Judul: Kaum NovelPenulis: Setyaningsih
& Widyanuari Eko PutraTebal: 164 hlmCetakan: 1, Desember 2019Penerbit: Basabasi
Sulit membayangkan kumpulan resensi buku bisa diterbitkan menjadi sebuah buku.
Maksud saya, resensi yang benar benar plek resensi lalu dikumpulin dan
diterbitkan dalam satu buku, bukan resensi yang diubah dulu jadi artikel atau
esai. Tapi buku ini membuktikannya. Ini buku kumpulan resensi kedua yang saya
baca setelah Semesta di Balik Punggung Buku karya Gus Muh.
Kaum Novel adalah kumpulan resensi buku, kebanyakan novel, karya dua peresensi
andal dari Semarang dan Solo. Satu cowok, satunya cewek. Total ada 26 resensi
dan 2 esai ttg buku, plus pengantar dari mas Kabut Bandung Mawardi. Kebanyakan
resensi di sini sepertinya pernah dimuat di media massa (entah cetak maupun
daring), ditandai dengan penggunaan bahasa yang formal serta lebih menyerupai
esai. Kelebihannya, kita bisa belajar atau mengetahui banyak hal dari sebuah
resensi, tidak hanya tentang isi novelnya saja.
Pada ulasan buku Kura Kura Berjanggut misalnya, kita dapat info ttg novel
bertema maritim yg masih sangat jarang. Ada juga resensi buku ttg buku yang
tentunya bikin kita mengecek apakah sudah baca buku ini dan buku itu. Bisa
dibilang, tidak hanya intisari cerita novelnya yg kita dapatkan, tapi juga
latar belakang sejarah dan sosial ekonomi politik yang menyertai terbitnya
sebuah novel. Peresensi bahkan menggunakan acuan buku lain untuk memperkuat
opininya.
Sayangnya, kesan koran ini malah seperti membuat jarak dengan pembaca. Suasana
formal yg dibangun emang cocok untuk pembaca koran yang terdidik, tapi dalam
pandangan saya kurang sesuai untuk generasi Milenial yg cari info buku barunya
lebih banyak lewat Goodreads, bukan koran lagi.
Satu lagi yang agak kurang berkenan, beberapa kali dua peresensi ini
membocorkan ending alias spoiler dari beberapa novel terkenal di pasaran. Ini
seperti merusak kesenangan pembaca yg kebetulan belum membaca novelnya.
Bayangkan jika ada kejutan di ending yg harusnya bikin pembaca terkezoet malah
diberitahukan di awal. Tentu sangat menjengkelkan bagi sementara pembaca.
Separuh pertama buku ini ditulis oleh cowok. Ini terlihat dari gaya bahasanya
yang formal banget dan khas koran. Separuh terakhir ditulis oleh cewek. Saya
lebih menyukai bagian yang ini karena ada rasa dan emosi yang dituangkan dalam
resensi. Cuma, gaya bahasanya masih agak Bandung Mawardi banget.
Setiap buku pasti membawa sesuatu untuk pembacanya, dan berkat buku ini saya
mendapat tambahan daftar novel bermutu yang kudu dibeli.
No comments:
Post a Comment