Search This Blog

Monday, August 30, 2021

Bermain dengan Bahasa dalam Celetuk Bahasa 1, 2, dan 3

 Judul: Celetuk Bahasa 1, 2, dan 3

Penyusun: Uu Suhardi

Cetakan: 2017, 2018, dan 2019

Penerbit: Tempo Publishing

Dibaca di Ipusnas




Belajar bahasa selalu menyenangkan bagi seorang pembaca. Tetapi kadang bahasa bisa menjadi sedemikian rumitnya ketika ia berubah menjadi "harus baik dan benar." Bahasa yang harusnya praktis menjadi terasa penuh teori sebagaimana materi sains. Tulisan tentang bahasa seharusnya dibuat tidak rumit dan sederhana sehingga mudah diterapkannya, bukan melulu mengurui dan terkesan terlampau tegas bahwa ini harus begini karena tidak boleh begitu. Perlu kearifan tersendiri dalam pengajaran bahasa karena bahasa sejatinya sesuatu yang luwes. Seri buku Celetuk Bahasa ini salah satu contoh buku pengajaran bahasa yang luwes tetapi tetap tertib.

Ini buku sederhana namun bagus, bisa dibaca sambil lalu tapi isinya cukup bergizi. Walau bahasanya agak sedikit menggurui, (jangan gunakan kata "namun" di sini) buku ini terasa menyenangkan sekaligus mengenyangkan saat dibaca. Satu halaman hanya berisi satu-dua kalimat tentang kesalahan atau kebenaran dalam bahasa Indonesia. Misalnya saja, kita bisa menemukan mengapa air bening yang sudah direbus disebut air putih (sekaligus buat menjawab candaan jayus bahwa air putih itu harusnya air susu). Juga, kata Alah dan bisa pada peribahasa 'Alah bisa karena biasa' ternyata bermakna 'kalah' dan 'racun.'

Bahkan, bergelut dengan naskah selama bertahun-tahun pun saya masih perlu diingatkan akan hal-hal kecil tapi penting ini: kaus, saus, kedaluarsa, Prancis, prangko, cindera mata. Juga, nyinyir ternyata berarti mengulangi kata-kata yang sama. Tetapi bahasa itu memang sifatnya luwes, dinamis, dan arbiter (sesuai kesepakatan bersama). Suatu saat, bisa jadi berubah lagi.

Istimewanya lagi, buku pertama dan kedua bisa dibaca gratis di Ipusnas dan--percayalah--ada begitu banyak pengetahuan bahasa yang bisa dipetik di dalamnya. Penulisnya juga sudah tepercaya (bukan terpercaya loh) karena beliau anggota staf redaksi Tempo (bukan 'beliau staf redaksi Tempo').

Satu hal menarik, ternyata ungkapan "HUT RI yang ke-75" dan "HUT ke-75 RI" itu sama-sama benar secara makna. Yang pertama mengandaikan bahwa RI ada 75 buah dan yang kedua mengandaikan bahwa RI ada 75 dan semuanya sama-sama berulang tahun hari ini. Mumet kan? Jadi lebih amannya mungkin: Selamat Hari Ulang Tahun yang ke-75 untuk Republik Indonesia. Atau, Dirgahayu Republik Indonesia.

Kata ini juga agak riskan dan mungkin sering terselip lidah saat diucapkan: bernegosiasi, bukan bernegoisasi. Juga, bukan "hampir sebagian besar", cukup gunakan 'sebagian besar' saja atau bisa juga 'hampir semua.' Keduanya memiliki makna yang sama.

Ketiga seri buku ini memuat remeh-remeh penting (loh, remeh kok penting?) dalam menggunakan bahasa Indonesia. Seperti misalnya kata-kata lewah (mubazir), gejala " perusakan bahasa" dalam tetiba (dari tiba-tiba) dan gegara (gara-gara), fenomena penyingkatan bahasa dalam seolah dan seakan (yang darinya seolah-olah dan seakan-akan), dan hal-hal kecil yang sering salah tik (bukan salah ketik). Penting dibaca oleh editor, penulis, mahasiswa, pecinta bahasa. Penulisannya juga pendek-pendek serta tidak membosankan sehingga gampang diingat. 

Ayo dibaca mumpung gratis di aplikasi Ipusnas. 

No comments:

Post a Comment