Search This Blog

Friday, January 28, 2022

Kegilaan yang Mengagumkan dalam The House of Spirit

Judul: The House of The Spirits (Rumah Arwah)

Pengarang: Isabel Allende

Penerjemah: Ronny Agustinus 

Cetakan: Pertama, 2010

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Membaca Rumah Arwah mengingatkan saya pada pengalaman membaca Seratus Tahun Kesunyian karya Marques. Tentu saja di samping latar Amerika Latinnya yang kental, juga tema sental kisahnya yang mengangkat sebuah "kegilaan" dalam beberapa generasi keluarga. Tetapi karya Allende ini menurut saya lebih ringan dalam hal relisme magisnya bila dibanding karya Marques. Ceritanya terasa lebih real dan bisa dibayangkan, meskipun ada aroma-aroma mistisme timur yang ajaib. Saya lebih bisa menerima kisah Clara yang dapat melihat hantu ketimbang seorang gadis yang hilang tertiup angin karena selendangnya nyangkut. Tapi, ya, memang harus diakui ada beberapa hal yang membuat kedua kisah ini memiliki napas yang sama. Kalau dalam bahasa Indonesia, mungkin mirip novel Sang Priyayi karya Umar Kayam yang juga mengangkat tiga generasi keluarga.

Yang segar dari karya Allende ini adalah wanita menjadi tokoh sentral dalam cerita. Clara, Blanca, dan Alba masing-masing mewakili tiga perempuan dari tiga generasi yang berbeda. Selain membawa masa masing-masing, ketiganya juga membawa “kegilaannya” sendiri. Clara si cenayang memulai budaya nyentrik dalam generasi keluarga ini. Kisah kehidupannya merupakan yang paling magis dari tiga fase kehidupan dalam novel ini. Masa kecilnya yang dipenuhi keganjilan (dikisahkan dia bisa meramalkan datangnya bencana) semakin ajaib dengan sebuah peristiwa yang menimpa kakaknya. Tidak kalah mengenaskan adalah kisah Esteban. Dia adalah pacar sang kakak yang seperti dihantam takdir karena setelah berjuang habis-habisan demi meminang kekasihnya ternyata harus mendapati sang pacar tewas karena racun dari musuh politik ayahnya.

Clara yang mungkin sudah bisa mengintip jalannya takdir hidupnya sendiri, memutuskan untuk menikahi mantan pacar kakaknya itu. Esteban rupanya digariskan memiliki peran sentral dalam kisah buku ini yang sekaligus berjalinan dengan tiga wanita di atas. Kisahnya lebih mendominasi bagian kedua buku ini, bahkan sampai ke penghujung cerita ketimbang kisah di Blanca. Dimulai dari perjuangannya untuk membangun kembali peternakan milik keluarganya yang sudah rusak terbengkai. Dengan sikap pantang mnyerah dan juga tangan besi, dia berhasil mengembalikan kejayaan rumah pertanian keluarganya itu, sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai seorang pria ambisius yang kaya raya. Pernikahannya dengan Clara membuahkan tiga anak, si sulung Blanca dan dua adiknya yang kembar. Blanca di sini mewakili generasi paska perang yang cenderung pemberontak melawan kemapanan. Gadis itu bersama angkatan sebayanya lagi gandrung dengan jargon-jargon marxisme yang memang menyebar luas pasca berakhirnya Perang Dunia Kedua.

Blanca diam-diam menikah dengan seorang pemuda liar, anak dari salah satu pegawai Ayahnya yang paling setia di peternakan. Dibuai asmara dan semangat masa muda, pasangan itu bermain di belakang sambil terus mendukung prinsip-prinsip sosialisme. Masalah semakin rumit karena Esteban saat itu telah terjun di dunia politik. Dia bahkan terpilih menjadi senator dari partai sayap kanan konservatif yang tentu saja menolak sosialisme dan marxisme. Dari pernikahan itulah lahir Alba. Gadis ini melambangkan generasi bunga yang lair dan besar tahun 1970 sampai 1980an dengan jargon “make love not war.” Dibanding ibu dan neneknya, kehidupan Alba ini bisa dibilang yang paling “liar” ala anak muda. Meski sekilas tampak sebagai gadis baik-baik cucu seorang senator, Alba adalah seorang pemberontak yang rela melakukan apa saja untuk mewujudkan apa yang dia yakini dan diimpikannya. Walau pada akhirnya, dari kisah Alba ini kita melihat kenaifan anak muda yang kadang terlampau percaya dengan mimpi-mimpi besarnya tanpa mempertimbangkan dengan baik realitas di sekitarnya.

Bagian ketiga buku ini memiliki nuansa politis. Kisah dipenuhi dengan demonstrasi mahasiswa, pemilu, kemenangan kaum kiri, kudeta militer, sampai bermacam sabotase politik yang memang tak kenal ampun. Satu hal yang menarik di sini adalah bahwa Isabel Allende ternyata merupakan keponakan dari Salvador Allende, mantan Presiden Chile yang terbunuh dalam sebuah kudeta militer tahun 1970an. Kudeta yang kemudian menjadi awal dari munculnya rezim Junta Militer di Chile sampai tahun 1990an. Kisah pengulingan paksa pemerintahan resmi oleh militer ini juga turut dikisahkan dalam novel ini. Bahkan dikisahkan juga, salah satu putra Esteban turut menjadi korban tewas dalam kudeta militer tersebut. Hal lain yang menarik adalah dicantumkannya coret-coretan bertuliskan kata “JAKARTA” di tembok kota sewaktu terjadi kerusuhan dan huru-hara di Ibukota sebelum kudeta itu terjadi.

Seperti Seratus Tahun Kesunyian, buku ini tebal (600 halaman) dengan narasi padat yang lebih didominasi deskripsi ketimbang dialog. Tokohnya juga banyak sekali tetapi anehnya gampang diingat dan dibedakan. Mungkin seperti kata Clara, yang berkata bahwa dalam keluarga besar mereka kegilaan dibagi merata sehingga semua karakter seperti punya nyala kegilaannya sendiri. Cara menulis Allende juga entah bagaimana tidak membosankan meskipun isinya begitu padat merapat seperti itu. Saya bahkan bisa merampungkan membacanya hanya dalam lima atau enam hari. Selain faktor kenyamanan cerita untuk dibaca, faktor penerjemahan juga turut menentukan. Mas Ronny Agustinus berhasil menyajikan keindahan sastra Amerika Latin dalam buku ini.  Novel tebal ini adalah sebuah karya yang begitu kaya sekaligus memuaskan, wajib dicoba dibaca jika Anda tertarik menyelami kekayaan sastra dari Amerika Latin. 




No comments:

Post a Comment