Judul: Problem Bahasa Kita
Penyusun: Fariz Alniezar
Tebal: 186 hlm
Cetakan: 1, Oktober 2017
Sampul: Amalina
Penerbit: Kaktus
Saya senang sekali mengikuti rubrik bahasa di surat kabar.
Sejak zaman kuliah dulu, saya bahkan sering mengkliping artikel-artikel di
kolom bahasa ini, baik dari Kompas,
Republika, atau Media Indonesia. Saat
ini, yang konsisten dengan rubrik bahasa ini sepertinya hanya Kompas (tiap Sabtu) dan Media Indonesia (setiap Minggu). Sementara di majalah Intisari saya kurang tahu masih ada atau
tidak. Sayangnya, kebiasaan rajin ini kini mulai terkikis oleh pemandangan
banyaknya timbunan yang kudu saya babat. Setidaknya, dalih saya, kita bisa
membacanya dalam buku kumpulan rubrik bahasa yang biasanya akan diterbitkan
dalam bentuk buku setahun atau tiga tahun setelahnya (kayak buku Inul itu Diva?). Mengapa membaca rubrik
bahasa seperti ini menyenangkan? Karena ditulis dengan nada santai dan tidak
menggurui, serta langsung diberikan contoh dalam penggunaan keseharian. Beda
rasanya kalau kita membacanya dalam buku tata bahasa Indonesia yang kesannya
kaku, apalagi dari KBBI edisi V yang beratnya ngalah-ngalahin beratnya kenangan
dengan si mantan itu.
Buku pertama keluaran Penerbit Kaktus ini adalah buku
seperti itu (seperti itu di atas maksudnya). Isinya semacam kumpulan tulisan
dalam rubrik berbahasa yang saya kurang tahu dari media apa. Tapi dari artikel
pembuka yang ditulis oleh Samsudin Berlian, saya bisa meraba-raba kalau buku
ini isinya tidak beda dengan kumpulan rubrik bahasa. Bagi yang sering baca Kompas, nama Samsudin Berlian ini
mungkin sudah tidak asing lagi karena beliau adalah salah satu pengisi di
rubrik bahasa Kompas yang tulisannya
sering mejeng di hari Sabtu. Naluri hamba sebagai editor langsung tersenggol
saat membaca blurb buku ini. Saya
yakin bahwa buku ini akan bermanfaat, setidaknya bagi saya yang bekerja bersama
kata-kata. Dan untungnya memang buku ini sangat bermanfaat. Isinya
pendek-pendek, kadang satu bab hanya terdiri atas dua halaman, membuat buku ini
ringan dibaca meskipun isinya cukup berat. Mungkin, dibuat seperti itu untuk
menyesuaikan dengan rubrik di koran yang pendek dan sekali baca.
Apa saja isinya? Macam-macam, mulai dari hal-hal remeh temeh
tentang ‘yang benar adalah mengubah
bukan merubah’ hingga perbedaan antara kurban kambing dengan
korban perasaan. Salah satu bab yang cukup mencerahkan saya adalah bab tentang
surel atau surat email. Dalam KBBI edisi terbaru, ternyata lema email sama
sekali tidak memiliki makna ‘surat elektronik’ melainkan: (1) massa bening
pelapis benda logam, (2) barang2 yang dilapisi lapisan nomor 1, dan (3) pelapis
yang melindungi gigi bagian luar. Jadi, mulai sekarang memang tidak ada jalan
lain kecuali menggunakan surel untuk merujuk pada e-mail di gmail itu. Tema
lain yang ramai dikritisi penulis juga tentang kebiasaan masyarakat kita yang
sok keminggris dengan mencampuradukkan kata-kata asing dalam percakapan harian.
Bahkan, menurut pengalaman penulis, bahasa daerah juga mulai terkontaminasi
dengan istilah asing. Seorang Mbok di pasar tradisional Solo sudah fasih
menggunakan kata discount padahal
KBBI sudah memiliki lema ‘diskon’ untuk potongan harga.
Istilah-istilah internet kekinian tidak pelak lagi menjadi
pukulan terberat untuk bahasa Indonesia. Coba kita hitung berapa kali kita
menggunakan kata-kata download, upload,
online, web, hingga chatting padahal
bahasa Indonesia sudah memiliki padanan untuk kata-kata tersebut. Belum lagi
istilah-istilah per-media sosial-an yang masih belum jelas bentuk bakunya, semisal
me-RT, nyetatus, nge-SMS. Mungkin
remeh, tapi jika dibiarkan dan tidak dicarikan padanannya, saya tidak bisa
membayangkan bagaimana jadinya bahasa Indonesia sepuluh atau dua puluh tahun ke
depan: jangan-jangan seperti bahasa Melayu di Malaysia yang suka campur aduk
begitu. Jangan deh, eman-eman. Untuk
teman-teman yang bergerak di bidang tulis-menulis, penggiat media, atau
kita-kita yang selebtweet dan selebgram separo matang ini harus mulai kembali
ke fitrah dengan memulai mempromosikan bahasa Indonesia yang benar. Kesannya
mungkin kaku, tapi nggak kok. Sejatinya jika kita rajin mengecek kamus KBBI (atau
versi onlinenya ada di Kateglo.com) sudah ada lema untuk kata-kata gaul seperti
enggak, gue, dan kekinian.
Selain hal-hal standar seputar lema Indonesia, buku ini juga
banyak memuat materi yang baru sekaligus unik. Seperti kecenderungan bahasa
Indonesia yang tidak ramah pada huruf ‘qaf’ sehingga asal saja diganti dengan
huruf /k/ pada ‘qalbu’ jadi ‘kalbu’ padahal kata ‘kalbu’ (dengan /k/) dalam
bahasa Arab artinya adalah ‘anjing’ sehingga ‘bahasa kalbu’ maknanya jadi ‘bahasa
anjing. Ada juga hal sepele yang luput dari pengetahuan saya tentang kata ‘tik’
yang berasal dari kata dasar ‘tik’ dan bukan ‘ketik’. Sehingga, penulisan yang
benar adalah ‘ditik’ dan bukan ‘diketik’ sebagaimana kita jumpai dalam
kata-kata benda lain yang terdiri atas satu suku kata dan diberi awalan di-
seperti dipel, dilap, dan dibom. Untuk blurb buku ini yang lumayan berat, menurut saya sangat disayangkan
sekali karena isi buku ini sejatinya sangat ringan dan juga kekinian. Banyak
tema-tema kebahasaan menarik yang dibahas seperti tentang pencitraan, tol laut,
hingga kasus salah ucap seorang anak SD seputar ikan tongkol yang menghebohkan
itu.
people zaman now, Masdi, yg penting ngeksis dan gak tercyduk :))
ReplyDeletekayaknya buku ini menarik. jadi ingin baca juga...
Bagus Mbak bukunya, berfaedah wkwk
Deletemas ini bisa dibeli dimana?
ReplyDeleteHalo Steven, bisa WA ke 081913966695
Deleteterima kasih atas resensinya, Mas....
ReplyDeleteSangat tajam...
hehehe
untuk memeroleh buku tersebut sila kontak penerbit Kaktus: 081913966695
Wah disapa langsung sama penulisnya, terima kasih Mase. Bukunya sangat berfaedah.
DeleteHalo ka, kira" buku ini masih ada ga ya
ReplyDelete