Pengarang: Han Kang
Penerjemah: Dwita Rizkia
Cetakan: Pertama, 2017
Tebal: 222 hlm
Penerbit: baca
Ketika Vegetarian karya
Han Kang memenangkan Man Booker International Prize tahun 2016, saya dan
mungkin banyak lagi pembaca di Indonesia merasa agak kecewa. Bukannya apa-apa,
tapi ini kan kesempatan banget buat sastra Indonesia agar bisa melaju ke
panggung pentas dunia. Kemudian saya
teringat, lawna kita adalah Korea Selatan. Negeri ini gencar sekali dalam mempromosikan
industri hiburan mereka sehingga demam Kpop pun melanda hampir sepenjuru dunia.
Tapi selain konser Kpop dan drama mereka yang ditonton rakyat dunia, buku-buku
karya penulis Korea Selatan pun juga banyak dibaca. Negara ini memang sudah
sejak lama aktif mengkampanyekan penerjemahan karya-karya sastranya ke dalam
bahasa Inggris. Rupanya, ini adalah bagian dari kampanye Hallyu Wave yang
berupaya memperkenalkan produk budaya Korea ke penjuru dunia. Sejak belasan
tahun lalu, sudah sedemikian banyak karya sastra Korea yang mereka terjemahkan
ke dalam bahasa Inggris. Ini tidak lepas dari dukungan pemerintah Korsel yang
aktif memberikan dana dan dukungan.
Tentu saja,
terlalu picik jika kita menganggap Vegetarian
menang hanya karena novel ini telah terlebih dulu diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris sebelum Man Tiger. Tetapi,
tidak bisa dipungkiri, para juri sebagian besar hanya menguasai bahasa Inggris
serta bahasa-bahasa Barat lain sehingga kesempatan akan lebih besar jika
tersedia versi bahasa Inggrisnya. Dalam hal ini, Indonesia bisa dibilang cukup
tertinggal. Kemudian, mari kita bandingkan isinya. Saya terlebih dulu membaca Manusia Harimau sebelum Vegetarian, dan letupan nasionalisme
dalam dada tentu saja turut bersorak
mendukung karya Eka Kurniawan ketimbang Han Kang. Novel Eka ini sedikit banyak
mengingatkan saya pada Seratus Tahun
Kesunyian karya Gabriel Garcia Marques tapi dengan rasa dan nuansa lokal.
Bahkan sampai ke absurb-absurbnya saya bisa bilang kalau novel ini Marques
banget, tetapi dalam hal yang positif. Para kritikus sastra dari luar juga
menyebut Eka sebagai Marquesnya Indonesia. Lalu, bagaimana dengan Vegetarian?
Novel karya Han Kang ini mengingatkan saya pada karya-karya Murakami, serta sejumlah penulis Asia Timur dengan corak tulisan sendu, suram, dan efek negativisme yang kuat. Dari awal sampai akhir, novel ini nggak ada cerah-cerahnya karena emosi para karakternya begitu mendominasi. Setting Korea Selatan di musim panas yang semestinya indah seperti tertutup oleh aura muram yang menguar dari emosi para tokohnya. Aroma sendu ini semakin kental karena Han Kang menggunakan sudut pandang orang pertama bergantian. Karena terdiri dari tiga bab, maka ada tiga sutut pandang yang digunakan dalam Vegetarian. Semuanya serbaserdu, muram, dan begitu berbau masalah. Cerita pertama dinaratori oleh suami dari Young Hye. Suami istri ini tipikal rumah tangga baik-baik banget, selalu tenang dan saling menghormati. Yah, setidaknya sampai Young Hye diganggu mimpinya dan memutuskan untuk tidak lagi makan daging. Tidak sekadar menjadi vegetarian. Young Hye bahkan sampai pada taraf ‘sakit’ bahkan saat melihat atau mengendus aroma daging. Seluruh daging di kulkas pun dibuang, dan ketika itulah sang suami mulai merasa ada yang salah.
