Judul: The Monstrumologist
Pengarang: Rick Yancey
Alih bahasa: Nadya Andwiani
Penyunting: Bayu Anangga
Sampul: Olvyanda Ariesta
Tebal: 496 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Baca via Scoop
Referensi tentang monster blemmyae pertama kali saya jumpai dalam The Dark Phropechy-nya Rick Riordan. Dalam versi kocaknya, Riordan menggambarkan
blemmyae sebagai manusia tanpa kepala
dengan mata dan mulut di dada, serta sangat sopan (mau membunuh pun mereka
minta izin dulu). Samar-samar, saya juga pernah melihat gambar monster ini di
salah satu buku tentang penjelajahan samudra selepas masa Abad Pertengahan.
Kalau tidak salah, penggambar peta kala itu menggambarkan sosok mahkluk ini di satu
kawasan pedalaman di Afrika. Tampaknya
spesies ini aneh secara fisiologis, dengan tangan terlampau panjang yang
menjulur sampai ke mata kaki, sehingga lebih layak untuk ditertawakan. Tetapi, berbagai
referensi dari Abad Pertengahan menyebut bahwa blemmyae adalah binatang yang ganas, dan juga kanibal. Mereka dijuluki
sebagai pemakan manusia. Rick Yancey semakin memperkuatnya dengan menambahkan
detail yang mengerikan: lengan dengan otot tendon perkasa, kaki yang mampu
melompat hingga 12 meter, cakar lengkung setajam baja sepanjang 7 cm, serta—yang paling
mengerikan—mulut menyerupai hiu dengan ribuan gigi taring yang mampu mengerkah
mangsanya dengan kekuatan tekanan 2 ton.
Monster
inilah yang harus dihadapi oleh William James Henry, seorang yatim-piatu yang harus
tinggal bersama seorang pria nyentrik pada sekitar akhir abad ke-19 di New
England, Amerika Serikat. Pellinore
Warthrop adalah seorang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai doktor dalam
bidang permonsteran. Henry menjulukinya sebagai sang Monstrumologist. Objek
ketertarikan pria itu adalah mahkluk-mahkluk yang tidak umum, sedemikian tidak
umumnya sehingga orang-orang kebanyakan menganggapnya sebagai mitos, misalnya
vampir dan manusia serigala. Henry sendiri awalnya skeptis pada minat sang Doktor,
tetapi paket yang diantarkan oleh seorang perampok makam ke rumah sang Doktor
pada suatu malam langsung menyingkirkan rasa skeptis tersebut. Dia benar-benar
melihat sendiri jasad sesosok blemmyae yang
menempel pada jenasah seorang gadis yang mati muda. Separuh leher dari gadis
itu koyak dimakan si blemmyae, yang
ironisnya ikut mati karena tercekik kalung mutiara yang dikenakan si gadis.
Fakta berupa sosok blemmyae yang
benar-benar ada dan bisa diraba ini membuktikan betapa apa yang dipercayai sang
Monstrumologist memang benar-benar ada.
"Berbohong adalah jenis lawakan paling buruk." (hlm 45)
"Berbohong adalah jenis lawakan paling buruk." (hlm 45)
Blemmyae, yang kemudian disebut anthropophagi oleh sang dokter, adalah
mahkluk berdaging yang benar-benar ada. Dalam pandangan sang doktor, anthropophagi ini masih satu saudara
dengan Homo sapiens hanya saja
keduanya diciptakan sebagai pemangsa dan yang dimangsa. Evolusi menganugerahi Homo sapiens dengan kecerdasan otak,
yang kemudian menjadikannya maju dan menguasai daratan Bumi. Spesies anthropophagi yang terdesak kemudian
mundur ke pedalaman-pedalaman hutan di Afrika, mengembangkan pertahanan diri serupa
binatang buas lainnya. Otot lengan dan tungkainya sekuat macan kumbang—lengkap dengan
cakar sekeras baja, matanya seawas burung malam, dan mulut yang lebih mengerikan
ketimbang mulut hiu. Bisa dibilang, anthropophagi
bukanlah mahkluk mitologi, melainkan spesies binatang primata yang buas,
sebagaimana singa atau harimau. Kecuali itu, anthropophagi dewasa memiliki tinggi 2 meter dan mampu melompat
sejauh 12 meter sekali lompat. Bayangkan jika ada sekawanan mahkluk seperti ini
di tengah-tengah kawasan padat penduduk di Dunia Baru.
Bukti
yang dibawakan si perampok makam hanyalah awal dari kengerian yang akan melanda
New Jerusalem, kota tempat sang monstrumologis tinggal. Belum juga ketemu jawaban
tentang mengapa mahkluk buas dari Afrika itu bisa sampai ke Amerika, korban
keburu berjatuhan. Dari yang awalnya hanya memakan mayat, kawanan anthropophagi melakukan serangan yang
menyasar manusia hidup. Satu keluarga tak bersalah habis menjadi korban
keganasan kawanan anthropophagi misterius
ini. Sebagai sosok yang merasa paling berkompeten dalam bidang ini, sang
Monstrumologist terpaksa—sebenarnya dengan senang hati—turun tangan. Tetapi, anthropophagi terbukti terlalu ganas
untuk ditangani sang Monstrumologist sendirian. Bantuan terpaksa didatangkan dengan
memanggil seorang pemburu berpengalaman dari Inggris. Perburuan pun dimulai.
Kali ini, sang pemangsa akan menjadi pihak yang diburu, ataukah malah
sebaliknya?
Hal
paling saya sukai dari novel ini adalah karakter-karakternya yang nyentrik
habis. Mulai dari sang Doktor, lalu sang Pemburu Bayaran, hingga Henry sendiri—semua
karakter utama di buku ini memiliki karakter khasnya masing-masing. Tipikalitas
karakter ini konsisten terus sepanjang berjalannya cerita yang mencapai 500
halaman (dan saya membacanya via Scoop dengan layar telepon genggam saya yang
hanya 4,5 inci—kepala saya langsung pening begitu selesai maraton membaca novel
ini). Karakter sang Doktor yang nyentrik sedikit mengingatkan saya pada Holmes
yang angkuh dan soliter, sementara sosok
si pemburu sedikit banyak menyerupai Indiana Jones dalam versi yang lebih
serampangan. Setting abad ke-19 di buku ini juga dapat banget: ya muramnya, ya
sepinya, ya masyarakatnya. Terakhir, tentu saja spesies anthropophagi yang oleh penulis digambarkan dengan pendekatan scientifik
alias ilmiah meskipun pada kenyataannya anthropophagi
adalah mahkluk mitologi. Pasti dibutuhkan referensi dalam jumlah berlimpah
untuk bisa membangun sosok anthropophagi yang
sedemikian meyakinkan ganasnya seperti di buku ini.
"Seringkali, monster yang menjejali benak hanya terlahir dari imajinasi kita yang dipenuhi rasa takut." (hlm. 104)
"Seringkali, monster yang menjejali benak hanya terlahir dari imajinasi kita yang dipenuhi rasa takut." (hlm. 104)
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete