Search This Blog

Friday, May 4, 2018

Annihilation, Pemusnahan


Judul: Annihilation
Pengarang: Jeff Vandermeer
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Penyunting: Primadona Angela
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: 243 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



"Di dunia ini tak ada yang benar-benar  objektif--bahkan dalam keadaan terisolasi, bahkan sekiranya otak hanya berisi hasrat yang begitu kuat untuk mencari kebenaran." (hlm. 13)

Sebagaimana filmnya yang sunyi sepi dari pemberitaan, novel Annihilation juga hanya sempat ramai di awal (karena kemunculan sampulnya yang kece) ketika Gramedia mengumumkan akan menerbitkan versi bahasa Indonesianya. Satu bulan setelah terbit, hanya segelintir pembaca saja yang membaca dan (apalagi) mengulas novel karya Jeff Vandermeer ini. Kalau foto-foto di IG sih banyak, tetapi ulasan di goodreads tidak seramai ulasan buku-buku sci-fantasi populer lain, semisal Illuminae misalnya. Beberapa ulasan sepakat mengatakan buku ini unik. Jenis buku fantasi yang berbeda dibanding buku-buku scifi yang ada di pasaran karena berani mengambil plot yang tidak pasaran. Tetapi, di sinilah pertaruhan itu diletakkan. Menulis sebuah novel fantasi dengan tema yang tidak populer berpotensi menjadikan novel tersebut sepi pembaca. Mungkinkah kondisi sepi-sunyi di Area X turut mempengaruhi sepinya tanggapan atas buku ini di pasaran Indonesia?

Annihilation saya akui memang termasuk fiksi yang berat. Sampai membaca tuntas novel ini, saya masih belum bisa menangkap 100% isi dari novel ini. Tema sentralnya adalah sebuah kawasan liar di selatan (selatannya mana?) yang dilingkupi oleh fenomena yang aneh sehingga menjadikan tempat tersebut dijauhi. Setting area X adalah kawasar pesisir dengan perpaduan vegetasi hutan-rawa-bakau. Setting waktunya kemungkinan di masa depan karena ada alat-alat canggih dan ilmu psikologi telah berkembang pesat (Si Ahli Psikologi yang juga ahli hipnosis seperti orang super yang mampu mengendalikan pikiran orang lain di buku ini). Ada sesuatu di Area X yang menjadikan kawasan tersebut dibatasi (anggota tim harus melewati Perbatasan jika ingin masuk ke sana). Bahkan alat modern seperti telepon genggam dilarang dibawa masuk karena ancaman kontaminasi.

Sepanjang cerita, pembaca akan dipaksa terus untuk bertanya tanya siapa kiranya yang menguasai Area X. Sebelas ekspedisi telah dilakukan ke Area X sebelum Ekspedisi ke-12 (yang menjadi alur cerita novel ini). Semua tim ekspedisi sebelumnya kembali dengan kondisi yang beraneka ragam—cenderung aneh. Semua anggota tim ekspedisi kedua bunuh diri, anggota tim ekspedisi ketiga tewas karena saling baku tembak, sementara anggota tim ekspedisi kesebelas pulang dalam kondisi abnormal sebelum meninggal karena kanker. Dalam ekspedisi kedua belas ini, empat orang wanita diterjunkan untuk meneliti apa yang sebenarnya terjadi di Area X. Mereka terdiri atas Ahli Biologi, Ahli Psikologi (sebagai pemimpin ekspedisi), Ahli Antropologi, dan Ahli Survei. Dari Ahli Biologi lah kisah ini diturutkan. Sebenarnya masih ada satu Ahli Linguis, tetapi entah mengapa dia menolak melewati Perbatasan.

Kisah misteri paling horor adalah misteri yang tetap menjadi misteri bahkan ketika ceritanya selesai. Inilah yang saya dapatkan saat membaca novel ini. Sepanjang menekuri halaman demi halamannya, saya ikut merinding karena mengetahui ada sesuatu yang tersembunyi di Area X, entah apa. Cara penulis menggambarkan kengerian dalam Annihilation bukan lewat binatang buas ayng bermutasi menjadi moster, atau seorang musuh yang psikopat. Seluruh Area X yang bak suaka marga satwa dengan pemandangan indah ternyata adalah horor itu sendiri. Seperti yang dirasakan sendiri oleh keempat karakternya, saya tidak bisa menggambarkan kengerian jenis apa yang diciptakan  Jeff Vandermeer lewat setting Area X ini. Ada sesuatu teor di balik alam liar yang sepintas tampak tak berbahaya itu. Teror itu menyerang diam-diam, langsung menusuk dalam sifat alamiah manusia, menguatkan kecenderungan purba untuk merusak diri sendiri. 

Sejujurnya, titik terang tentang Annihilation bisa didapatkan dengan menonton filmnya. Setelah membaca ulasan tentang film ini, saya mulai mendapatkan sedikit gambaran tentang novel ini. Dari situ, saya harus mengangkat jempol buat penulisnya. Setelah tahu kisi-kisinya, novel ini ternyata memang bagus. Area X bisa dijelaskan sebagai satu petak wilayah yang dilingkupi oleh semacam gelembung atau kubah raksasa yang memiliki ekositemnya sendiri. Di film, Area X di jelaskan ada di wilayah pesisir Florida (South-nya orang Amerika Serikat). Kawasan tersebut mampu membangkitkan sisi kelam manusia, mendorong kecenderungan alamiah seluruh mahkluk hidup menuju ketidakteraturan. Ada sesuatu, semacam mahkluk asing yang memancarkan entah gelombang atau aura yang bisa mempengaruhi DNA manusia, tumbuhan, dan seluruh binatang di Area X. Dan ngerinya lagi, sampai habis buku ini terbaca, saya masih nggak tahu apa itu. 

Semoga buku ini bisa dibaca semakin banyak orang. Tidak seperti filmnya, yang hanya dilempar ke Netflixx dan tidak tayang di bioskop tanah air.

1 comment:

  1. Kalo masih belum jelas konfliknya, bingung juga dimana letak menariknya. Petualangan mengeksplorasi area x saja, atau kemudian ada kejar-kejaran atau bagaimana.. ini yang akhirnya membuat minat membaca bukunya lemah hehehe. Saya sendiri belum membacanya.

    ReplyDelete