Pertemuan
keluarga besar digelar. Semua cemas dengan perubahan Young Hye yang tiba-tiba.
Sang ibu yang khawatir pun menjenguk putrinya ke kota, bersama suaminya.
Pertemuan keluarga besar ini malah membuka borok yang sudah lama tersimpan.
Keluarga yang tampak selalu harmonis ini ternyata memiliki masa lalu yang
suram, dan sikap aneh Young Hye yang tiba-tiba tidak ingin makan daging mungkin
memang dipengaruhi oleh masa lalu itu. Lanjut ke bab 2, penceritanya adalah
suami dari In Hye. Wanita ini adalah kakak Young Hye. Secara fisik, In Hye jauh
lebih menarik dari adiknya, tetapi
anehnya sang suami malah memiliki ketertarikan terpendam kepada adik iparnya.
Setelah kejadian tragis yang terjadi di pertemuan keluarga besar sebelumnya,
Young Hye diceraikan dan dia tinggal sendirian. Kesempatan ini yang kemudian digunakan suami In Hye untuk
mewujudkan impian liarnya bersama sang adik ipar. Atas nama seni, keduanya melakukan
aktivitas cabul yang aneh—melibatkan cat dan kamera. Parahnya lagi, skandal ini
ketahuan oleh sang istri. Maka selanjutnya kita bergerak menuju sudut pandang
In Hye di bab tiga.
Perselingkuhan
sang suami dengan adiknya sendiri begitu keras menghantam In Hye, tetapi wanita
ini rupanya tipe wanita yang bertahan.
Sebagai anak sulung, dia terbiasa mandiri dan menjadi tulang punggung. Selepas
terkuaknya affair sang suami, In Hye memutuskan
hidup sendiri untuk merawat putra mereka. Sebagai kakak, In Hye juga ‘berbesar
hati’ menjadi wali dari Young Hye yang sekarang dirawat di rumah sakit jiwa. Orang
tua mereka sudah tidak mau peduli lagi. Kondisi sang adik semakin parah karena
selain tidak mau makan daging, sekarang dia merasa dirinya adalah sebatang
pohon. Wanita itu menolak makan selama tiga bulan sehingga tubuhnya susut
menjadi 30 kilogram. Mari kita bayangkan betapa besarnya tekanan yang harus
dihadapi sang Kakak. Setelah dikhianati suaminya, tidak diperdulikan oleh orang tuanya, harus membesarkan putranya
seorang diri, dan sekarang ada In Hye yang semakin aneh. Hidup seperti menghantam
keluarga ini dengan tanpa ampun, menyisakan sosok bertahan yang pada akhirnya
pun terancam kolaps.
Secara
konflik, Vegetarian memang lebih
berwarna-warni ketimbang Manusia Harimau.
Masalah psikologis yang ditampakkan penulis di novel ini seperti ada dan
tiada, aneh tetapi bukan mustahil terjadi. Novel ini dengan perlahan menyingkap
lapis-lapis masa lalu yang membentuk hidup seseorang di masa sekarang dan masa
depan. Sementara Manusia Harimau mencengkeram
pembaca lewat eksotismenya, Vegetarian menggigit
pembaca dengan emosi-emosi kehidupan. Dua-duanya sama-sama istimewa, mungkin
sedikit keberuntungan turut berperan dalam menangnya Vegetarian. Hingga halaman akhir membaca novel ini, pembaca akan
menyaksikan perjuangan itu belum selesai. Seperti kehidupan, masalah belum akan
selesai bahkan ketika halaman terakhir itu tiba. Sebagai manusia, kita kadang
hanya bisa ikut mengalir saja pada aliran kehidupan, sambil terus berjuang atau
pasrah saja. Pada akhirnya, kehidupan adalah pemenang yang sejati.
NB:
Pertamanya heran kenapa sampul ini memakai gambar bunga, ternyata oh ternyata
bunga itu ada di bab 2.Sampulnya memang indah, sesuai dengan yang dilambangkannya.
No comments:
Post a Comment