Judul: Jejak
Penulis: Alishba
Penerbit: Clover
Terbit : 2017
Tebal: 176 halaman
ISBN: 9786024286996
Penulis: Alishba
Penerbit: Clover
Terbit : 2017
Tebal: 176 halaman
ISBN: 9786024286996
Dibaca via Scoop Premium
Saya selalu tertarik dengan buku yang berkisah tentang
pendakian gunung. Mungkin, ini untuk mengakomodasi impian saya yang sampai saat
ini belum sempat mendaki gunung selain Gunung Api Purba Nglangeran yang belum
bisa disebut sebagai gunung, lebih tepatnya bukit wkwkwk. Naik gunung bagi
kawan-kawan yang pernah ”muncak” adalah sebuah pencapaian istimewa. Beda-beda
tujuan orang naik gunung, mulai dari merayakan suatu pencapaian, melihat
sunrise, atau mencari tempat tenang untuk merenung. Apa pun itu, gunung memang mampu
memberikan suasana purba di era serba modern seperti saat ini. Saat muncak,
kita disadarkan kembali tentang fananya kita sebagai manusia. Betapa
sesungguhnya kita teramat kecil di hadapan alam raya yang sangat luas. Betapa sejatinya
kita tidak pernah bisa lepas dari karunia Tuhan yang terus-menerus tercurah
sedemikian banyak sehingga kita kerap alpa mensyukurinya. Mungkin, inilah yang
mendorong para pendaki tangguh di luar sana.
Novel Jejak menyajikan
apa yang saya inginkan dari sebuah novel tentang pendakian gunung: misteri dan
persahabatan yang kental. Tidak seperti Penunggu
Puncak Ancala yang dominan serem itu, novel ini masih
menyisakan pelajaran kehidupan yang walau terasa agak menggurui tetapi memang
benar adanya. Perjalanan menuju puncak gunung sejak dulu memang bukan
perjalanan biasa. Para linuwih dan orang-orang zaman dulu kerap mendaki gunung
untuk mencari wangsit atau tujuan-tujuan misterius lainnya. Zaman berubah,
orang kini mungkin naik ke puncak lebih sebagai hiburan atau agar bisa berpose
dengan latar matahari terbit di atas awan. Tetapi, perlu diingat bahwa gunung
tetaplah gunung. Dia telah berada di sana jauh sebelum kita selama ribuan
bahkan ratusan ribu tahun lengkap dengan segala penghuninya. Karenanya, selalu
dianjurkan untuk bersikap sopan sewaktu mendaki, menjaga ucapan, juga
perbuatan. Di gunung, tindakan yang keliru bisa berakibat sangat fatal.
Seperti yang dialami oleh Nopeng dan Andre saat mendaki
puncak Gunung Marapi di Sumatra Barat. Rombongan itu terdiri dari lima orang
anak SMU yang tengah semangat-semangatnya mencoba hal-hal baru. Mereka adalah Uncu,
Firman, Iwan, Nopeng, dan Andre. Biasalah anak muda, nggak di kota nggak
di gunung pasti ada-ada saja kelakuan nylenehnya. Di antara lima sekawan ini, Nopeng
dan Andre tampaknya yang paling usil. Sejak awla pendakian, dua anak ini terus
saja berbuat ulah padahal sudah berkali-kali diingatkan olej Uncu yang lebih
senior. Puncaknya, saat rombongan hampir mencapai puncak, Andra dan Nopeng yang
tidak sabaran memutuskan untuk naik ke puncak duluan, meninggalkan ketiga kawannya
di pos pendakian terakhir yang sedang mendirikan tenda. Inilah awal dari
malapetaka yang mungkin akan mengubah dratis kehidupan kedua remaja bandel
tersebut.
Berawal dari keisengan mereka memetiki bunga edelweis (bunga
ini dilindungi dan di kalangan para pendaki sangat diharamkan memetik bunga
langka ini) di Taman Edelweis, tiba-tiba turun kabut mendadak. Keduanya terlalu
asyik memetik bunga sampai ada sesosok pria misterius mengingatkan mereka untuk
segera turun karena kabut sudah mulai muncul. Anehnya, pria tersebut bisa
bergerak cepat sekali, tahu-tahu sudah jauh di bawah dan meninggalkan kedua
remaja tersebut kebingungan di tengah kepungan kabut. Nekat menembus tabir
kabut, keduanya malah nyasar dan tanpasadar mengambil jalur pendakian maut yang
sudah ditutup: jalur melewati Hutan Larangan. Selanjutnya, pembaca akan
disuguhi perjalanan keduanya untuk meminta pertolongan, sebuah perjalanan hidup
mati dengan banyak sekali hal-hal misterius yang tak masuk akal.
Misteri novel Jejak ini
mirip dengan yang diceritakan kawan saya yang juga seorang pendaki gunung. Dari
berbagai cerita kawan-kawannya maupun yang dialaminya sendiri, mendaki gunung
memangharus siap dengan misteri yang menanti. Salah satu mitosnya adalah saat
mendaki jumlah rombongan sebisa mungkin genap. Konon, jika jumlah rombongannya
ganjil maka akan ada peserta rombongan terakhir yang tak kasat mata ikut
mendaki. Misteri kedua adalah seputar penampakan-penampakan ganjil yang sering
dilihat para pendaki gunung, dan ini juga yang dilihat oleh Andre dan Nopeng
saat mereka tersesat di gunung. Dimulai dari penampakan sosok tinggi besar dan
gelap, lalu bola-bola cahaya aneh beterbangan, bunyi-bunyi pesta padahal di
tengah hutan, sosok-sosok asing yang diam tak bersuara, serta rumah-rumah gaib
yang semakin didekati ternyata semakin menjauh. Kisah di buku ini kembali
mengingatkan kita bahwa gunung bukan lah tempat untuk bermain-main. Sebagai
pengunjung, kita sepatutnya menjaga adab dan tata krama saat sedang mendaki. Pengalaman Nopeng dan Andre di buku ini semoga
dapat menjadi pengingat untuk pembaca bahwa kita hidup saling berdampingan bersama
berbagai mahkluk Allah lain di alam raya ini.
Siang kak, kak maaf nih to the point, saya mau minta review buku saya ke kakak dong, saya boleh minta nomer WA nya gak kak? :)
ReplyDeleteSilakan bisa lewat email saja ya: yuliantodion@gmail.com
DeleteSiang kak, kak maaf nih to the point, saya mau minta review buku saya ke kakak dong, saya boleh minta nomer WA nya gak kak? :)
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerimakasih banyak, sangat membantu tugas saya👍👍👍😍
ReplyDeleteTerima kasih atas reviewnya. Salam.
ReplyDelete