Judul: The Storied Life of A.J
Fikry
Pengarang: Gabrielle Zevin
Penerjemah: Eka Budiarti
Penyunting: Rosi L. Simamora
Sampul: Martin Dima
Cetakan: Pertama, Oktober 2017
Tebal: 277 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Bahkan seorang kutu buku pun butuh teman manusia karena
tidak selamanya buku-buku bisa menjadi teman. Faktanya, dalam banyak sekali
kesempatan, kutu buku masih tetap membutuhkan keberadaan manusia lainnya.
Mungkin, inilah yang hendak disampaikan novel The Storied Life of A.J. Fikry. Tidak seperti buku saudaranya
‘Perahu Kertas’ yang idealis kebablasan
itu, novel karya Gabriele Zevin ini bisa dibilang lebih realis. Ia tidak hanya
mengangkat obsesi seorang pecinta buku yang kebetulan juga pemilik sebuah toko
buku. Lebih dari itu, novel ini seolah membawa para kutu buku kepada kenyataan.
Dia membenturkan dunia seorang kutu buku nan introvert dengan dunia nyata di
luar yang serba-ekstrovert dan terjangkit gejala kepo akut. Memang benar, menjadi soerang kutu buku bukanlah sebuah
dosa, begitu juga menjadi sendirian juga bukan dosa. Tetapi, dunia nyata
faktanya belum seramah itu kepada mereka yang sendirian. Ada orang-orang lain
di luar lingkaran yang menuntut untuk diperhatikan, tetangga-tetangga baik tapi
terlalu ingin tahu, serta terutama orang-orang
yang kita mengharapkan uangnya. A.J Fikry belajar semua itu melalui cara yang
menakjubkan.
“... dengan seluruh
waktu yang kugunakan untuk membaca, aku belajar cara menulis buku dengan lebih
menarik.” (hlm. 123)
Sebelum kedatangan Maya, hidup Fikry tidak ubahnya dengan
timbunan para kutu buku lain: berantakan. Selain jadi judes pada semua orang
(termasuk pelanggannya), pria 39 tahun itu juga terjerat dalam konsumsi alkohol
serta makan makanan sampah. Kehidupannya menjadi sedemikian apatis sejak
kematian istrinya. Satu-satunya yang tidak berubah dari dirinya mungkin
kecintaannya kepada buku. Semua itu berubah ketika pada suatu malam, si Maya
ini tiba-tiba digeletakkan begitu saja di dalam toko bukunya. Maya adalah
balita berusia dua tahun yang ceriwisnya minta ampun. Bersama Maya si Balita,
disertakan juga selembar kertas bertuliskan permintaan dari sang ibu agar bayi
itu dibesarkan dalam lingkungan toko buku. Dengan kata lain, Fikry harus
mengadopsi balita itu. Bayangkan betapa senewen sekaligus bingungnya tokoh ini.
Seorang lajang dengan kehidupan amburadul tapi diserahi amanah untuk
membesarkan seorang balita. Sepertinya, sang ibu keliru meletakkan bayinya,
tetapi ternyata tidak. Tuhan Maha Misterius, dan kadang lewat hal-hal tak masuk
akal seperti inilah Dia mengubah kehidupan hambaNya. A.J. Fikry termasuk yang
mendapatkan anugrah itu.
“Maya, kita adalah
yang kita cintai. Kita menjadi diri kita karena kita mencintai.” (hlm. 265)
Keberadaan Maya seperti menggembalikan Fikry pada fitrahnya
sebagai manusia. Balita itu benar-benar membawa perubahan besar kepada si
pemilik toko, juga kepada orang-orang di pulau Alice—pulau kecil tempat seluruh
cerita ini berlangsung. Jika sebelumnya Island Book (toko buku milik Fikry)
menjadi tempat yang dihindari, kini tempat itu menjadi ajang ngerumpi ibu-ibu
yang insting penasarannya langsung tergerak saat ada gosip hangat: bayi yang
diasuh lajang serampangan, misalnya. Maya juga mendekatkan Fikry dengan
orang-orang lama yang selama ini jarang mendapatkan perhatiannya. Melalui Maya,
Fikry belajar untuk menjadi manusia yang tidak kaku, untuk menjadi kutu buku
yang masih mempertahankan nilai-nilai manusiawinya. Lebih-lebih lagi, Maya
mengajarkan kepada pria itu—juga kita semua—bahwa menjadi seorang kutu buku
tidak kemudian berarti menghilangkan orang-orang terdekat dan menggantinya
dengan buku-buku kesayangan. Bahwa seorang kutu buku, sebagaimana pelatih sepak
bola, atau musisi, atau peneliti, dan semua bidang lainnya di dunia, masihlah
seorang manusia dan mereka juga membutuhkan manusia yang lainnya.
