Search This Blog

Monday, January 17, 2022

Serunya Pengalaman Ngekost dalam Anak Kos Dodol

Judul : Anak Kos Dodol

Pengarang; Dewi dedew Rieka

Cetakan: ke-8, 2008

Penerbit: Gradien Mediatama




Buku pernah hitz ini terbit tahun 2008 dan edisi yang saya baca ini sudah cetakan ke-8 dari tahun yang sama. Momennya memang tepat sih kala itu berbarengan dengan tulisan tulisan blognya Raditya Dika yang juga laris dibukukan. Apalagi yang ditulis mbak Dedew ini dekat banget dengan banyak pbaca yang pernah, masih, dan mungkin akan menjadi mahasiswa yang ngekost. Seperti judulnya, buku ini merupakan kumpulan tulisan dodol tentang serunya pengalaman ngekos di Jogja pada awal tahun 2000an. Masa-masa itu ibarat percampuran dari teknologi lama dan zaman internet dimana dua duanya ada serta sama-sama digunakan. Warung internet bersanding dengan wartel, telepon rumah bersanding dengan telepon selular. Media sosial belum ada, kecuali mungkin milis.

Pengalaman ngekost tentu menjadi salah satu fase yang sulit dilupakan oleh (khusus kisah ini) generasi milenial yang merasakan bangku kuliah pada kurun waktu tahun 1999 - 2010. Selain menjadi kesempatan pertama bebas dari orang tua, pengalaman ngekost juga sekaligus menjadi ajang pembelajaran hidup mandiri (meskipun kos mbak Dedew seperti di buku ini bisa dibilang termasuk kos lumayan elit kalau untuk ukuran Jogja). Saya yang sering main ke kost teman-teman kuliah malah mendapati kalau ngekost itu lebih banyak harus mandirinya ketimbang bisa bebasnya. Yah, tapi pengalaman setiap orang memang beda-beda, termasuk pengalaman ngekost tentunya. Ini juga disesuaikan dengan jenis kost yang ditempati, apakah level elit ala-alat Seturan ataukah kos gang guru yang padat merayap ala-ala Karang Malang hehe. Yang jelas, sesekali memang kudu merasakan suasana ngekost agar berwarna kehidupan perkuliahannya.

Tidak semua orang ngekost, tapi semua pasti sepakat kalau  ngekost itu seru! Saya turut bisa merasakan pengalaman penulis di buku ini. Sama-sama kuliah di Jogja, walau tidak ngekos (saya ke kampus naik sepeda 7 km disambung naik bus kota 8 km wkwk) tapi saya sering main di tempat kos teman kuliah. Hampir 75% teman sekelas adalah penyewa kost dan waktu itu saya belum ada motor. Jadilah apa yg dikisahkan mbak Dedew ini klop banget dengan pengalaman. Zaman sekarang mungkin kurang relate karena memang zaman dan fasilitas berubah. Sekarang udah banyak kafe dengan beragam konsep sementara dulu tongkrongan mahasiswa di kampus saya kalo nggak gedung rektorat, perpus, persewaan komik, persewaan CD, ya kost temen wkwk. 

Belum zaman konsep healing atau glamping gitu deh, wong hape saja masih bluetooth mode. Media sosial juga belum semasif sekarang jadi teman terdekat dan terbaik memang teman-teman satu kost seperti yang dikisahkan penulis. Tapi justru keterbatasan teknologi ini yang bikin para penghuni kost kompak. Saat gabut, mereka main ke kamar sebelah atau bikin acara apa entah. Jadi memang jalinan persedulurannya lebih seru, kayak yang dikisahkan mbak Dew di buku ini.

Jogja tahun 2000an awal adalah kota yang belum seramai dan sebesar tahun 2022 (iyalah wkwk) Bus kota dan angkot masih berjaya. Saya bahkan masih ingat kawasan seturan dan slokan mataram itu masih sawah semua, kawasan Paingan sawah yang luas sampai utara, bahkan daerah hotel Sheraton yang barat gudeg Yu Djum itu dianggap ke luar kota. Jogja kala itu memang kerasa banget perjuangannya. Pengalaman penulis melihat copet di bus kota kok ya sama persis. Saya mengalami sendiri melihat gerombolan copet yang dandanannya sungguh necis: kemeja dan tas gendong ala mahasiswa gaul. Pokoknya sama sekali ga nyangka kalau itu pencopet. Waktu itu ada seorang mahasiswa beneran yang juga penumpang bus teriak teriak kalo hapenya hilang. Saya nggak ngeh sampai dua mahasiswa yg duduk di sebelah saya dan di seberang kursi saling bicara. Salah satunya bilang agar mengembalikan hape itu karena kasihan liat korbannya. Saya asli kaget, dan langsung kiri kiri meskipun lokasi kampus masih 1 km lagi. Deg degan loh duduk jejer copet walopun ga punya hape juga sih waktu itu wkwk.

Mungkin karena yang dituliskan ini memang beneran terjadi, atau setidaknya terisnpirasi dari kejadian yang sebenarnya. Ini yang lalu bikin buku ini jadi laris manis dan dicetak berulang kali dan bahkan dibuatkan versi komiknya. Tentu saja jangan lupakan kepiawaian penulis dalam mengisahkan ceritanya secara mengalir. Sayangnya, generasi z mungkin bakal agak sulit menyelami atau menikmati kisah - kisah ini karena memang zamannya beda. Membacanya di tahun 2021 pun berbeda dengan misalnya jika saya membaca ini di tahun 2011 karena memang selain zaman berubah cepat, momennya juga sudah jauh berlalu. 

Perubahan selalu ada dan memang tak bisa dihindari, tetapi pengalaman-pengalaman seru mahasiswa ngekost di buku ini tetap akan mendapatkan tempat tersendiri bagi mereka yang mengalaminya. Setiap zaman memang menyimpan kenangannya sendiri. Beruntunglah mereka yang bisa tetap menyimpan, mengenang, syukur-syukur dijadikan sumber penghasilan tambahan kayak penulis buku ini.

No comments:

Post a Comment