Search This Blog

Wednesday, July 4, 2018

A List of Cages, Perundungan vs Persahabatan

Judul: A List of Cages
Pengarang: Robin Roe
Penerjemah: 
Tebal: 372 hlm
Cetakan: 1, Januari 2018
Penerbit: Spring





Tema tentang bullying atau perundungan sepertinya masih menjadi tema favorit para penulis YA dari luar. Maraknya fenomena perundungan di sekolah menjadi salah satu pendorongnya. Lewat karya-karyanya, para penulis seperti John Green, Laurie Handel A, dan juga Robin Roe berharap agar anak-anak muda yang menjadi korban perundungan berani berbicara tentang perundungan yang kita alami. Memang, tidak mudah bagi korban untuk berbicara tentang perundungan yang dialaminya. Ancaman dari si perundung, ditambah dengan rasa malu serta tekanan sebaya peer pressure adalah hal-hal yang jamak dijumpai pada kasus-kasus sejenis. Jika dibiarkan, tidak jarang si korban akan berujung pada depresi yang dapat mengancam kehidupannya. Jikapun tidak, memori akan kejadian perundungan itu akan terus melekat dalam sudut gelap pikiran yang akan menghantui si korban.

Sangat mengejutkan betapa sebagian pelaku perundungan justru adalah keluarga terdekat. Korbannya pun tidak melulu anak perempuan (yang dalam stereotype masyarakat dipandang sebagai mahkluk yang lebih lemah). Korban perundungan bisa laki-laki maupun perempuan, tua atau muda, dan dari ras manapun. Novel  A List of Cages ini berupaya menampilkan kisah perundungan oleh keluarga terdekat lewat sosok . Ketika keluarga satu-satunya malah menjadi perundung alih-alih pelindung. Satu hal yang umum kita temukan dalam diri para pelaku perundungan: mereka tidak bahagia hingga sampai pada suatu obsesi untuk menjadikan orang lain yang lebih lemah darinya merasa tidak bahagia. Atau, mereka merundung orang lain yang dianggap berbeda dengan diri dan kelompoknya.

Keburukan, ibarat sinar, memantul sehingga memicu keburukan-keburukan yang lain. Tetapi, untungnya, hal yang sama juga berlaku pada kebaikan. Kebaikan memantulkan kebaikan sehingga darinya muncul lebih banyak kebaikan. Dalam novel ini, kebaikan itu berwujud dalam sosok anak SMA penderita ADHD bernama Adam. Memiliki semangat hidup yang menyala-nyala, Adam adalah contoh terbaik penderita ADHD yang dibesarkan secara sepatutnya. Gangguan perilaku Adam disalurkan dalam bentuk aktif membantu orang lain. Adam terpilih menjadi semacam relawan pendamping bagi anak-anak yang mirip sepertinya atau dianggap memiliki kecederungan berbeda seperti dirinya.

Julian adalah salah satu murid junior yang turut didampingi oleh Adam. Keduanya sebenarnya pernah bertemu sebelumnya. Julian masih tetap seorang anak yang suka menulis cerita dan sangat menyukai buku cerita bergambar anak-anak. Tetapi Julian yang sekarang telah beranjak remaja. Julian juga telah berhasil mengatasi gangguan membaca yang dialaminya. Tetapi, dia menjadi lebih pendiam dan lebih menutup diri dibanding terakhir kali keduanya bertemu. Ada sesuatu yang buruk telah terjadi pada anak itu dan itu bukan karena Julian kehilangan orang tuanya dalam kecelakaan saat kecil dulu. Anak remaja itu tumbuh berbeda dalam pengasuhan pamannya yang misterius.

Selain karakter Adam yang sangat lovable, novel ini menarik karena dibawakan lewat sudut pandang orang pertama bergantian antara Julian dan Adam. Penggunaan sudut pandang ini pas karena tema besarnya juga menyinggung sejumlah gangguan psikologis. Sebagai pembaca yang “normal”, kita bisa mencoba menyelami apa yang ada dalam pikiran seorang penderita ADHA atau mencoba ikut merasakan perundungan yang dialami Julian. Temanya yang dark diimbangi oleh sifat Adam yang ceria dan selalu positif. Dari pemuda ini, kita bisa belajar banyak tentang persahabatan, penerimaan, dan juga kehidupan. Adam ibarat orang yang sudah “selesai dengan dirinya sendiri” sehingga dia bisa menerima semua orang, apa pun keadaannya.

Satu hal yang menurut saya agak janggal adalah bagian ending novel ini. Ada satu adegan lumayan “filmis” yang rada dipaksakan, ketika Adam berupaya menyelamatkan Julian. Adegan pemanis seperti itu kayaknya kurang cocok untuk novel dengan tema dark seperti A List of Cages. Malah jika dihapuskan, ending-nya akan terasa jauh lebih realitis. Dalam kehidupan nyata, kita tidak selalu dapat bisa membalaskan semua rasa sakit hati kepada mereka yang pernah menyakiti kita. Hidup memang terasa tidak adil. Tetapi, kita sesungguhkan tidak pernah benar-benar tahu betapa sang Pencipta Kehidupan menjalankan seisi semesta ini dengan keadilan yang sungguh sempurna.  Selalu ada balasan untuk setiap perbuatan. Kita hanya harus yakin dengan hal itu, lalu berbahagia.

No comments:

Post a Comment