Search This Blog

Wednesday, January 6, 2021

Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an

 

DILARANG GONDRONG!

Aria Wiratma Yudhistira

184 pages

Published April 2010

by Marjin Kiri





Di novel-novel distopia, kita membaca kisah manusia zaman depan yang kehidupannya dibatasi dalam satu atau dua hal, misalnya saja dilarang jatuh cinta, dilarang tidak berfaksi, dilarang pindah distrik, sampai dilarang membantah penguasa yang memiliki kekuatan super. Negeri kita di era 1966 - 1974 juga pernah melakukan pelarangan semacam ini loh. Tidak kalah keren dari negeri-negeri distopia, Indonesia pernah melarang warganya untuk berambut gondrong. Luar biasa.

Tentu ada alasan di balik pelarangan ini. Jika di novel orang dilarang pindah atau tidak berfaksi supaya mencegah kekacauan, maka di tahun 1970an, pelarangan berambut gondrong dilatar belakangi oleh kekhawatiran dari generasi tua (yang menjadi pihak penguasa) terhadap budaya barat hippies yang dianggap mulai meracuni generasi muda sebagai penerus bangsa. Kebetulan, di US dan Eropa saat itu memang tengah merebak Revolusi Bunga yang slogannya make love not war dan begitu menjunjung tinggi kebebasan individual sebagai respon pada banyaknya tuntutan dari generasi baby boomer di atasnya. Salah satu ciri kaum hippies yang suka mabuk, mandat, dan main wanita ini adalah berambut gondrong.

Ciri inilah yang menjadi keprihatinan pihak penguasa akan menimpa generasi mudanya. Meskipun lewat penelitian penulis buku ini, alasannya adalah keluarga dari para penguasa saat itu tidak ingin anak keturunannya (yg diharapkan akan mewarisi kekuasaan orang tuanya) tersesat dalam.budaya kaum hippies ini. Kebijakan pribadi ini kemudian diterapkan ke seluruh penjuru negeri dan berlaku untuk semua rakyat. Tidak boleh ada laki laki yang gondrong, tua ataupun muda, PNS atau swasta. Razia pun digencarkan. Bukan hanya razia SIM dan stnk, tapi juga razia RAMBUT GONDRONG. Parahnya lagi, ada kebijakan mereka yang berambut gondrong tidak akan dilayani saat mengurus surat surat di kantor pemerintahan.

Kedengarannya lucu dan sepele banget, tetapi saya termasuk yang kaget karena kebijakan seperti ini pernah dan benar benar terjadi di Indonesia. Dan penulis buku menggambarkannya dengan begitu kaya data lewat buku sejarah yang tidak membosankan ini. Ada begitu banyak catatan kaki dan juga kutipan dari era zadoel yang asyik disimak. Sebagai pembaca dari generasi setelahnya, kita dapat berkaca lewat buku ini bahwa sejarah kadang lebih aneh ketimbang fiksi dan dengan membaca sejarah kita belajar untuk bercermin tentang diri dan kemanusiaan kita.

No comments:

Post a Comment