Judul: Tidak Semua Seks itu Jorok
Penulis: Hendri Yulius
Tebal: 292 hlm
Cetakan: Pertama, 292 halaman
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tidak semua seks itu jorok, tetapi yang jelas seks itu
ternyata rumit. Apa yang selama ini dilabeli sebagai aktivitas paling intim
antara dua orang di ruang privat ini ternyata mencakup begitu banyak keragaman
sekaligus keterkaitan. Tidak melulu perbedaan antara pria dan wanita, tetapi
juga mencakup hubungan seksual di luar
norma yang dianggap umum seperti homoseksual, lesbianism, trans, hingga apakah
ada di antara kita yang benar-benar normal. Dengan menghamburkan puluhan buku,
jurnal ilmiah, dan hasil penelitian dari mancanegara, penulis menggeliti
pembaca dengan aneka pertanyaan dari pertanyaan-pertanyaan yang saat ini sedang
dan masih dipertanyakan terkait seksualitas manusia. Jadi, jangan berharap
mendapatkan sebuah buku tentang seks di ranjang di sini. Tetapi jika Anda
peminat kajian gender, buku ini bakal jadi favorit
Lebih dari urusan ranjang semata, buku ini lebih jauh
mengajak pembaca melebarkan ranah pandangannya pada topic-topik sensitif dengan
teori yang seabrek-abrek. Bagaimana misalnya, keberhasilan perjuangan kelompok
LGBT untuk melegalkan pernikahan sesama jenis di sejumlah negara ternyata masih
menimbulkan polemic lain. Begini, jika hubungan seks antara gay yang sudah menikah
adalah hal yang dianggap sesuai aturan, maka gay yang berhubungan seks tanpa
ikatan pernikahan adalah tindakan yang melawan norma. Ini ibarat hubungan seks
di luar nikah pada pasangan heteroseksual. Jika demikian, apakah pasangan gay
yang sudah menikah adalah lebih baik dari yang tidak? Padahal umum saja masih
belum sepenuhnya bisa menoleransi kelompok ini, apalagi pernikahannya. Mumet
bukan?
Pertanyaan-pertanyaan penulis terkait dunia seksualitas bisa
dibilang agak terlalu maju jika dilontarkan di negeri ini, pada saat ini.
Sumber penelitian utama yang banyak di sitir terutama adalah karya Michel
Foucault yang berjudul The History of
Sexuality (ini sudah ada terjemahannya belum ya dalam bahasa Indonesia).
Lewat karya ini, penulis kemudian memantik ragam diskusi menyorot berbagai fenomena
kekinian yang tidak bisa lepas dari seksualitas. DI antaranya, kasus Lucinta
Luna yang dulunya adalah lelaki, pemerkosaan lelaki oleh perempuan, kehebohan
Jonathan Christie yang memamerkan perut sixpacknya, hingga ramainya aplikasi
dating yang memungkinkan orang sekarang melakukan aktivitas seksual secara
daring.
Menarik melihat aneka pertanyaan yang mengusik dari penulis
di buku ini. Misalnya saja, pembedaan antara pria sebagai mahkluk Mars dan
wanita sebagai mahkluk Venus yang terus menerus digembar-gemborkan menurut
penulis ternyata malah mengancam upaya perjuangan persamaan hak antara pria dan
wanita. Temuan menakjubkan yang telah membantu memperbaiki hubungan percintaan
antara pria dan wanita ini diutak atik lagi. Seperti hendak menggugat bahwa
pria dan wanita memang berbeda tetapi setara secara hak dan kewajiban. Seolah fakta
bahwa keduanya memang berbeda secara fisik adalah sesuatu yang harus diluruskan
lagi. Lalu maunya bagaimana? Duh saya sendiri juga pusing. Tetapi tidak semua
pertanyaan dan rasa penasaran harus dijawab dan dipuaskan menurut saya.
Banyak teori dan gagasan yang diketengahkan di buku ini menurut saya terlalu maju untuk diterapkan di Indonesia. Sementara kita masih berjuang dalam masalah kesetaraan perempuan dan pria, buku ini mengajak pembaca mumet-mumet memikirkan bahwa buku-buku self-help atau penuntun pribadi itu sebagai sebuah cara keliru dalam memperbaiki diri karena diri menjadi penuhi aturan ini dan itu. Benar kata seorang pembaca lain, buku ini mungkin tidak cocok dibaca mereka yang tidak menjadikan seks sebagai suatu kajian, hanya semata bagian dari normalnya kehidupan. Buku ini mungkin memang diperuntukkan bagi peminat kajian gender dan bidang-bidang lain terkait dengannya. Pertanyaan-pertanyaan "liar" di dalamnya sangat asyik untuk memantik perdebatan dan diskusi di ruang-ruang ilmiah, tetapi hanya akan jadi sekadar teori semata di luaran sana.
No comments:
Post a Comment