku ini bukan hanya tentang cinta semata, tetapi juga tentang rsa sakit, kehilangan, dan juga kematian. Ini adalah buku tentang kehidupan yang keras dan kelam.

Buku ini berisi tiga kisah pendek yang berdiri sendiri: “Andai Aku Ada di Sana”, “Akhir Burung Tidak Disebut Kematian”, dan “Berenang di Laut Bulan September”. Masing-masing cerita atau novela tidak saling berhubungan, tetapi memiliki nuansa yang entah bagaimana serupa. Kisah pertama tentang seorang gadis bernama Shiori yang tengah menunggui ibunya yang tengah koma. Wanita itu mengalami kecelakaan saat menyelam bersama Shiori. Dokter akhirnya memutuskan untuk menyudahi perjuangan wanita itu setelah berkonsultasi dengan suami dan anak gadisnya. Tetapi setelah sang ibu wafat, Shiori justru menemukan fakta lain terkait masa lalu ibunya dari seorang pria asing yang sempat menengok ibunya. Kisah ini tidak punya akhir yang wow atau memorable, tetapi hanya seperti sepotong cerita dari sebuah rentang kehidupan seorang anak manusia. Mungkin elemen emosional para karakternya yang hendak ditunjukan oleh penulis, bagaimana si anak menghadapi dan menerima kondisi ibunya, dan juga bagaimana peristiwa itu kembali membuka hubungannya dengan sang ayah.

Cerita kedua, “Akhir Burung Tidak Disebut Kematian,” memiliki alur yang lebih tegas. Dua orang pasien hepatitis C tahap ringan dan berat saling menjalin persahabatan karena ditempatkan di kamar rawat inap yang sama. Dari percakapan keduanya kita bisa menyaksikan lagi-lagi bagaimana manusia menerima nasib yang menimpa dirinya. Awalnya memberontak dan ingin protes, lalu mau tak mau dijalani saja, sampai akhirnya pasrah dengan takdir yang telah ditetapkan untuknya. Sepanjang cerita ini pembaca akan disuguhi detail yang lumayan rinci tentang penyakit hepatitis C, perawatan, penyebab, dan apa bagaimana penyakit itu menyerang tubuh penderitanya. Kisah kedua ini juga memiliki lumayan banyak kalimat yang layak kutip, dengan ending yang lumayan hangat meskipun nuansa kelam kalem khas Jepang itu masih ada.

Cerita terakhir mengangkat tema besar tentang hobi panjat tebing. Seorang guru bernama Shusaku menemukan suakanya lewat aktivitas memanjat tebing yang ekstrem dan berbahaya. Orang lain termasuk istrinya sudah mewanti-wanti agar pria itu berhenti melakukan hobinya. Tetapi, panjat tebing ibarat sudah menjadi tali tambatan bagi pria tersebut agar tetap waras di dunianya yang sering goyah. Bahkan ketika kecelakaan itu menimpanya, Shusaku tidak bisa melepaskan diri dari hobinya itu. Bagaimana pun, seseorang memerlukan hobi sebagai ajang eksitensinya di dunia ini. Dari cerita ini, kita seolah diajak merenung betapa kehidupan yang sering kali memang tak sempurna memang sudah seharusnya dijalani saja tanpa harus terlalu banyak dipikirkan kenapa dan mengapanya. Dan melakukan hobi yang disenangi bisa menjadi penyelamat dalam kehidupan yang memang kadang tidak berjalan sesuai yang diinginkan.

Rasa haru, suasana ngun-ngun khas negeri Jepang terasa banget dalam cerita-cerita ini. Apalagi penceritaan menggunakan sudut pandang orang pertama yang membuat pembaca bisa merasakan apa yang dirasakan karakter-karakternya. Novel-novel semacam ini membantu banget buat kita untuk memahami  karakter dan pemikiran dari orang-orang yang berasal dari budaya dan tempat yang berbeda. Ini salah satu manfaat dari membaca novel: menjadikan kita manusia yang manusiawi, yang mau memahami kondisi orang lain, serta menyadari bahwa dunia berputar dengan cara yang berbeda-beda untuk setiap orang. Jempol lima layak disematkan kepada sang penerjemah, yang menurut saya telah berhasil menyampaikan ulang novel Jepang ini dalam bahasa Indonesia. Terima kasih atas kerja kerasnya. 


No comments:

Post a Comment