Pengarang: Rio Johan
Penyunting: Christina M. udiani
Sampil: Iqbal Asaputra
Cetakan: Pertama, Oktober 2017
Tebal: 202 hlm
Penerbit: KPG
Baca via Scoop
"Oh Firaunku, tapi hamba tak bisa menulis. hamba tak akan pernah bisa abadi sebagaimana yang bisa menulis." (hlm. 91)
Jika dibandingkan dengan buku pertama Rio, novel Ibu Susu ini sangat jauh berbeda. Bukan
hanya formatnya yang novel (buku sebelumnya adalah kumcer), Ibu Susu merupakan fiksi sejarah yang
mengambil setting di Mesir Kuno, tepatnya pada era kekuasaan Firaun Theb.
Pembaca mungkin tidak akan menemukan cerita-cerita vulgar-imajinatif yang
beraneka tipe seperti di buku pertama penulis, tetapi bisa jadi malah terpukau
oleh aspek lain yang dibawakan penulis: riset.Harus diakui, kekuatan utama
novel ini ada pada detail tentang Mesir kunonya yang sangat melimpah. Tidak
hanya seputar dewa-dewi yang mereka sembah, Rio seperti menyajikan di hadapan
kita kehidupan zaman Mesir kuno secara gamblang dan jelas. Dari makanan,
pakaian, rupa-rupa sesajen, bangunan, struktur hierarkis kekuasaan, termasuk
cara mereka ngomong yang puaanjjaaaanggg nan formal sebagaimana huruf-huruf
hieroglif Mesir yang kaku. Suasara Mesir kunonya dapat banget!
Ibu Susu sebenarnya
menyajikan kisah yang sederhana dan lempeng-lempeng saja. Jadi ceritanya,
Firaun Theb mendapat mimpi berupa hujan susu yang menguyur seluruh Mesir.
Awalnya hujan itu disambut meriah, tetapi sebagaimana segala sesuatu yang
berlebihan di dunia ini, hujan susu yang kebanyakan juga tidak baik. Mimpi itu
ternyata menjadi sebuah pertanda. Putra satu-satunya, sang pewaris sekaligus
calon Firaun selanjutnya, mendadak terkena penyakit aneh. Tubuh bayi itu
membiru. Tidak ada lagi tangis keras dan kaki kecil yang menendang-nendang
heboh. Pangeran Sem hanya tertidur lemas, tidak berdaya hidup kecuali sekadar
napas pendek-pendek yang menunjukkan di bayi masih hidup. Setelah berkonsultasi
dengan para peramal, tabib, dan cerdik-cendekianya maka diputuskanlah bahwa
bayi Sem membutuhkan seorang ibu susu yang baru.
Pencarian ibu susu baru pun dilakukan ke penjuru negeri.
Luar biasa menyaksikan bagaimana penulis menarasikan babakan-babakan kisah di Ibu Susu dengan sedemikian sabar dan
detail, rinciannya sangat juara. Pasti dibutuhkan bacaan dan rujukan tentang
Mesir kuno yang sangat banyak untuk bisa menulis seperti yang dilakukan Rio di
buku ini. Gaya berceritanya memang naratif banget, berupa paragraf-paragraf
panjang dan padat, sama kayak cerpen terpanjangnya di Aksara Ammananuna. Dialognya bisa dibilang minim, bahkan jikapun
ada, kebanyakan percakapannya model naratif juga—alias puanjang dan berbentuk
paragraf persegi saking padatnya. Apakah lalu membosankan? Menurut saya tidak
karena penulis mengimbanginya dengan diksi-diksi yang jadul tapi baku, sehingga
mengesankan keantikkan masa Mesir Kuno.
Tentang diksi ini, proses membaca novel ini sedikit
terhambat kareba pilihan penulis. Rio banyak—kalau tidak dibilang
sering—menggunakan kata-kata yang jarang dipergunakan. Kata-kata macam sempena, lekit, ancala, furuj, deben,
teringa-inga, kunarpa, dan garib hanyalah
beberapa kata antik yang bermunculan di buku ini. Sedikit repot memang karena
kudu membuka KBBI, tetapi ini adalah cara yang menyenangkan untuk menambah
sekaligus merayakan kekayaan kosa kata bahasa Indonesia. Selain itu, penggunaan
kata-kata antik dan terkesan jadul ini malah semakin mempertegas aroma Mesir
kuno dalam Ibu Susu. Perlu
diperingatkan juga kepada pembaca, di novel ini akan ada banyak sekali ibu susu
dan susu ibu. Juga tentang puting, tentang payudara, dan hal-hal yang berkaitan
dengannya. Rio Johan memang nggak tanggung-tanggung kalau menulis tentang suatu
tema. Terpujilah perpustakaan-perpustakaan agung di Eropa yang membantu
membidani kelahiran karya ini.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete