Judul: The Trial of Apollo: The Dark Propechy
Pengarang: Rick Riordan
Penerjemah: Reni Indardini
Penyungting: Yuli Pritania
Tebal: 498 hlm
Cetakan: Juli 2017
Penerbit: Nourabooks
Mengikuti petualangan Dewa Apollo dalam bentuk manusia-nya
sebagai Lester Papadopoulos memang bikin nagih. Setelah di buku pertama Apollo
dan Meg serta para member Perkemahan
Blasteran harus melindungi Oracle di Hutan Dodona, kini perjalanan berlanjut ke kawasan tengah
Amerika Utara. Kali ini, Apollo ditemani Leo Valdez dan pacarnya, Calypso.
Senangnya, di buku kedua ini akhirnya Om Rick menggunakan setting di
Indianapolis yang jarang digunakan dalam banyak novel fantasi ( yah kalau nggak
New York, ya San Francisco, Detoit, Chicago, atau kota-kota besar lain). Selain
setting yang baru, banyak tokoh dan mahkluk mitologis yang juga dimunculkan, misalnya gerombolan Blemmyae yang kepalanya
ada di dada dan mereka ini sangat sopan sekali (Apakah Anda lebih suka diinjak-injak atau dicabik-cabik dulu? Anda berhak memilih sendiri) juga Dewi jaring-jaring
alias Britomartis yang suka mendudukkan tamunya di kursi jebakan
Sepertinya, karakter Apollo ini adalah yang paling khas
kalau dibanding karakter-karakter protagonis dalam serinya yang lain (seperti
Percy dan Jason, saya bahkan sampai nggak bisa membayangkan sosok Jason macam
gimana saking tipikalnya). Apollo ini, emm, gimana ya, dia jujur kepada pembaca.
Kalau suka ya bilang suka, nyinyir ya nyinyir, kabur ya kabur. Beda dengan
Percy yang kadang sok pahlawan (Jason apalagi ugh), si Lester ini jelas-jelas
mengakui kalau dirinya bukan pahlawan. Sebagai mantan dewa matahari yang
dilucuti dari kedewaannya, Apollo-Lester nggak ada kuat-kuatnya deh, walau
congkak tingkat dewanya masih tetep sih. Pokoknya, yang kemarin masih kerasa
kurang sama recehnya Apollo-Lester di buku pertama, maka di buku kedua ini akan
makin banyak ocehan-ocehan sang mantan dewa matahari yang bikin pembaca
kejengkang.
Alur khas ala Riordan masih sedikit terlacak di buku kedua
ini. Masih ada misi, ada perang besar, ada monster yang bikin ngakak, dan
... coba tebak ... ramalan. Yah, dasarnya Apollo juga dewa ramalan sih jadinya
kurang afdol. Misi kali ini, Apollo dan Leo juga Calypso harus menyelamatkan
orakel kedua yang terancam bahaya oleh salah satu dari ketiga kaisar Triumvirat
Romawi Kuno. Lokasi kali ini ada di negara bagian Indianapolis yang sangat em ...
Indianapolis. Untungnya, alur di buku
kedua ini lumayan berbeda dari alur seri Magnus atau Percy. Ada beberapa misi
kecil serta sebuah misi besar. Ada perang final yang dibarengi dengan perang ramalan.
Juga, musuh-musuh baru yang dibangkitkan dari Tartarus untuk merepotkan sang
mantan dewa. Perang di sini kayaknya tidak seintens di buku-buku Percy, dan
lebih seringnya malah bikin ngakak pembaca.
Hal lain yang layak mendapat perhatian di buku ini adalah
keberanian Riordan menyodorkan karakter LGBT. Ada satu pasangan lesbian
(setelah di seri Heroes of Olympus ada
Nico de Angelo yang gay) serta Apollo yang—dia tidak mengakuinya tetapi dari
celotehan-celotehan miringnya kita bisa menebak kalau dewa itu—seorang biseksual.
Dalam sejumlah kilas balik yang kebanyakan ke era Romawi kuno, Apollo
menggambarkan dirinya sendiri sering memiliki hubungan yang terlampau intim baik
dengan gadis cantik maupun pemuda tampan. Selain itu, Rick juga mulai
memasukkan demigod dari sejumlah
kebudayaan lain (kali ini dari Eropa) yang tidak juga lolos dari kerlingan
Apollo. Dewa ini gitu deh apa-apa diembat wkwkwk. Dengan konten yang menjurus
ini, kayaknya butuh pendampingan kalau ada pembaca di bawah usia 15 tahun yang
ingin membacanya.
Secara aksi, buku ini mungkin kurang. Tetapi saya puas
dengan aspek humornya serta perkembangan karakternya. Sungguh berwarna-warni. Humornya
walau receh tetapi sangat kekinian. Apollo (eh atau penulisnya ya) pinter
banget membuat ungkapan-ungkapan kocak yang terkait dengan peristiwa sejarah
tertentu. Dan karena menggunakan sudut pandang orang pertama eh mantan dewa
tunggal yang narsisnya tumpah-tumpah, membaca kisah di buku ini adalah hiburan
yang beda. Kapan lagi sih bisa mengintip isi pikiran seorang dewa angkuh kalau
bukan lewat karya imajinasi. Saya, dan saya yakin hampir semua pembaca, akan semakin
menyayangi sosok Apollo setelah selesai membaca novel kedua dari seri The Trial of Apollo ini.
"Untuk menjawab harapan orang lain, kau tidak perlu menjadi dewa. lakukan saja yang terbaik untuk teman-temanmu." (hlm. 223)
No comments:
Post a Comment