Search This Blog

Thursday, August 12, 2021

Mempertanyakan Kembali Makna Perjaka

Judul: Perjaka

Pengarang: Kartika Catur Pelita

Tebal: 196 Halaman

Terbit:  October 2011 

Penerbit: Akoer - Andal Krida Nusantara

ISBN 139789791938287



Blurb:

Perjaka dan gadis adalah dua batas sakral, yang bisa saja menciptakan kenangan yang luar biasa, atau juga cacat batin yang pedih dan membekas. Itu sebabnya ritual kehilangan keperjakaan dan kegadisan, selalu mengundang debat dan menginggalkan lebih banyak pertanyaan yang tak terjawab.

Kehilangan keperjakaan dan kegadisan juga selalu menjadi cerita hidup yang sarat makna. Hanya saja terkadang anti klimaksnya sangat berbeda.

Dalam tatanan masyarakat kita, kegadisan masih tetap dianggap sebagai mahkota dan permata yang paling berharga dari seorang perempuan. Dan ada tuntutan untuk mempertahankannya hingga kejenjang perkawinan.

Barangkali kasus kehilangan keperjakaan, tidak separuh kegadisan, malah bisa jadi, - sebuah antiklimaks.


Ulasan:

Tertarik membaca lebih karena penerbitnya, dan setelah cek di goodreads memang bintangnya separah itu. Tapi, saya kasih kesempatan karena tema dan blurbnya menarik. Tentang apa arti keperjakaan yang selama ini kurang mendapatkan porsi sebagaimana keperawanan. Mengapa wanita disebut tidak perawan ketika sudah menikah dan sudah berhubungan seks, tetapi perjaka sama sekali tidak memuat konten seksual. Perjaka hanya bermakna /laki-laki yang belum berumah tangga; bujang; jaka/. Ada ketimpangan di sini karena pihak pria bisa selamanya perjaka asal belum menikah padahal mungkin sudah pernah berhubungan seks.

Novel ini menarik karena menampilkan cerita yang jarang ditulis: empat pemuda kehilangan keperjakaan dengan empat cara yang berbeda. Kemudian dari sini penulis mengajak pembaca ikut mempertanyakan apa arti keperjakaan setelah kita terlanjur banyak membahas tentang keperawanan. Lodi, Layan, Limanov, dan Kuwat; empat pemuda yang kehilangan keperjakaan dengan cara dan pilihan yang berbeda. Dan hal lain yang menarik, settingnya di Jepara, sebuah kota kabupaten di pesisir yang jarang mendapat sorotan kecuali ketika kita membahasa tentang Kartini dan ukiran.

Bintang 1 di gr sepertinya lebih karena alur kisahnya yang bak sinetron hikmah. Belum apa apa, penulis sudah menjustifikasi tokoh-tokohnya lewat ceramahnya. Seharusnya biarkan tokoh-tokohnya bergerak sendiri sehingga pembaca bisa mengambil hikmah tanpa digurui. Tapi ya, banyak sekali kutipan menggurui di novel ini walau semakin ke belakang semakin berkurang. Dalam beberapa bab, malah penulis bisa menyampaikan ceramahnya tanpa terasa tidak berceramah: lewat tindakan, pemikiran, dan nasib tokohnya.

Salah satunya sikap ibunya Kuwat saat menerima suaminya yang sebelas tahun menghilang dan mendadak pulang telah membawa istri muda. Ada yang namanya mantan istri, tapi tidak ada yang namanya mantan bapak. Di saat yang sama, ibu Kuwat juga menunjukkan sisi rapuhnya sebagai seorang wanita yang keberadaannya sering dinomor tujuhkan terutama di wilayah-wilayah tradisional. Juga tentang kemiskinan struktural, korupsi, dan timpangnya ekonomi sehingga memaksa anak-anak muda seperti Limanov dan Layan memilih jalan yang keliru. Ini novel dengan ide awal yang bagus, hanya saja ditulis dengan kurang matang





No comments:

Post a Comment