Judul: Mencari Rumi
Pengarang:Roger Housden
Penerjemah: Jimmi Firdaus
Sampul: Ferdika
Cetakan: Pertama, Januari 2018
Tebal:
Penerbit: Basabasi
Penerjemah: Jimmi Firdaus
Sampul: Ferdika
Cetakan: Pertama, Januari 2018
Tebal:
Penerbit: Basabasi
Memang benar kalau ada yang bilang Rumi tidak lagi hanya
menjadi milik orang Islam. Rumi dan karya-karyanya telah menginspirasi
orang-orang dari seluruh penjuru dunia, dari berbagai ras atau agama, juga
tempat tinggal. Bahasa cinta memang tidak mengenal sekat dan batas, dan
syair-syair cinta Rumi benar-benar membuktikan hal ini. Georgiou, seorang
pelukis muda Yunani yang berdiam di Florence, Italia, hanyalah salah satu dari
ribuan atau bahkan puluhan ribu orang yang tersentuh oleh syair-syair Rumi.
Sesuai judulnya, Mencari Rumi menggambarkan
perjalanan panjang si pelukis muda untuk mencari sang sufi agung di negeri
asing. Berawal dari kota Florensia yang indah di Italia, Georgiou tidak bisa
menemukan sesuatu yang hilang dalam kehidupannya.
Pemuda itu tinggal di kota terindah di Eropa, memiliki
pekerjaan yang disukai sekaligus menjamin kehidupannya, serta dia dapat bekerja
sekaligus mencari pahala. Georgiou ini pelukis orang-orang suci dalam ajaran
Katholik ngomong-ngomong. Semua keindahan duniawi itu ternyata belum mampu
menerbitkan kepuasan batin dalam diri si pemuda. “Betatapun indahnya dunia, tak ada satu pun yang mampu mengisi semua kehampaan
ini,” keluhnya. Hatinya tersentil
ketika temannya membacakan satu petikan dari syair karya Rumi. Nama yang asing,
yang baru pertama kali didengarnya. Tetapi dari syair yang dibacakan Andros,
temannya, pemuda itu mulai menemukan tanda-tanda bahwa kepada Rumilah hatinya
akan menemukan jawaban dari segala pertanyaannya. “Keinginanmu tidak akan selalu bisa diwujudkan sesuai rencana. Yang bisa
kau perbuat hanyalah mengikuti suara hatimu,” kata Andros.
Maka dimulailah perjalanan Georgiou menuju makam sang sufi
agung di kota Konya, Turki. Ini bukan perjalanan yang mudah tentu saja. Di samping masalah transportasi yang belum semulus
sekarang (setting novel ini kemungkinan adalah pertengahan abad ke-20,
masa-masa setelah Perang Dunia Kedua), juga karena dia harus mengunjungi negeri
yang menjadi musuhnya. Selama ratusan tahun, Imperium Turki Utsmani memang
menguasai semenanjung Yunani sehingga bisa dibayangkan betapa berat keputusan dan
perjalanan Georgiou. Tetapi, hati selalu menjadi bahan bakar suci yang
menakjubkan. Demi “bertemu” Rumi, pemuda itu memantapkan hati untuk tetap
berangkat menuju Konya, menuju jawaban atas semua pertanyaannya. Perjalanan
menuju Konya inilah salah satu paling menarik di buku ini. Saat Georgiou di Yunani,
dia bertemu dengan para biarawan Katolik ortodoks yang luar biasa ketaatan dan
ketajaman batinnya.
“Aku juga tahu, ada jalan-jalan lain. Saudara-saudara kita
yang beragama Islam, terutama para darwis, tidak pernah mengasingkan diri dari
dunia nyata, namun tak diragukan lagi bahwa di anatar mereka banyak yang
menjadi orang suci layaknya di gereja kita.” (hlm 61)
Georgiou sepertinya hendak menanyakan arti jalan cinta. Bagi
kaum sufi dan biarawan katholik, cinta tertinggi tentu saja cinta menuju sang
Khalik. Hanya saja, jalan menuju Cinta tertinggi itu mungkin berbeda-beda.
Georgiou ini kayaknya bimbang mau ikutan yang mana. Haruskah dia mengasingkan
diri dari dunia sebagaimana para biarawan untuk bisa menggapai cintaNya,
ataukah mengikuti jalan para sufi yang tetap mampu meraih Cinta tanpa harus
meninggalkan sifat-sifat kemanusiaannya (menikah, bekerja, berkeluarga, dan
sebagainya). Pada akhirnya, dia sendiri yang harus menemukan jalan cintanya.
Agak tertipu sama covernya. Awalnya mengira ini buku
"Rumi" lain tentang karya-karya Rumi. Ternyata, ya memang buku
tentang Rumi sih tetapi ini novel, ditulis pengarang Barat dengan corak tulisan
inspiratif-perenungan ala Coelho. Sambil membaca buku ini, saya tak henti meng-googling
tempat-tempat indah yang dikunjungi Georgiou dalam perjalanannya mencari Rumi. Satu
hal yang menarik dari buku ini, Mencari
Rumi tidak kemudian membuat Georgiou masuk Islam, atau berubah jadi
biarawan. Ia menemukan jalan cinta yang dia banget. Lewat buku ini, penulis
menunjukkan betapa jalan cinta itu begitu beraneka ragam dan setiap insan bisa
menemukannya ketika dia berupaya. Saya juga menemukan jawaban mengapa orang
baik itu auranya begitu kerasa.
“Sebagian orang, entah
karena sopan atau baik hati, kehadirannya lebih terasa dibanding yang lain. Dia
menyeruak keluar dari dirinya sendiri bagai segulung gelombang dan memengaruhi
orang-orang yang peka terhadapnya. Mereka merasakan ketenangan berkat kehadiran
orang itu.” (hlm. 118)
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete