Search This Blog

Tuesday, August 10, 2021

Sekong, Sekelumit Kisah dari Dunia yang Disembunyikan

Judul : Sekong!

Penulis: Stebby Julionatan

Editor: Ama Achmad

ISBN: 9787233052269

Halaman: 208

Cetakan: Pertama-Juli 2021

Penerbit: Basabasi



            Setelah Rumah Ilalang, penulis muda Stebby Julionatan kembali meluncurkan karya berikutnya, Sekong. Sesuai dengan judulnya, novel ini kembali mengangkat tema yang hampir serupa, yakni kelompok homoseksual. Saya tidak menemukan arti kata sekong di KBBI, tetapi dari penelusuran internet diperoleh definisi sekong sebagai bahasa kelompok transgender (atau kasarnya, maaf, banci) yang merujuk pada seseorang (biasanya laki-laki) yang “sakit” atau tidak normal secara orientasi seksual, yakni gay, banci, atau laki-laki yang berpindah orientasi seksualnya.  Dan memang inilah garis besar yang dikisahkan dalam novel Sekong ini: tentang bagaimana seseorang menutupi, mencoba mengingkari orientasi seksualnya versus mereka yang sudah menerima diri apa adanya.

“Bukankah pada akhirnya manusia memang harus menikmati apa yang ada di dirinya? Sedang kebahagiaan sejati sesungguhnya adalah sikap penerimaan kita pada apa yang kita miliki.” (hlm 54)

          Dikisahkan dengan gaya seseorang yang bercerita menggunakan sudut pandang salah satu karakter di dalamnya (siapa yang bercerita ada di akhir buku, tetapi jangan langsung buka halaman belakang, tidak seru nanti). Tekniknya semacam kisah berbingkai dan berantai, di mana satu tokoh akan megarahkan pembaca ke tokoh lain, dan tokoh lain ini kemudian memperkenalkan ke tokoh yang lainnya juga. Unik, tapi juga membuat pembaca kurang focus karena sepertinya ada begitu banyak tokoh. Padahal, tidak. Pada pertengahan buku, pembaca akan tahu kalau cerita ini hanya berpusat pada tiga pria yang sama-sama homoseksual.

            Blurb-nya memang agak “menipu” karena menampilkan sosok Surti yang saya kira akan menjadi tokoh utama novel ini. Akan menarik melihat bagaimana tanggapan seorang wanita begitu tahu suaminya seorang homoseksual, apakah menerima atau murka. Tetapi tidak, Sekong menyorot pada tokoh Si Penyiar, Rahim, dan TL yang ketiganya sama-sama gay tetapi dengan kecintaan yang berbeda. Berbeda dengan pandangan masyarakat umum bahwa seorang gay akan selalu tertarik pada semua laki-laki, kehidupan cinta tiga pria ini menunjukkan bahwa  seorang gay pun pilih-pilih dalam mencintai sesama lelaki.

“Ketika banyak orang tidak punya pilihan, kekebasan memilih bagiku adalah anugrah. Aku terbuka dengan segala kemungkinan.” (Hlm. 162)

            Kisah dibuka dengan Si Penyiar yang ditelpon oleh seorang perempuan bernama Surti. Perempuan itu curhat di radio kalau suaminya yang bernama Rahim ternyata seorang sekong, gay. Sungguh sulit dipercaya karena keduanya telah dianugrahi anak setelah bertahun-tahun berumah tangga. Dari sini, tokoh si pencerita mulai merunut alur kisah Rahim dan Surti, masa lalu pernikahan mereka, penyebab Rahim mau menikahi Surti, serta bagaimana campur aduk perasaan baik Rahim maupun Surti terkait fakta bahwa lelaki itu mencintai lelaki. Kisah semakin rumit karena melibatkan lembaga negara juga keluarga besar yang tidak mau nama baiknya tercemar.

            “Dan sejarah, senantiasa dibangun oleh dunia patriaki dan pihak-pihak yang berkuasa.” (hlm. 85)

            Persoalan semakin rumit karena setelah Rahim melepaskan Surti dan mengabaikan keluarga besarnya, cintanya malah bertepuk sebelah hati. Pria muda yang dicintainya lebih mencintai si Penyiar sementara si Penyiar sendiri menaruh hati pada sosok ABG yang tidak akan pernah mungkin bisa ia cintai. Perkara cinta memang rumit, dan itu berlaku juga di dunia kaum gay sebagaimana juga dalam percintaan heteroseksual. Yang dicinta belum tentu balas mencinta. Yang didamba belum tentu bisa didapatkan, bahkan meskipun keduanya sama-sama pria gay. Sejak dulu, begitulah cinta. Indah tapi rumit adanya.

            Begitulah cinta, bukan? Hal-hal luar biasa, ajaib, dan bahkan tolol terjadi karena cinta.” (hlm. 109)

            Fenomena homoseksual memang, diakui atau tidak, ada dalam masyarakat kita. Hanya saja dunia mereka ditutupi oleh lapis demi lapis dalih yang tertutup rapat. Sekong seperti hendak membuka mata pembaca pada dunia yang terselubung ini. Mereka ada, dan mereka berbahagia sekaligus menderita dengan dunianya tersebut. Lain itu, Sekong semacam membeberkan kehidupan mereka yang menyembunyikan orientasi seksualnya, menekannya habis-habisan, hanya untuk mendapati kalau dorongan alami itu memang sulit untuk dikekang. Pada akhirnya, membohongi diri sendiri akan berujung pada membohongi orang lain. Tidak hanya itu, Sekong dengan unik dan blak-blakkan menggambarkan bagaimana pandangan dan posisi masyarakat terhadap kelompok yang terpinggirkan dan meminggirkan diri ini.

            “Penderitaan itu akan bersalih-sulih dalam kehidupan kita. Jika kamu pernah menyakiti orang lain, maka jangan marah jika nantinya hidupmu akan disakiti oleh orang lain.”  (hlm. 156)

 


No comments:

Post a Comment