Search This Blog

Sunday, November 1, 2020

Cantik itu Luka? Membaca Kemalangan (atau Kegilaan?) Sebuah Keluarga.

 Judul: Cantik Itu Luka
Pengarang: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Membaca Cantik Itu Luka adalah mengikuti historigrafis perjalanan sejarah Indonesia dari sudut pandang kemalangan (ataukah kegilaan) yang dialami sebuah generasi keluarga. Merentang dari era penjajahan hingga tahun-tahun menjelang reformasi, dalam novel ini Eka Kurniawan dengan detail, dengan sabar, dan dengan begitu naratif menyusun sebuah karya yang tidak hanya utuh, melainkan juga menyisakan gaung dalam benak pembaca terkait banyak isu sensitif dalam sejarah bangsa ini. Setelah selesai membacanya, akan muncul banyak pertanyaan dan juga penafsiran yang asyik untuk dibicarakan sesama pembaca. Memang, novel yang bagus itu membuka ke banyak penafsiran dan diskusi sehingga kaum pembaca ikut terseret dalam arus kisahnya tanpa disadari. Eka Kurniawan dengan lihai mampu menggerakkan pembaca untuk terus teringat pada karya ini dalam waktu lama lewat beragam penafsiran tentangnya.

Cantik itu Luka dikisahkan dari sudut pandang generasi keluarga Ayu Dewi yang lahir di masa penjajahan. Kisah dibuka dengan adegan absurb yang meloncat jauh ke depan, yakni ketika pada suatu malam Ayu Dewi yang sudah meninggal dan dimakamkan tiba-tiba bangkit dari kuburnya dan kembali ke rumahnya untuk melihat anak bungsunya. Dikisahkan, Ayu Dewi ini seorang indo blasteran yang lahir di era prakemerdekaan atau di zaman penjajahan Belanda. Settingnya mengambil sebuah kota di pesisir selatan Jawa Barat yang bernama Halimunda. Menghabiskan masa kecil sebagai anak dari tuan tanah Belanda yang kaya, Ayu Dewi sama sekali tidak mengetahui kalau jalan hidupnya dan juga keturunannya akan berubah.

Ketika Jepang berhasil merebut Hindia Belanda dari Belanda tahun 1941, mereka merampas semua properti milik orang Belanda. Rumah dan tanah di sita, sementara orang-orang barat dan keturunannya ditahan. Ayu Dewi dan keluarganya turut mengalami penahanan ini. Bersama wanita-wanita Belanda lain dari seluruh Halimunda, mereka dikumpulkan dan ditahan di sebuah penjara di delta sungai. Penderitaan dimulai untuk wanita-wanita lembut yang sehari-hari dilayani tersebut. Puncaknya ketika tentara Jepang mengambil beberapa wanita untuk dijadikan sebagai pelacur, termasuk Ayu Dewi. Dari sini petualangan hidup si gadis indo ini dimulai.

Si gadis indo ternyata menikmati nasibnya sebagai pelacur. Entah karena terpaksa atau mungkin wanita itu berpikir praktis bahwa lebih baik menikmati yang terpaksa dia alami ketimbang terus menyangkal dan menyakiti diri. Didukung wajah ayu dan blasterannya, wanita ini mantap menjadi pelacur nomor satu di Halimunda. Tarifnya istimewa dan bahkan dia memilih sendiri pelanggannya. Tidak berapa lama sampai akhirnya para pria berbondong bondong dan antre untuk menidurinya. Termasuk dua pria yang kelak ternyata akan menjadi menantunya. Memang ada gila-gilanya.

