Search This Blog

Thursday, May 3, 2018

Haji Murat

Judul: Haji Murat
Pengarang: Leo Tolstoy
Penerjemah: Koesalah Soebagyo Toer
Tebal: 191 hlm
Cetakan: Pertama, Februari 2009
Penerbit: Pustaka Jaya


6511675


Sebuah novel sedikit banyak mencerminkan pandangan politik penulisnya. Dari karya juga, pembaca bisa melihat perkembangan pandangan penulis sepanjang usia kepengarangannya. Tolstoy merayakan kemenangan rakyat Rusia atas serbuan Napoleon lewat karya agungnya, War and Peace. Secara sukarela, ia bahkan terjun dalam Perang Krim (1853-1856) melawan Turki yang dibantu oleh Inggris, Perancis, dan Sardinia. Nasionalisme menjadi api yang menggerakkan semangatnya. Kemudian, dalam karya-karya selanjutnya, tema kemanusiaan lebih menjadi perhatiannya. Novel Haji Murat yang ditulis di masa-masa penghujung kariernya sedikit banyak menggambarkan perubahan Tolstoy yang pada akhirnya memilih untuk membela kemanusiaan ketimbang mengobarkan nasionalisme. Dalam novel ini, dia seperti sengaja memosisikan diri sekadar sebagai pengamat, orang yang tidak memiliki urusan sama sekali dengan kedua belah pihak yang bertikai. Hanya satu yang dia sepakati, bahwa perang—betapa pun agung dan mulianya—selalu menimbulkan korban di kedua belah pihak. 


Haji Murat adalah sebuah novel pendek yang mengisahkan akhir hidup dari seorang pemimpin pemberontakan bernama Haji Murat. Pria tua walau sudah sepuh, namanya sangat dihormati di Pegunungan Kaukasus. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mempimpin kelompok perlawanan Chenchen melawan agresi pasukan Kekaisaran Rusia. Bersama pasukannya yang setia, Haji Murat berulang kali melakukan serangan gerilya pada pos-pos terluar Rusia di Chechnia sehingga namanya melambangkan perlawanan tak kenal lelah kepada penjajah Rusia. Kemudian, keadaan berbalik. Melalui telik sandi, disampaikan bahwa Haji Murat akan menyeberang ke pihak Rusia. Tokoh pemimpin perlawanan akhirnya beralih menjadi sekutu, ini tentu kabar yang sangat menggembirakan bagi pihak lawan. 

Tentang penyeberangan Haji Murat ke pihak Rusia inilah garis cerita utama dari novel ini. Dimulai dari penyerahan dirinya secara sukarela kepada pihak lawan dilatarbelakangi oleh alasan politis juga sebelumnya. Awalnya, Haji Murat dekat pada para Khan, yakni keluarga bangsawan penguasa bangsa Tartar. Sebuah pemberontakan atau intrik politik akhirnya menumbangkan kekuasaan para Khan ini. Sosok licik bernama Gamzat naik ke panggung politik dan dengan sadis menghabisi para Khan beserta keturunannya. Dalam upaya balas dendam, Haji Murat dan kakaknya berhasil membunuh Gamzat. Tetapi, Kakaknya ikut tewas dalam kejadian tersebut. Malangnya lagi, Gamzat digantikan oleh Shamil yang tak kalah liciknya. Tokoh ini menyandera keluarga Haji Murat saat dia sedang berjuang melawan Rusia. Karena Shamil sendiri juga musuh Rusia dan Haji Murat juga tengah kekurangan kekuatan militer, dia memutuskan membelot ke pihak lawan dengan harapan pihak Rusia akan membantu merebut keluarganya dari tangan Shamil.

Begitulah politik, semuanya bisa terjadi selama ada kepentingan. Kawan jadi lawan, lawan jadi kawan. Tidak ada yang benar-benar murni dalam berpolitik. Dalam Haji Murat, Tolstoy menggambarkan fenomena ini dengan sedemikian samar lewat tokoh-tokohnya. Berdampingan dengan peristiwa penyerahan diri Haji Murat, dipaparkan juga sepenggal dua penggal kisah kehidupan para pejabat Rusia yang terlibat di dalamnya. Sewajarnya manusia, ada sisi baik dan buruknya. Tolstoy lebih banyak menyorot sisi bobrok manusia lewat novel ini. Pejabat yang korup, para bangsawan yang hanya mengejar kedudukan, politisi yang sibuk saling cibir di belakang—dan kemudian berubah salam hangat saat saling bersua di aula pesta, para lady yang hanya tau berpesta  seraya membikin skandal di sana sini. Pihak yang paling dirugikan tentulah rakyat biasa, yang dilambangkan oleh para prajurit bawahan. Mereka itulah sejatinya para patriot sejati, yang ironisnya malah menjadi korban yang pertama kali.

Penulis yang baik pertama-tama berpihak kepada kemanusiaan dan baru pada nasionalisme. Tolstoy di Haji Murat melakukannya dengan mengambil posisi pengamat. Meski berkewarganegaraan Rusia, Tolstoy tidak lalu dibutakan oleh fanatisme kenegaraan. Sebagai pengamat, digambarkannya sama rata kondisi kedua kubu (Kekaisaran Rusia dan pemberontak Chenchen), baik dan buruknya. Pejabat yg korup dan tidak becus, penguasa lokal yang lalim, semua orang di kisah ini seperti berada di tempat dan waktu yang salah. Keberanian dan masa muda yg tersiasia, keindahan alam pegunungan yang ternoda darah. Pada akhirnya, perang hanya akan menyisakan luka dan kerusakan di kedua kubu. Dengan begitu halus dan tanpa memihak, Tolstoy mengutuk perang lewat karyanya ini. 

No comments:

Post a Comment