Judul Buku : The Life-changing Magic of Tidying Up
Penulis : Marie Kondo
Penerjemah : Reni Indardini
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : 224 halaman
Cetakan pertama : Agustus 2016
Penulis : Marie Kondo
Penerjemah : Reni Indardini
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : 224 halaman
Cetakan pertama : Agustus 2016
Kalau ada satu buku nonfiksi yang heboh banget dibicarain di
forum-forum pecinta penimbun buku sepanjang tahun 2017 ini, maka salah
satunya adalah buku karya Marie Kondo. Buku tentang seni beres-beres rumah ala
Jepang ini diberi nama Konmari, sesuai dengan nama penulisnya yang dibalik.
Ajaibnya, kata ‘kon mari’ ini mirip dengan kata-kata dalam bahasa Jawa yang
artinya “(di) suruh sembuh” atau “(di)minta waras”. Bisa juga sih karena memang
lewat bukunya ini Marie Kondo seperti ingin menyuruh orang-orang agar sembuh
dari kebiasaan buruk kita yang suka menimbun menyimpan barang melebihi
dari yang kita butuhkan. Tanpa kita sadari,
kebiasaan suka menumpuk barang-barang yang lebih sering tidak kita gunakan dan
keengganan untuk membuang barang-barang yang bahkan sudah tidak kita perlukan
memang sudah menjadi semacam ‘penyakit’. Di Indonesia, terutama di pedesaan
yang rumahnya masih lapang dan punya gudang, kebiasaan ini mungkin belum
terlalu mengganggu. Tetapi di Jepang yang rumahnya kadang hanya satu atau dua
petak, kebiasaan menimbun barang adalah bencana.
Banyak orang, termasuk saya tentunya, enggan membuang barang lebih karena nilai sentimental dari barang tersebut, bukan karena kegunaannya. Bahkan, banyak kita yang juga sering membeli barang karena alasan yang sama. “Wah, jepit rambutnya lucuk. Murah lagi. Beli ah.” Bayangkan kalau tiap hari kita lewat toko pernak-pernik lucu dan beli setidaknya satu. Walau kecil, maka dalam setahun kamar Anda mungkin tidak ada bedanya dengan toko pernak-pernik dalam rumah. Hanya bedanya, “toko” Anda ini lebih berantakan dan lebih bikin frustrasi ketimbang bikin hepi. Lewat buku ini, Kondo memperkenalkan teknik buang-buang barang secara agak frontal-demi-kebaikan. Fokusnya adalah menyimpan barang-barang yang bisa membuat kita bahagia dan membuang barang-barang lain yang tidak menyentuh hati kita. Berbenah harus diawali dengan membuang, inilah prinsip utama teknik Konmari. Dan saya yakin tidak semua orang bisa dengan ikhlas melakukan ‘membuang’ ini pada tumpukan barang mereka.
Untuk cowok-cowok yang mungkin tidak suka beli pernak-pernik, mereka mungkin akan berkelit dengan “Ah saya kan hanya beli barang-barang sesuai fungsinya saja, jadi nggak perlu deh baca teknik konmari ini.” Saya misalnya, hanya punya satu sepatu sneaker dan satu sepatu lari. Sepatu sendal juga satu, sementara celana panjang hanya 3 dan kaus serta kemeja yang bisa dihitung. Pria biasanya memang tidak suka membeli dan menumpuk barang, kecuali barang-barang yang menjadi hobinya. Bagi saya, tumpukan itu berbentuk buku.Masalahnya, walau barangnya sedikit, saya sering kerepotan menyimpannya. Dan teknik konmari ini ternyata juga membahas tentang teknik menyimpan barang. Jika bab 1 sampai 3 di buku ini kurang ‘menyentuh’ saya sebagai
Alasan utama saya tertarik membaca buku ini adalah Konmari
juga sedikit membahas tentang tips menyimpan, memilih, dan membuang buku. Dalam
kursusnya, Kondo membuat prioritas tentang barang-barang yang harus dibenahi,
yakni mulai dari pakaian, lalu buku, lalu pernak-pernik, dan diakhiri dengan
barang kenang-kenangan. Sayangnya, tips menyimpan buku hanya dibahas sedikit
sekali di buku ini sehingga saya kurang puas bacanya. Saya sempat
terbengong-bengong membaca bagian ketika Marie Kondo menyobek begitu saja
halaman-halaman dari buku yang berisi kutipan-kutipan favoritnya. Kondo
kemudian mengklipik sobekan halaman-halaman tersebut, dan ujung-ujungnya malah
membuang kliping itu karena tetap tak sempat terbaca. Aduh, mending bukunya
buat saya sih (Yon, yakin situ bisa baca huruf kanji?). Terus terang, saya
belum bisa sepenuhnya mempraktekkan teknik Konmari untuk buku. Pernah, dia
membuang 200 – 300 buku dari rumah kliennya. Kalau saya sih, mending dijual dan
buat beli buku lagi (meskipun ini dikritik lagi oleh Kondo karena tetap saja
timbunanmu bertambah). Tapi, saya usahakan deh sumbangin 5 – 10 buku saya tiap
bulannya. Mending jadi amal dan daripada dibuang?
Bab-bab tentang menyimpan barang adalah bagian yang saya
pikir sangat bermanfaat. Simpan barang-barang di satu tempat, jangan disebar di dalam rumah karena lebih
menyenangkan mengetahui di mana kita menyimpan barang, meskipun jauh tempatnya. Kondo juga menekankan bahwa barang-barang akan merasa
bahagia ketika mereka digunakan ketimbang ketika mereka disimpan. Uang koin
misalnya, lebih baik dimasukkan ke dalam dompet dan digunakan untuk bayar
parkir atau belanja kecil ketimbang dikumpulin dan akhirnya terlupakan. Dia
juga berulangkali menekankan untuk lebih menghargai barang dengan menganggap
mereka sebagai teman terdekat kita. Mengucapkan terima kasih kepada tas, atau
sepeda motor, atau telepon genggam yang telah usang, misalnya. Mungkin kesannya
kekanakan, tetapi hal ini bisa jadi merupakan bentuk ucapan syukur kita karena
telah dipertemukan dengan barang-barang yang telah begitu banyak menolong kita.
Lewat buku ini, saya jadi belajar banyak
tentang bagaimana menyimpan barang serta menghargai mereka.
siip postingannnya. buku ini juga masuk daftar wist ist saya, btw mas kalau sumbang buku kemana?
ReplyDeleteBanyak kok Bang, bisa nitip ke komunitas-komunitas buku. Saya kemarin nitip teman-temana KKN
Deleteaku juga lagi kebingungan membuang barang-barang pribadi seperti baju. Kalau buku, biasanya ada dua cara : dijual lagi dan disumbangkan.
ReplyDeleteBetull hahaha baju ini sering kali susah buangnya.
DeleteDi jepang memang mempunyai budaya yang tertata rapih ya mas, dari mulai hal terkecil. Mantap mas bukunya. semoga saya bisa konsisten buat review bukunya hehe salam kenal mas. boleh lah mas sekli-sekli mampir ke blog saya hehe https://reminderperpustakaanblog.blogspot.com/
ReplyDelete