Dari persetubuhannya dengan berbagai pria inilah Ayu Dewi melahirkan 3 putri yang kesemuanya cantik jelita. Kemudian menyusul satu lagi si bungsu yang sayangnya bermuka buruk rupa tetapi Ayu Dewi menamainya Cantik. Untungnya, tiga anak pertamanya bisa berkeluarga (meskipun alur kisah mereka tidak kalah berliku dan absurb dibanding kisah ibunya) dan memiliki anak. Tetapi kemalangan keluarga ini rupanya belum selesai. Putra dari putri keduanya, anak dari seorang Kamerad Komunis yang dicari-cari, kelak tumbuh menjadi pemuda yang membawa bibit petaka baru di keluarga tersebut. Pada akhirnya, Ayi Dewi yang bangkit dari kuburnya memang berhasil membunuh musuh utamanya, tetapi generasi keluarga ganjil ini hanya menyisakan empat wanita yang sama-sama kehilangan. Semua karena kecantikan yang mereka miliki, atau yang tidak mereka miliki.

CIL yang menggunakan konsep kota antah berantah tapi mirip sebuah kota nyata yang cirinya saling ditempelkan mengingatkan kita pada novel 100 Tahun Kesunyian karya Marques. Walau pohon silsilah keluarganya tidak serumit dalam karya Marques itu, tidak bisa dipungkiri pembaca akan merasakan sedikit (atau banyak) kemiripan. Jika Marques bermain dengan detail keluarga tokohnya, Eka berfokus pada detail sejarahnya. Karena Indonesia mengalami gejolak politik yang begitu beragam dalam waktu singkat (tahun 1930 - 2000), penulis jadi memiliki begitu banyak bahan untuk ditempelkan dalam kehidupan tokoh-tokohnya. Dan ini yang menurut saya menjadi menarik.

Bagaimana Eka menyesuaikan tokoh-tokohnya dengan berbagai peristiwa sosial sejak era kolonial, masa menjajahan Jepang, momen kemerdekaan bangsa Indonesia, kronik di masa perang Revolusi, pergantian bentuk negara, KMB, lalu berlanjut pada masa-masa keemasan komunisme di Indonesia hingga pecahnya pemberontakan PKI, lalu dilanjutkan dengan Supersemar. Bahkan era 1980an dengan penembak misteriusnya juga mampu disisipkan dalam kisah keluarga Ayu Dewi ini. Luar biasa betapa dibutuhkan kreativitas, ketelatenan, pemahaman sejarah, juga kepiawaian untuk menyisipkan elemen babakan sejarah dalam bab-bab sebuah buku. Ini yang menurut saya menjadikan CIL salah satu novel terbaik dari Indonesia dan layak dibaca setidaknya sekali.

Selain itu, CIL kaya dengan banyak isu serta gagasan yang menarik untuk diperbincangkan. Yang pertama tentu feminisme, bagaimana wanita menjadi korban dari kecantikannya sendiri. Kisah Ayu Dewi dan anak-anaknya menggambarkan betapa beratnya posisi dan nasib para wanita cantik di dunia yang patriakis. Tetapi dari kisah Ayu Dewi yang bisa memanfaatkan kecantikannya untuk memperbaiki nasibnya, muncul pertanyaan bahwa wanita yang bisa menggunakan aset tubuhnya untuk kepentingannya sendiri, apakah dia tetap korban dari kecantikan di dunia yang patriakis? Isu lain adalah tentang penyakit kegilaan yang konon bisa menurun dalam keluarga. Entah apakah hal ini yang hendak diangkat oleh Eka secara tersirat. Secara kegilaan adalah masalah psikologis yang snagat tergantung pada individu bersangkutan dan latar kehidupan yang dijalaninya. Apakah kegilaan semacam ini juga bisa tetap muncul pada keturunannya, ataukah itu semacam skizofrenia yang sebagian orang menyebutnya gangguan mahkluk halus? Ini bisa jadi bahan pembahasan yang menarik dari novel ini.

Kemudian, tema sosialisme yang selama ini lekat dengan karya-karya penulis Amerika Latin (yang banyak dibaca Eka) juga lumayan banyak disinggung di CIL ini.


1 comment:

  1. Masdi keren banget blog bukunya yg paling aktif dan produktif dibanding yg lainnya :D

    ReplyDelete