“Terkadang buku-buku
tidak menemukan kita di saat yang tepat.” (hlm. 101)
Inilah buku tentang buku yang lembut, yang lebih menekankan
pada nilai-nilai tentang menjadi manusia ketimbang pada idealisme seorang pecinta
buku. Bahwa sebuah buku bisa menjadi menarik ketika dia diantarkan ke tangan
pembaca yang tepat, juga dibuktikan di buku ini. Juga, bahwa sebuah toko buku
adalah sebuah tempat yang menyenangkan ketika ia tidak menyepi dari sudut
perhatian masyarakat. Sebuah toko buku seharusnya menjadi bagian dari
masyarakat agar masyarakat bisa semakin banyak membaca buku, dan bukannya
mencoba ‘berbeda’ dengan idealismenya sehingga membuat toko buku semakin
menjauh dari masyarakat. Kita menantikan, saat-saat ketika toko buku menjadi
sama pentingnya dengan minimarket 24 jam, dengan pemandangan para pengunjung
yang antre membeli buku terbaru di kasir pembayaran. Atau jika semua itu
terlalu muluk, cukuplah sebuah toko buku bisa menjadi tempat yang hangat bagi
setiap pengunjungnya (entah mereka membeli atau tidak), tempat mengobrol yang
menyenangkan (meski tidak selalu tentang buku), dan dimiliki oleh para kutubuku
sejati yang tidak melupakan kemanusiaan dalam dirinya: seperti AJ Fikry, Maya,
Amelia, Lambiase, dan semua karakter hebat dalam buku ini.
“Toko buku menarik jenis orang yang tepat.
Orang-orang baik seperti A.J dan Amelia. Dan aku senang mengobrol tentang buku.
Aku menyukai kertas. Aku suka rasanya, dan aku suka rasa buku terselip di saku
belakangku. Aku juga suka aroma buku baru.” (hlm 269)
Selain unsur-unsur ‘kutu buku juga manusia’ di atas, buku
ini juga tidak melewatkan membahas semua pernak-pernik dunia buku. Berbagai hal
tentang buku yang akan disukai seorang pembaca buku bisa kita temukan di
dalamnya, termasuk berbagai jenis pekerjaan yang terkait dunia buku. Ada
penulis buku, editor buku, dan tentu saja penjual dan pembeli buku. Pembaca
juga bisa sedikit banyak merasakan serunya bekerja di dunia buku, seperti
bagaimana penulis menulis karyanya, bagaimana penulis mengamati laris-tidaknya
karyanya di pasaran, cara seorang agen menawarkan bukunya, juga tentang serunya
memiliki klub buku. Sebagai penutup, semua itu tidak akan lengkap tanpa adanya
sebuah toko buku tempat semua hal menakjubkan di buku ini bermula. Seperti
sebuah kalimat teramat indah yang tertera dalam novel ini: Sebuah tempat kurang sempurna tanpa toko buku.” (hlm. 212)
Sayangnya, di kota saya masih belum ada perubahan konsep toko buku agar menjadi tempat yang 'anak muda' dan seru. Gambarannya masih kolot. Nah, saya tidak tau di buku ini pun ada detail toko buku yang bagus dan kekinian itu seperti apa. Apakah harus ada cafenya, atau desain gedung yang penuh gairah muda, atau pilihan bukunya yang spesifik?
ReplyDeleteBelum membaca padahal tinggal download aja di Gramedia Digital. Hanya saja di sana terlalu banyak buku baru yang pengen dibaca, akhirnya ketinggalan lagi dan lagi...
Kalau menurutku, tergantung pemilik toko bukunya ingin membuatnya menjadi seperti apa. Karena toko buku itu seperti rumah impian. Jadi, suka-suka pemiliknya ingin membuatnya seperti apa.. :)
DeleteAwalnya, aku juga lihat dari Gramedia Digital karena kelihatannya seru. Akhirnya, beli fisiknya :DD
Kalau tema buku di dalam buku.
DeleteLebih suka, Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta.
Latarnya itu bikin seger mata dan hati hahahaha
Sepenjuru mata memandang isinya hutan semua hahahaha
Coba dibaca aja deh, nggak nyesel kok. Pendekatannya mungkin lebih ke toko yang sangat memanusiakan para pembelinya sampai ada klub buku rutinnya segala.
Deleteendangcippy iya aku juga seneng sampulnya ijo seger banget
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete