Pengarang: Edi AH Iyubenu
Cetakan: Pertama, November 2017
Tebal: 175 hlm
Sampul: Suku Tangan
Penerbit: Basabasi
Membaca Pelisaurus sepertinya
kurang lengkap jika tidak sekalian membaca Sunan
Ngeloco. Bisa dibilang, dua buku ini ibarat dua cerita yang saling
melengkapi, sebagaimana Trijoko yang tak lengkap tanpa Sundari serta kamu yang
tak lengkap tanpa timbunan buku yang belum terbaca. Dari segi judul, dua buku
ini lumayan sama-sama seru eh saru karena
mengandung dua kata yang intim dengan para laki-laki. Terutama untuk para
pembaca yang besar di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) atau setidaknya
memahami bahasa Jawa, dua buku ini akan mampu memunculkan gelak tawa serta
sindiran yang lebih heboh dan menggena ketimbang bila dibaca oleh pembaca
dari luar suku Jawa. Banyak sindirian, istilah slang, dan terutama pisuhan (umpatan) yang Jogja-Solo banget
di dua buku ini. Lucunya sangat kontekstual alias sangat tergantung pada
situasi dan kondisi ketika cerita itu berlangsung, begitu kalau kata orang
pinteran. Walaupun begitu, mereka yang pernah kuliah atau sekolah di Jogja-Solo
sedikit banyak pasti juga akan turut mesem-mesem. Jadi, sebagai peringatan
pertama, lucunya buku ini lumayan Jawa banget jadi buat pembaca non-Jawa,
setidaknya bisa konsultasi ke temennya yang Jawa atau pernah di Jawa.
Selain serba-serbi urusan pribadi cowok lajang, dalam novel
ini disambungkan juga dengan sejumlah cerpen di buku Pelisaurus. Buat yang belum baca Pelisaurus mungkin sedikit bingung ketika menjumpai sepotong
fragmen cerita yang tiba-tiba muncul. Di antaranya, kisah misteri tentang poni
kirik serta petualangan memakan sate di angkringan. Sejumlah pisuhan yang bernada serupa juga muncul
di kedua buku ini. Awalnya memang bikin ketawa, tetapi kalau kebanyakan kok
malah makin tawar ya, entah. Pisuhan macam
‘telek bebek’ sempat hits saat saya remaja dulu, seiring jalannya waktu ingatan
tentangnya menjadi samar-samar. Kehadirannya kembali dalam buku ini sedikit
mampu me-refresh ingatan, dan mungkin juga ingatan para cowok-cowok lain yang
membaca buku ini. Ini sisi positif sekaligus bisa menjadi kekurangan buku ini,
karena menjadikannya sangat cowok-sentris sehingga tingkat penghayatannya akan
berbeda antara pembaca cowok dan pembaca cewek. Pembaca cowok, menurut saya,
akan lebih bisa menghayatinya meskipun tidak sedikit pembaca cewek berpikiran
terbuka yang akan bisa menikmati buku ini.
Keterbukaan dan kedewasaan pikiran, inilah yang oleh penulis
harapkan kepada mereka yang ingin membaca novel ini. Karena bukan hanya kata-kata
vulgar terbuka lebar di Sunan Ngeloco,
tetapi juga cara penulis mengekspresikan idenya yang terhitung liar. Memang,
akan terasa nanggung—atau malah mungkin rugi—jika novel dengan judul seberani
ini memiliki isi cerita yang serba-dibatasi, entah karena sungkan atau karena saru. Justru malah yang agak-agak keluar
garis lapangan beginilah yang diharapkan pembaca akan dijumpai pada novel
berjudul berani gini. Istilahnya, pembaca akan ngomong: “Tidak rugi saya
berpikiran ngeres saat membaca judul novel ini, karena isinya memang lumayan ngeres.” Saya rekomendasikan novel ini untuk para
pembaca yang—mengutip penulisnya—sudah dewasa secara pemikiran dan terbuka
untuk jujur kepada diri sendiri. Sesekali, masalah kelamin memang harus
dilucukan, agar—mengutip Tia Setiadi
atau Joni Ariadinata *lupa*—kita tidak menjadi budak darinya.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletekamagra
ReplyDelete