Search This Blog

Wednesday, January 24, 2018

Belajar menghormati Alam lewat Jejak

Judul: Jejak
Penulis:  Alishba
Penerbit:  Clover
Terbit :  2017
Tebal:  176 halaman
ISBN:  9786024286996
Dibaca via Scoop Premium
 

36740172



Saya selalu tertarik dengan buku yang berkisah tentang pendakian gunung. Mungkin, ini untuk mengakomodasi impian saya yang sampai saat ini belum sempat mendaki gunung selain Gunung Api Purba Nglangeran yang belum bisa disebut sebagai gunung, lebih tepatnya bukit wkwkwk. Naik gunung bagi kawan-kawan yang pernah ”muncak” adalah sebuah pencapaian istimewa. Beda-beda tujuan orang naik gunung, mulai dari merayakan suatu pencapaian, melihat sunrise, atau mencari tempat tenang untuk merenung. Apa pun itu, gunung memang mampu memberikan suasana purba di era serba modern seperti saat ini. Saat muncak, kita disadarkan kembali tentang fananya kita sebagai manusia. Betapa sesungguhnya kita teramat kecil di hadapan alam raya yang sangat luas. Betapa sejatinya kita tidak pernah bisa lepas dari karunia Tuhan yang terus-menerus tercurah sedemikian banyak sehingga kita kerap alpa mensyukurinya. Mungkin, inilah yang mendorong para pendaki tangguh di luar sana.


Novel Jejak menyajikan apa yang saya inginkan dari sebuah novel tentang pendakian gunung: misteri dan persahabatan yang kental. Tidak seperti Penunggu Puncak Ancala  yang dominan serem itu, novel ini masih menyisakan pelajaran kehidupan yang walau terasa agak menggurui tetapi memang benar adanya. Perjalanan menuju puncak gunung sejak dulu memang bukan perjalanan biasa. Para linuwih dan orang-orang zaman dulu kerap mendaki gunung untuk mencari wangsit atau tujuan-tujuan misterius lainnya. Zaman berubah, orang kini mungkin naik ke puncak lebih sebagai hiburan atau agar bisa berpose dengan latar matahari terbit di atas awan. Tetapi, perlu diingat bahwa gunung tetaplah gunung. Dia telah berada di sana jauh sebelum kita selama ribuan bahkan ratusan ribu tahun lengkap dengan segala penghuninya. Karenanya, selalu dianjurkan untuk bersikap sopan sewaktu mendaki, menjaga ucapan, juga perbuatan. Di gunung, tindakan yang keliru bisa berakibat sangat fatal.

Seperti yang dialami oleh Nopeng dan Andre saat mendaki puncak Gunung Marapi di Sumatra Barat. Rombongan itu terdiri dari lima orang anak SMU yang tengah semangat-semangatnya mencoba hal-hal baru. Mereka adalah Uncu, Firman, Iwan, Nopeng, dan Andre. Biasalah anak muda, nggak di kota nggak di gunung pasti ada-ada saja kelakuan nylenehnya. Di antara lima sekawan ini, Nopeng dan Andre tampaknya yang paling usil. Sejak awla pendakian, dua anak ini terus saja berbuat ulah padahal sudah berkali-kali diingatkan olej Uncu yang lebih senior. Puncaknya, saat rombongan hampir mencapai puncak, Andra dan Nopeng yang tidak sabaran memutuskan untuk naik ke puncak duluan, meninggalkan ketiga kawannya di pos pendakian terakhir yang sedang mendirikan tenda. Inilah awal dari malapetaka yang mungkin akan mengubah dratis kehidupan kedua remaja bandel tersebut.

Berawal dari keisengan mereka memetiki bunga edelweis (bunga ini dilindungi dan di kalangan para pendaki sangat diharamkan memetik bunga langka ini) di Taman Edelweis, tiba-tiba turun kabut mendadak. Keduanya terlalu asyik memetik bunga sampai ada sesosok pria misterius mengingatkan mereka untuk segera turun karena kabut sudah mulai muncul. Anehnya, pria tersebut bisa bergerak cepat sekali, tahu-tahu sudah jauh di bawah dan meninggalkan kedua remaja tersebut kebingungan di tengah kepungan kabut. Nekat menembus tabir kabut, keduanya malah nyasar dan tanpasadar mengambil jalur pendakian maut yang sudah ditutup: jalur melewati Hutan Larangan. Selanjutnya, pembaca akan disuguhi perjalanan keduanya untuk meminta pertolongan, sebuah perjalanan hidup mati dengan banyak sekali hal-hal misterius yang tak masuk akal.

Misteri novel Jejak ini mirip dengan yang diceritakan kawan saya yang juga seorang pendaki gunung. Dari berbagai cerita kawan-kawannya maupun yang dialaminya sendiri, mendaki gunung memangharus siap dengan misteri yang menanti. Salah satu mitosnya adalah saat mendaki jumlah rombongan sebisa mungkin genap. Konon, jika jumlah rombongannya ganjil maka akan ada peserta rombongan terakhir yang tak kasat mata ikut mendaki. Misteri kedua adalah seputar penampakan-penampakan ganjil yang sering dilihat para pendaki gunung, dan ini juga yang dilihat oleh Andre dan Nopeng saat mereka tersesat di gunung. Dimulai dari penampakan sosok tinggi besar dan gelap, lalu bola-bola cahaya aneh beterbangan, bunyi-bunyi pesta padahal di tengah hutan, sosok-sosok asing yang diam tak bersuara, serta rumah-rumah gaib yang semakin didekati ternyata semakin menjauh. Kisah di buku ini kembali mengingatkan kita bahwa gunung bukan lah tempat untuk bermain-main. Sebagai pengunjung, kita sepatutnya menjaga adab dan tata krama saat sedang mendaki.  Pengalaman Nopeng dan Andre di buku ini semoga dapat menjadi pengingat untuk pembaca bahwa kita hidup saling berdampingan bersama berbagai mahkluk Allah lain di alam raya ini.
 



6 comments:

  1. Siang kak, kak maaf nih to the point, saya mau minta review buku saya ke kakak dong, saya boleh minta nomer WA nya gak kak? :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Silakan bisa lewat email saja ya: yuliantodion@gmail.com

      Delete
  2. Siang kak, kak maaf nih to the point, saya mau minta review buku saya ke kakak dong, saya boleh minta nomer WA nya gak kak? :)

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Terimakasih banyak, sangat membantu tugas saya👍👍👍😍

    ReplyDelete
  5. Terima kasih atas reviewnya. Salam.

    ReplyDelete