Penulis: Fahd Pahdepie
Penyunting: Falcon Publishing
ISBN: 9786026051455
Tebal: 353 hlm
Cetakan: Pertama- Maret 2017
Penerbit: PT Falcon
Bagaimana matematika yang ditegakkan oleh dasar logika bisa
berpadu harmonis dengan musik yang tersusun atas urutan nada-nada bisa saling
berpadu menjadi sebuah komposisi nan indah? Kadang, dua hal yang sangat jauh
berbeda sering kali malah bisa saling berpadu secara sempurna, sebagaimana
Angan Senja dan Senyum Pagi. Angan adalah seorang murid SMA genius yang jago
matematika. Senyum sebaliknya, adalah tipikal cewek gaul SMA yang sangat
populer di sekolahnya. Sementara Angan cenderung introvert dan lebih suka membaca,
Senyum suka banget bergaul dengan banyak orang. Siapa sangka, kedua karakter
berbeda ini secara tidak sengaja dipertemukan dalam sebuah acara bolos sekolah.
Meskipun alasan bolos keduanya berbeda (Angan karena bosan dengan pelajaran
sementara Senyum bolos karena belum mengerjakan tugas), keduanya sama-sama
berlindung di sebuah ceruk tersembunyi di belakang kelas. Di antara semua
perbedaan besar yang memisahkan keduanya, Angan dan Senyum ternyata bisa akrab
karena mereka telah menemukan satu persamaan mereka: musik.
Musik adalah
matematika perasaan. Mungkin ia bisa dihitung, tapi punya kemungkinan tak
terbatas. (hlm. 81)
Sebagaimana kisah cinta anak SMA, cerita Angan dan Senyum menjadi
ikatan yang lebih dari sekadar teman. Seringnya frekuensi pertemuan akhirnya
memunculkan rasa nyaman. Baik Angan atupun Senyum merasa sudah klop satu sama
lain. Sayangnya, keduanya sama-sama menyangkal adanya perasaan tersebut.
Besarnya jurang perbedaan ternyata mampu memaksa cinta bertekuk lutut, keduanya
memutuskan bahwa yang satu tidak tercipta untuk yang lainnya. Angan ragu karena
Senyum benar-benar bukan tipe gadis yang ia bayangkan jadi pasangannya,
sementara Senyum juga masih ragu dengan sosok Angan. Meskipun rasa indah itu
sama-sama telah membelit keduanya, rasa ragu dan buruk sangka telah menjauhkan
keduanya. Akhirnya cinta sepasang SMA itu pun terpaksa berakir seiring dengan
lulusnya Senyum. Oh iya, Senyum ini adalah kakak kelas Angan. Tepatnya Angan
kelas 10 sementara Senyum sudah kelas 12. Perbedaan lain, Angan adalah anak IPA
teladan, Senyum anak IPS populer: dua tipe kepribadian yang jarang sekali bisa
akur.
Seandainya orang lain
mengetahui bahwa melupakan adalah sebuah kebahagiaan, mereka akan mengerti bahwa
mengingat segalanya adalah sebuah penderitaan. (hlm. 10)
Hampir tujuh belas tahun kemudian, keduanya dipertemukan
lagi, sayangnya dengan jurang pemisah yang semakin besar. Senyum sudah menjadi
seorang ibu satu anak. Meskipun sudah menjanda, saat itu Senyum posisinya sudah
hendak menikah dengan Hari, seorang pengacara sukses. Angan sendiri, meskipun masih melajang, telah
menjadi seorang sukses dengan memanfaatkan bakat cemerlangnya di bidang
matematika. Selain jago matematika, Angan juga dianugerahi ingatan yang
supertajam. Semua yang pernah dia alami, dia lihat, dia rasakan, dia dengar
akan terekam jelas dalam ingatannya.
Bakat ingatan ini selama ini telah sangat membantunya dalam meraih
kesuksesan, tetapi untuk kenangan masa lalunya bersama Senyum, bakat itu malah
menjadi siksaan. Sekuat apa pun Angan berusaha melupakan, kenangan akan Senyum
Pagi tak pernah lekang dari ingatan. Tetapi, kenyataan lagi-lagi
mengingatkannya untuk move on. Angan
harus memilih melupakan Senyum Pagi untuk memenuhi janji terakhir mendiang ibunya:
menikah dengan Dini, sepupu sekaligus calon mantu pilihan.
Kita ini bodoh, ya?
Mungkin karena kita pernah saling jatuh cinta. (hlm. 325)
Sepanjang buku ini, pembaca akan menyaksikan tarik ulur
perasaan antara Senyum dan Angan. Dua orang yang sebenarnya sama-sama saling
mencinta tetapi terkalahkan oleh keadaan dan dugaan sehingga kebahagiaan tak
kunjung hadir menyapa. Dengan lembut, penulis mengajak pembaca menikmati kisah
cinta Angan dan Senyum. Sebuah kisah cinta yang manis, yang apa adanya, yang
seolah benar-benar nyata berkat kepiawaian penulis merajut cerita. Walau secara
garis besar, kisah di buku ini sederhana, justru di kesederhanaan itulah
terletak keunggulan novel ini. Kalimat-kalimatnya tidak mendayu-dayu sok
romantis dan tidak pula kelewat gaul sehingga malah terasa vulgar ala-ala novel
romance kekinian. Angan Senja dan Senyum
Pagi terasa sangat romantis lewat cara kisah itu disampaikan, bukan karena
penggunaan bahasa yang aduhai berlebai bohai. Ini masih ditambah dengan
kepiawaian penulis menarik ulur cerita sehingga pembaca yakin akan susah
berhenti membaca kalau belum sampai ke penghujung cerita. Akhirnya, selamat
menikmati satu lagi kisah cinta yang mengharu-biru tetapi dikisahkan dengan sewajarnya tanpa
berlebig-lebih dalam mengobral kata-kata
manis yang bikin diabetes.
Semua orang berhak
bahagia ... . Pada waktunya, semua orang akan bahagia dengan jalannya sendiri-sendiri,
Nduk. Tinggal kita mau emngambil langkahnya atau tidak. (hlm. 154)
Jempol tambahan untuk sampulnya. Awalnya, saya mengira
sampul lukisan ini hasil nyomot di google
image karena gambarnya tampak kasar dari kejauhan. Tetapi, setelah diamati
secara saksama, dan setelah dapat konfirmasi dari tulisan di dalam bahwa sampul
ini adalah sebuah lukisan, saya langsung menyukainya. Perpaduan warna orange
dan hitam mungkin tampak kotor dari kejauhan, tetapi saat sampul buku ini dilihat
dari dekat, baru ketahuan betapa indah komposisi dan perpaduan warnanya.
Torehan-torehan kuas sang pelukis berhasil mengambil warna-warni senja juga
warna-warni pagi untuk kemudian ditorehkan pada kanvas—menyusul pada sampul
buku ini. Kertas sampulnya juga kuat dan teraba mantap, semantap kisah cinta
yang disampulinya.
No comments:
Post a Comment